Aliansi sipil yang yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menilai, pembangunan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung fasis dan antidemokrasi. Pasalnya, lebih mementingkan infrastruktur ekonomi daripada demokrasi.
"Jika pembangunan infrastruktur ekonomi tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur demokrasi jadinya, ya, seperti ini, pembangunan yang fasis," ujar perwakilan FRI yang juga Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI, Arip Yogiawan, dalam webinar, Minggu (24/1).
Menurutnya, pemerintahan Jokowi pun tidak ada bedanya dengan era Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendels, yang proyek pembangunan jalan Anyer Panarukan memakan ribuan korban jiwa.
"Kalau hanya bangun infrastruktur apa bedanya dengan Daendels? Dia juga bangun infrastruktur tanpa infrastruktur demokrasi," jelasnya.
Adapun yang dimaksud infrastruktur demokrasi, terangnya, memasukkan hak berpartisipasi bahkan hak tidak bagi kebijakan yang menimbulkan risiko besar terhadap publik.
Dirinya mencontohkan dengan demonstrasi menolak serangkaian regulasi, seperti Undang-Undang (UU) KPK yang baru, UU KUHP dan Cipta Kerja. Aksi dilakukan lantaran kedua beleid itu berisiko besar terhadap kelangsungan hidup orang banyak.
Harusnya, bagi Arip, partisipasi publik yang disampaikan lewat demonstrasi ataupun berdasarkan riset ilmiah dapat diterima pemerintah sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan bukan hanya mengafirmasi partisipasi suatu kelompok yang dipanggil dalam rapat dengar pendapat di DPR.
"Faktanya, kan, begitu, banyak rakyat yang menyampaikan ketidaksepakatan lewat riset atau demonstrasi, padahal dijamin konstitusi, tapi tidak pernah menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan," tuturnya.