Cela di balik murah dan mudahnya virtual hotel operator
Sebuah rumah toko berlantai tiga dengan cat dominan berwarna biru di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, menyediakan penginapan murah meriah untuk sekadar melepas lelah. Di atas pintu masuk ruko itu, tertulis RedDoorz.
Harga untuk satu malam menginap, terjangkau. Hanya Rp200.000. Ada 22 kamar di sini.
“Konsumen yang datang tak menentu. Kalau weekend biasanya penuh,” kata Dea, resepsionis di hotel yang baru beroperasi awal November 2019, saat ditemui Alinea.id, Sabtu (30/11).
Dea mengatakan, tamu hanya perlu menitipkan kartu tanda penduduk (KTP) ke resepsionis bila ingin bermalam.
Dinding kamar tak semuanya berbahan beton. Sekat antarkamar terbuat dari triplek tebal. Meski terbilang baru beroperasi, tetapi di salah satu bagian dinding di lantai dua sudah ada yang retak, sehingga menyebabkan bocor ketika hujan.
Tak hanya itu, selama menginap semalaman, lampu di hotel ini padam sebanyak tiga kali. Namun, kondisi di dalam kamar terbilang baik. Selain kasur yang empuk, ada fasilitas, seperti televisi, AC, kulkas, lemari, dan peralatan mandi.
Di hari yang lain, Alinea.id kembali memesan hotel berbasis aplikasi, OYO. Salah satu hotel di daerah Muncul, Tangerang Selatan dipilih. Harganya sangat murah, hanya Rp150.000 per malam.
Metode pembayarannya tidak harus melalui transfer, tetapi juga bisa memesan terlebih dahulu, dan melakukan transaksi di lokasi.
Bangunan hotel ini mirip indekos, berlantai tiga, total ada 30 kamar. Halamannya cukup luas. Lokasinya dekat kampus. Letaknya agak masuk ke dalam dari jalan utama, dekat dengan permukiman warga.
Namun, anehnya situasi di hotel ini sepi. Ada sebuah spanduk bertuliskan “Satuan Polisi Pamong Praja, disegel” di bagian depan bangunan. Saat masuk ke dalam, di meja resepsionis pun sepi. Hanya ada kertas bertuliskan “sorry we are closed”.
Asep—bukan nama sebenarnya—salah seorang petugas perawatan kamar hotel mengatakan, sudah tiga bulan hotel tidak menerima tamu harian.
“Tiga bulan lalu ada penggerebekan tiga pasangan mesum oleh Satpol PP di sini,” ujar Asep, Jumat (29/11).
Selain kasus itu, penginapan ini dinilai sudah menyalahi aturan perizinan, yang awalnya berfungsi sebagai indekos lantas menjadi hotel. Meski hotel disebut sudah disegel dan tak beroperasi lagi, anehnya masih bisa dipesan melalui aplikasi OYO.
Plus-minus
Startup berbasis teknologi di sektor perhotelan, yang dikenal dengan istilah virtual hotel operator (VHO) kini menjadi pilihan para pelancong. Selain OYO dan RedDoorz, ada Airy Rooms dan Zenrooms yang termasuk jaringan hotel terjangkau platform online.
Setidaknya tiga tahun belakangan, jaringan hotel murah tadi membawa wajah baru bisnis penginapan di Indonesia. Tak seperti hotel konvensional yang terbilang mahal, hotel-hotel berbasis aplikasi ini memang mengincar pasar kalangan menengah ke bawah.
Dono--bukan nama sebenarnya---salah seorang konsumen, mengatakan RedDoorz jauh lebih murah dibandingkan pesaingnya, OYO. Dua VHO itu menjadi langganan Dono bila sedang melancong ke kota lain atau ingin menginap di akhir pekan.
"Awal kenal platform hotel itu, ya RedDoorz. RedDoorz lebih murah, tapi kalau enak ya OYO, plus-minus sih," kata dia saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (30/11).
Menurut Dono, pesan hotel di RedDoorz lebih mudah. Akan tetapi, RedDoorz tidak melayani pemesanan kamar di atas jam 12 malam. “Kalau sudah kemalaman di jalan ya saya pakai OYO," kata Dono.
Dono juga pernah mendapatkan pelayanan yang kurang baik dari resepsionis salah satu penginapan mitra RedDoorz.
"Ya mungkin karena dianggap murah kali ya, kan kalau pesan biasanya pakai kupon atau potongan diskon, jadi bisa lebih murah," ujarnya.
Dengan memanfaatkan kupon atau kode promo, harga kamar Rp240.000 per malam, bisa dipotong menjadi Rp140.000 per malam.
"Yang kita butuhkan sebagai costumer kan sebenarnya service, dan di OYO itu berdasar pengalaman ya lebih welcome," tuturnya.
Ditemui terpisah, pelanggan hotel murah berbasis aplikasi lainnya, Rifat, mengatakan sebelum memesan hotel, ia biasanya membandingkan harga di enam aplikasi sekaligus, yakni RedDoorz, OYO, Airy Rooms, Pegipegi, Traveloka, dan Tiket.com. Rifat lebih mengutamakan harga murah dan fasilitas lengkap ketimbang pelayanan.
"Yang penting itu kan memenuhi standar saja. Murah, kamar bersih, ada AC, TV, air minum dua," kata Rifat saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (30/11).
Rifat mengatakan, dalam seminggu, ia bisa datang ke hotel berbiaya rendah sebanyak dua hingga tiga kali. Ia mengaku sering menggunakan kupon untuk mendapatkan potongan harga.
"Karena membandingkan dengan banyak aplikasi, jadi saya tau celah diskon itu di mana saja," kata dia. "Sampai sekarang, saya lagi main juga di Agoda, dan itu harganya lebih murah lagi."
Ia menjelaskan, bila sudah tidak menemukan diskon, alternatif terakhir menggunakan poin yang dimiliki dari pemesanan yang pernah dilakukan.
"Jadi, tetap bisa dapat harga murah," ucapnya.
Penetrasi dan pariwisata
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani, OYO, RedDoorz, dan Airy bekerja sama dengan para pemilik bangunan, umumnya hotel berbiaya rendah, untuk memberikan standar fasilitas dan pelayanan kepada penginap.
Ia mengatakan, dalam praktiknya, gaya kerja VHO mirip seperti taksi atau ojek online. Mereka tidak memiliki hotel ataupun pegawai. Konsep dasar VHO, yaitu “rebranding” bagi para pemilik bangunan.
Ia menuturkan, sebelum dipasarkan ke publik, pihak VHO biasanya akan mengecek terlebih dahulu kelayakan bangunan yang ingin bermitra. Setelah cocok, mereka akan mengelola bangunan penginapan tersebut. Bahkan, pihak VHO bisa mengubah tampilan kamar, kasur, dan melengkapinya dengan fasilitas pendukung lainnya.
Dalam pembagian keuntungan, kata Hariyadi, pihak VHO menerapkan sistem komisi. Menurutnya, OYO mendapatkan komisi 23% dari keuntungan total penyewaan kamar.
"Misalnya apartemen, OYO bisa sewa, tapi bisa juga developer bergabung dan menyerahkan ke OYO," kata dia saat dihubungi, Jumat (29/11).
Hariyadi menambahkan, pasar yang luas dan label VHO yang sudah banyak dikenal publik, menjadi alasan utama pemilik bangunan menyerahkan sepenuhnya untuk dikelola.
"Pemasarannya lebih cepat, mereka kan kalau memasarkan sendiri akan sangat sulit, kalau ke OYO, RedDoorz, ataupun Airy kan jadi lebih mudah. Tujuan utamanya lebih ke pemasaran," ucap Hariyadi.
Bahkan, Hariyadi menjelaskan, VHO tak hanya memasarkan kamar yang dikelola melalui layanan digital miliknya, tetapi juga lewat online travel agent (OTA), seperti Traveloka, Pegipegi, dan Tiket.com. Hal itu, menurut Hariyadi, sebagai langkah untuk memperluas penetrasi pasarnya.
"Jadi, mereka dapat komisi 23% dari pemilik bangunan, tapi mereka juga harus bayar komisi sekitar 17% ke OTA, karena dia melakukan pemasaran juga di sana," ujarnya.
Ia mengatakan, hotel konvensional juga ada yang memasarkan kamarnya di OTA. Akan tetapi, hal itu hanya dilakukan hotel-hotel besar dan jaringan kuat. Sedangkan hotel-hotel kecil, kata dia, bergabung dengan RedDoorz, OYO, atau Airy.
Country Head OYO Indonesia Alfian Lim mengatakan, OYO telah genap satu tahun beroperasi di Indonesia. Sejak awal diluncurkan, OYO sudah memulai membuka hotelnya di tiga kota, yakni Jakarta, Palembang, dan Surabaya, dengan total 30 hotel dan 1.000 kamar. Investasi awal mereka sebesar US$100 juta.
Alfian mengatakan, kini OYO memiliki 1.700 hotel dan 41.500 kamar yang tersebar di 100 kota di Indonesia. Sementara di tingkat global, OYO mengelola lebih dari 35.000 hotel, 125.000 rumah penginapan, dan lebih dari 1,2 juta kamar.
"OYO dapat ditemukan di lebih dari 800 kota di 80 negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, Inggris, India, Malaysia, Timur Tengah, Indonesia, Filipina, dan Jepang," katanya saat dihubungi, Selasa (3/12).
Valuasi OYO saat ini ditaksir US$10 miliar. Menurutnya, OYO menjadikan Indonesia sebagai pasar prioritas secara global. Alasannya, Alfian menyebut, industri pariwisata di Indonesia tumbuh 7,8% pada 2018, atau dua kali lipat rata-rata tingkat pertumbuhan global yang mencetak angka 3,9%.
"Pada tahun 2018 industri pariwisata Indonesia menyumbangkan Rp890,428 miliar," katanya.
Menurut Alfian, ada dua syarat jaringan hotel asal India ini bekerja sama dengan pemilik bangunan yang akan menjadi mitranya. Pertama, kedekatan dengan pusat kota.
“Kedua, kedekatan dengan destinasi wisata,” tuturnya.
Alfian menuturkan, ada jutaan penginapan kecil yang dikelola kurang efisien. OYO, kata dia, menjadi mitra pemilik sejumlah penginapan itu.
“Kami mengambil alih pengelolaan, merenovasi interior, dan meningkatkan kualitas pelayanan,” ucapnya.
Dikonfirmasi terkait mitra OYO yang bangunannya disegel, Alfian enggan berkomentar lebih jauh.
“Wah ini saya baru dengar. Saya harus cek dan konfirmasi dengan tim terkait,” tutur dia.
Dihubungi terpisah, peneliti pariwisata dan dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Baiquni menyambut positif bermunculannya hotel digital, baik VHO maupun OTA.
"Konsumen jadi banyak pilihan dan juga dimudahkan, karena kalau dulu kan mau pesan harus melalui agen," kata Baiquni saat dihubungi, Senin (2/12).
Menurutnya, tren masyarakat Indonesia sejak 2000-an sudah beralih dan menjadikan pariwisata sebagai kebutuhan primer. Maka, para pelancong pasti akan mencari penginapan dengan harga yang murah, terutama saat melakukan perjalanan wisata.
Persaingan sengit
Muhammad Baiquni menerangkan, persaingan antarhotel saat ini semakin terbuka. Dengan memanfaatkan teknologi digital, produsen semakin efisien, terutama dalam memberikan harga menginap yang kompetitif kepada tamu.
Baiquni menilai, hotel-hotel konvensional harus bisa menyesuaikan dengan memaksimalkan peran digital, dalam menggaet pelanggan. Jika tidak, kata Baiquni, keberadaan hotel konvensional akan tergerus RedDoorz, OYO, dan Airy.
Ia memberi contoh. Di Bali sudah penuh dengan hotel murah. Menurutnya, di sana banyak rumah yang disulap menjadi kamar hotel.
"Akibatnya, hotel-hotel bintang dua dan tiga jadi merosot karena adanya perang tarif, dan memesannya lewat online," katanya.
Lebih lanjut, Baiquni mengatakan, hanya ada dua pilihan bagi hotel-hotel konvensional untuk tetap bertahan. Pertama, ikut menyesuaikan dengan harga hotel berbasis aplikasi. Kedua, memaksimalkan fasilitas dan pelayanan.
"Kalau mau tetap memasang harga mahal, ya tingkatkan pelayanan dan inovasi. Misalnya, menyesuaikan tampilan hotel dengan waktu-waktu tertentu, seperti hari libur sekolah atau hari besar. Menyediakan menu makanan sesuai musimnya, dan sebagainya," katanya.
Sementara itu, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, keberadaan hotel startup menjadi tantangan tersendiri bagi industri perhotelan di Indonesia. Hotel berbasis digital ini, ujar Hariyadi, akan berdampak pada tidak terserapnya kamar hotel konvensional.
"Jumlah kamar baru itu banyak, disumbang oleh hotel konvensional maupun juga yang di-supply platform digital," ujar Hariyadi.
Hariyadi menilai, harga menginap yang terbilang murah di penginapan yang bermitra dengan VHO merupakan upaya untuk membesarkan nilai valuasi. Tujuannya, sebagai portofolio bagi investor.
"Mereka tidak peduli. Harganya rusak tidak ada urusan, dan mereka bakar uang betul," ujarnya.
Ia mencontohkan, semisal satu properti harga sewa per tahun Rp500 juta, VHO menyewakan per kamar sekitar Rp100.000-Rp200.000. Dengan nilai tersebut, menurut dia, bisa rugi.
"Jadi memang volume dan valuasi yang dicari," ujar dia.
Hariyadi mengatakan, kemunculan hotel berbasis aplikasi memang menciptakan pasar baru, tetapi sayangnya merusak ekosistem harga hotel di tanah air. Menurut dia, yang paling berdampak dengan keberadaan hotel berbasis aplikasi adalah hotel-hotel konvensional bintang dua dan tiga. Sebab, harga kamar VHO sama seperti hotel kelas bawah.
Ia mengaku, keberadaan hotel-hotel itu dikeluhkan para pelaku industri hotel di Indonesia. Menurutnya, sudah terjadi persaingan usaha yang tidak sehat.
"Mereka itu ngawur, kamar tuh murah banget," kata Hariyadi.
Di sisi lain, Baiquni menilai, pemerintah harus hadir untuk menjaga agar persaingan usaha industri hotel tetap sehat. Menurut dia, kehadiran hotel startup akan sangat mengancam keberadaan hotel konvensional.
"Harusnya ini perlu dicermati, jangan sampai terjadi sistem kanibal, saling memakan dan menghancurkan pasar," katanya.
Murah, tapi ada masalah
Perkara hotel mitra yang diduga dijadikan tempat mesum, Hariyadi mengatakan, hal itu wajar terjadi. Sebab, hotel berbasis digital, selain murah, mudah pula memesan melalui aplikasi.
"Mesan hotel semakin mudah dan murah, itu dampak negatifnya," kata Hariyadi.
Ia menjelaskan, selain itu hotel-hotel yang dikelola minim pengawasan. Lebih dari itu, pemilik platform VHO mayoritas tak peduli jika terjadi sesuatu di hotel mitra.
"Mereka ini banyak menyalahi aturan, mulai dari kos-kosan dijual kayak hotel, makanya memang harus diambil tindakan terhadap mereka," katanya.
Hariyadi menganggap, dibandingkan jenis hotel VHO lainnya, Airy lebih selektif dalam hal pengecekan kelayakan bangunan mitranya. Airy, kata dia, tak sembarangan memilih bangunan yang ingin bergabung.
"Kalau seperti RedDoorz dan OYO, apa saja diambil. Mau kos-kosan, semua diambil dan diberikan logo mereka di depan bangunannya," kata dia.
Ia menerangkan, hotel konvensional mayoritas mengantongi surat izin resmi dan bangunan hotel yang jelas. “Hotel yang dibangun memang untuk hotel,” kata dia.
Sementara startup perhotelan, lanjut Hariyadi, belum tentu punya kelengkapan izin bangunan yang jelas. Sebab, bangunan hotel bukan milik penyedia layanan, sehingga pengurusan izin merupakan tanggung jawab pemilik bangunan.
Hariyadi mengaku, pihaknya tengah mengkaji hotel-hotel berbasis digital. Ia berharap, OYO, RedDoorz, Airy, dan yang lainnya juga bisa menyesuaikan dan mengikuti regulasi yang berlaku di PHRI.
Sejauh ini, kata dia, hotel-hotel itu belum ikut aturan yang telah ditetapkan PHRI. Hal inilah yang dikhawatirkan memicu persaingan tidak sehat.
"Kita masih pelajari agar nantinya mereka juga bisa patuh terhadap regulasi PHRI," tuturnya. "Jadi enggak fair, hotel konvensional itu ikut regulasi."
Ia melanjutkan, sementara ini baru Airy yang sudah membuka pembicaraan dengan PHRI. Sedangkan yang lainnya, termasuk OYO dan RedDoorz, sama sekali belum ada pembicaraan.
"Mereka harus ikut regulasi, mulai dari izin usaha pariwisata harus ada, pengelolaannya sendiri harus patuh bayar pajak hotel dan restoran, Pph (pajak penghasilan) karyawannya juga dibayar," tuturnya.
Regulasi, diterangkan Hariyadi, tujuannya juga untuk melindungi pemilik bangunan. Hariyadi juga menduga, tujuan pemilik bangunan yang bekerja sama dengan VHO adalah ingin berkelit dari regulasi.
"PHRI masih mengumpulkan bukti dan fakta yang ada. Kalau ternyata benar-benar merugikan ya kita akan sampaikan kepada regulator,” ujarnya. “Tidak fair dong, enggak tahu tuh pajaknya bayar atau tidak."