Cara hotel bertahan hidup kala pagebluk
Masa kelam bagi industri pariwisata dan perhotelan seakan enggan melipir pergi dari Indonesia. Dua tahun berturut-turut sudah, sektor-sektor pengangkat devisa ini mengalami pukulan telak dan bertubi-tubi.
Tahun lalu, tingginya harga tiket pesawat membuat minat wisatawan nusantara (wisnus) untuk berpelesiran berkurang dratis. Hal ini berdampak pada tingkat keterisian (okupansi) kamar hotel di Indonesia yang turut mengalami pemerosotan.
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada Desember 2019 menunjukkan, rerata okupansi kamar hotel berbintang di Tanah Air hanya menyentuh 59,39%. Turun 0,36 poin dibanding Desember tahun sebelumnya yang sebesar 59,75%.
Saat ini, belum juga mampu bangkit, industri pariwisata dan perhotelan kembali dihantam dengan merebaknya Coronavirus. Pandemi Covid-19 menjadi badai yang menerpa industri pariwisata dan perhotelan. Bahkan, kali ini jauh lebih kencang dari sebelumnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah kunjungan wisatawan pada periode Januari-Februari 2020 hanya menyentuh angka 2,16 juta, turun 11,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Okupansi hotel tersungkur di bawah singgel digit.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, per 13 April 2020 tingkat keterisian hotel di Tanah Air nyaris mendekati nihil. Bahkan, selama kuartal pertama 2020, potensi pendapatan industri pariwisata dari wisata mancanegara (wisman) telah hilang sebesar US$4 miliar atau Rp60 triliun. Sementara dari wisatawan domestik, sektor perhotelan telah kehilangan potensi penerimaan sekitar Rp30 triliun.
Alhasil, tidak kurang dari 1.642 hotel dan 353 restoran atau tempat hiburan berhenti beroperasi. Ketua PHRI DKI Jakarta Krishandi mengatakan, dari total 1.642 hotel yang ditutup, sekitar 100 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut belum termasuk hotel-hotel lainnya yang tidak tercatat sebagai anggota PHRI.
“Di Jakarta sudah ada 100 hotel yang tutup. Itu yang lapor. Yang enggak lapor banyak lagi. Semua (klasifikasi) bintang ada,” tutur Krishandi kepada Alinea.id pekan lalu.
Tsunami hotel jilid II
Konsultan properti dari Universitas Tarumanegara, Nasiruddin Mahmud mengistilahkan, krisis yang terjadi pada industri perhotelan saat ini sebagai ‘tsunami hotel jilid II’. Terminologi tersebut menjadi episode lanjutan dari krisis perhotelan pada 2014-2015 yang disebut ‘tsunami hotel jilid I’.
Saat itu, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi melarang pegawai negeri sipil (PNS) menggelar rapat di hotel-hotel berbintang. Imbasnya, seluruh bisnis perhotelan mengalami pemerosotan pendapatan cukup drastis.
Okupansi hotel pada periode akhir 2014 hingga pertengahan 2015 turun hingga kurang dari 15%. Namun, terang Nasiruddin, saat itu hanya pendapatan dari sektor pemerintah saja yang mengalami penyusutan. Sementara sumber pendapatan hotel lainnya masih terbilang cukup aman.
“Semua daerah bahkan suatu tempat di Aceh, ini tsunami hotel dia bilang. Kenapa? Karena okupansi hotel sangat rendah sekali, karena sektor pemerintah tidak bisa rapat di hotel mereka,” ungkap Nasirruddin dalam sebuah webinar bersama pebisnis hotel beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan sekarang, seluruh sumber pendapatan hotel betul-betul terguncang. Covid-19 menyebabkan jumlah wisman menurun drastis, pun begitu dengan wisnus yang biasanya menjadi sumber penghasilan utama industri hotel.
Rapat-rapat dan acara-acara yang mengundang keramaian ditiadakan. Pendapatan hotel dari bisnis sewa ruangan nyaris nihil penghasilan. Okupansi hotel yang masuk ke dalam zona merah penyebaran Covid-19 jeblok dan hancur lebur.
Nasiruddin menjelaskan, jika pada 2015 yang dihadapi pebisnis hotel hanyalah manusia. Sementara saat ini musuh terbesarnya adalah pandemi Covid-19, virus yang tidak mengerti bahasa manusia, apalagi berkompromi.
“Kalau tahun 2015, krisisnya bisa kita atasi ya, Pak. Masih bisa dihadapi karena yang kita hadapi masih orang. Sementara sekarang yang kita hadapi bukan manusia. Virus enggak bisa diajak kompromi,” terang dosen yang juga Direktur Utama PT Prodeya Dubels Sinergy tersebut.
Menurutnya, saat ini nyaris tidak ada cara bagi industri perhotelan untuk bertahan. Sekalipun ada, peluangnya kecil dan harus berebut satu sama lain. "Paket isolasi mandiri ala hotel bintang lima barangkali bisa menjadi solusi sementara, tapi tidak bisa menyelamatkan semuanya. Program kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) untuk akomodasi tenaga medis juga masih jadi peluang, tapi tentu tidak mudah untuk mendapat kontraknya."
Isolasi mandiri ala hotel bintang lima
Beberapa hotel di Tanah Air memang mengambil peluang dari pandemi Covid-19. Salah satunya, menawarkan paket lengkap isolasi mandiri di dalam hotel. Konsumen bisa melakukan karantina diri atau bahkan Work From Hotel (WFH) lengkap dengan jatah makan tiga kali sehari dan fasilitas laundry.
Beberapa hotel juga mengambil celah melalui kerjasama dengan pemerintah daerah. Hotel menjadi tempat istirahat sekaligus karantina bagi pekerja medis selama menangani pandemi Covid-19.
Salah satu hotel yang sudah menawarkan paket isolasi mandiri adalah Hotel Aryaduta milik Lippo Group. Hotel bintang lima ini mencoba peruntungan menggarap paket isolasi mandiri mulai dari 14 hari. President Aryaduta Hotel Group Greg Allan mengatakan pihaknya menawarkan program ‘Comfort in Self-Isolation’ untuk mereka yang ingin merasakan layanan hotel bintang lima selama masa isolasi.
Para tamu, kata Allan, yang dinyatakan sehat secara fisik dan tidak berstatus sebagai ODP (orang dalam pemantauan) atau PDP (pasien dalam pengawasan) boleh menikmati paket mengucilkan diri di Hotel Aryaduta dengan harga hanya Rp850 ribu per hari. Paket ini sudah termasuk makan tiga kali sehari dan akomodasi ala hotel bintang lima lainnya.
“Program ini hanya ditawarkan untuk orang sehat dan sedang mencari tempat isolasi selama 14 hari untuk memastikan agar mereka tidak terinfeksi,” tutur Allan melalui rilis resminya, (28/3).
Terkait protokol kesehatannya, Aryaduta bakal melakukan pembersihan secara berkala di setiap sudut hotel dan melarang stafnya untuk melakukan kontak langsung dengan tamu. Cara ini, terang Allan, sudah sesuai standar protokol kesehatan yang disarankan Siloam Hospital Group untuk mencegah penularan Covid-19.
Saat ini, para tamu bisa mereservasi program isolasi mandiri tersebut di tiga hotel jaringan Aryaduta, antara lain Aryaduta Lippo Village Tangerang, Aryaduta Medan, dan Aryaduta Palembang.
Paket isolasi mandiri ini juga telah diterapkan di negara lain. Selain Aryaduta, dua jaringan hotel milik Crown Group di Australia juga menawarkan paket yang nyaris serupa. General Manager Strategic & Corporate Communications Indonesia Crown Group, Bagus Sukmana mengatakan, Hotel Skye Suites Parramatta dan Skye Suites Sydney menawarkan paket menginap dengan harga murah meriah untuk mereka yang mau mengisolasi diri dan staycation dengan suasana berbeda.
Di negeri kangguru tersebut, harga kamar di Skye Suites Parramatta dan Skye Suites Sydney normalnya AU$200 per malam. Namun, khusus paket ini hanya ditawarkan dengan harga AU$150 per malam dengan periode menginap minimal dua pekan atau 14 hari.
“Kalau dia (para tamu) mau 2 minggu, dia dapat rate AU$150. Kalau satu bulan jadi AU$125. Nah, rate AU$150 dan AU$125 itu buat orang Australia itu rendah,” terang Bagus saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.
Menurutnya, inilah yang membuat okupansi hotel di Skye Suites Parramatta dan Skye Suites Sydney tetap tinggi meski di tengah pagebluk. Bahkan, Bagus meyakini dalam satu bulan mendatang, okupansi di kedua hotel tersebut bisa mencapai 80% lebih.
Akomodasi tenaga medis
Contoh lain hotel yang tetap mencari peluang di tengah pagebluk ini adalah Maxone Hotel. Jaringan hotel milik Milestone Pacific Hotel Group (MPHG) ini menawarkan paket akomodasi untuk tenaga medis dan orang-orang yang harus mengisolasi diri saat pulang ke kampung halamannya.
CEO MPHG Samudera Hendra mengatakan, saat ini sudah ada dua hotel jaringan Maxone yang dipakai untuk akomodasi tenaga medis tersebut, yakni Hotel Maxone Pemuda di Jakarta dan Hotel Maxone Dhramahusada di Surabaya. Kedua hotel ini menjadi akomodasi tenaga medis lantaran mengambil kerja sama langsung dengan Pemda setempat.
“Dari Pemda, semua dari Pemda, Pak. Meskipun di Surabaya. Walaupun kita ketemu dengan gubernur atau provinsi, tetap nanti pelaksanaan detailnya di Pemda,” terang Hendra saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.
Berkat kerja sama ini, sekarang okupansi kedua hotel tersebut sudah hampir mencapai 100%. Namun sayang, Hendra enggan membeberkan berapa besaran kontrak yang diteken Pemda terkait akomodasi tersebut.
“Kalau angka ‘kan konfidensial ya, Pak. Tergantung negosiasi juga. Cuma kontraknya masih bulanan dulu. ‘Kan itu juga berharap ini tidak lama lah, pak. Tapi kalau lama ya perpanjang terus,” katanya singkat.
Selain menjadi akomodasi tenaga medis, jaringan hotel Maxone juga menggaet kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar, Bali untuk dijadikan pusat isolasi. Sebanyak 66 kamar hotel di Maxone Gianyar telah dipesan Pemkab Gianyar khusus untuk menampung warganya yang berniat pulang kampung di tengah pandemi.
Maxone dengan cermat mengambil peluang yang lahir dari kebijakan pemerintah soal isolasi 14 hari bagi setiap warga yang hendak pulang kampung. Kecermatan ini membuat sejumlah hotel Maxone masih mampu bertahan hidup, meski tidak bisa menyalamatkan semuanya.
Hendra mengakui, dari total 36 hotel yang dimiliki Maxone, beberapa diantaranya harus ditutup karena biaya operasional yang membengkak.
“Banyak tutup juga karena kondisi sekarang itu seperti di Belitung, Gili Trawangan, Bali dan beberapa lokasilah yang tidak memungkinkan,” katanya.
Tidak membantu
Sayangnya, terobosan yang dilakukan dunia usaha perhotelan itu ternyata tak cukup mengangkat okupansi. Hal demikian itu sejatinya juga sudah diprediksi oleh Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani saat berbicara dalam video conference bersama pengusaha hotel beberapa waktu lalu.
Dalam keterangannya, Hariyadi mengatakan, segala cara yang dilakukan pebisnis hotel saat ini belum bisa membantu banyak bagi industri perhotelan. Paket-paket isolasi mandiri atau akomodasi tenaga medis hanya bisa diambil oleh beberapa hotel saja. Tidak semua hotel bisa melakukan penawaran serupa. “Memang betul ada teman-teman ada yang membuat paket isolasi diri dan untuk medis atau WFH (work from home), tapi itu kecil, enggak terlalu besar,” terang Hariyadi.
Menurutnya, sangat sulit mendongkrak okupansi hotel. Pasalnya, konsumen hotel saat ini banyak yang mengalami PHK. Belum lagi hilangnya pasar dari konsumen pemerintahan dan korporasi. "Sekarang ini boro-boro mau mikir domestic travellers orang pangsa pasar ini pada ter-PHK," cetusnya.
Menurutnya, satu-satunya yang bisa menyalamatkan industri perhotelan saat ini adalah stimulus pemerintah. Karenanya, PHRI pun merekomendasikan sembilan insentif yang dianggap bisa menyelamatkan industri perhotelan.
Beberapa rekomendasi itu, antara lain relaksasi PPh 21 dan PPh 25 sekaligus pembebasan pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak air tanah, serta penundaan pembayaran PBB. Rekomendasi ini bisa diberlakukan selama satu tahun atau setidak-tidaknya hingga bisnis perhotelan kembali pulih.
Selain itu, PHRI juga meminta penundaan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) bagi perusahaan yang kekurangan dana, serta pembebasan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan hingga akhir 2020.
“Bila masih memiliki dana namun tidak mampu membayar THR secara penuh, maka perusahaan dapat membayar THR dengan cara dicicil,” terangnya.
Selanjutnya, PHRI juga merekomendasikan agar dana Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan dapat dicairkan oleh pekerja yang terpaksa dirumahkan atau tidak mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja). Pun begitu dengan Kartu Prakerja yang ia sarankan agar dialihfungsikan dalam bentuk insentif tunai untuk mengurangi beban pekerja yang dirumahkan.
PHRI juga berharap agar ketentuan minimum penggunaan listrik segera dihilangkan. Terakhir, PHRI juga mengharapkan dukungan penuh dari perbankan, leasing dan lembaga keuangan lainnya terkait Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.11 Tahun 2020 tentang penjadwalan atau restrukturisasi utang usaha hotel dan restoran.
“Sebab yang paling berat adalah pekerjanya itu yang paling terdampak paling awal. Betul-betul yang paling terdampak adalah yang unpaid leave, mereka enggak terkena PHK. Karena kalau PHK harus ada pesangon jadi perusahaan enggak mungkin beri pesangon dalam kondisi saat ini,” pungkasnya.