Vanila bean atau vanili menjadi salah satu komoditas yang diminati di pasar dalam negeri dan mancanegara. Kualitas dari vanili dalam negeri diminati oleh beberapa kalangan karena kualitasnya yang dinilai bagus dan mampu bersaing di kancah global.
Vanili di Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa menjadi salah satu komoditas pertanian perkebunan yang bernilai mahal. Vanili ini tersebar di NTB daerah dataran tinggi. Seperti daerah Sembalun, Lombok Timur, Bayan, dan Lombok Utara.
Salah seorang pelaku usaha vanili di NTB adalah owner UD Rempah Organik, Mohir, yang memulai usahanya di Pulau Lombok, NTB. Mohir memaparkan dari penjualan vanili, bisa membantu menolong perekonomian orang lain.
“Misi kami bukan hanya menyelamatkan keluarga. Tetapi di sini ada misi lingkungan juga menyejahterakan petani kita, akan tampak terlihat di sini. Kami selaku pedagang, bisa bekerja sama dengan user atau retail,” kata Mohir dalam Alinea Forum yang diselenggaran Alinea.id, Sabtu (8/10).
Mohir menjelaskan, bisnis vanili miliknya memiliki pasar cukup besar di Amerika Serikat. “Trading vanilla beans kami di pasar Amerika. Mohon maaf, saya bicara Amerika Serikat. Karena pasar terbesar kami, adalah ke Amerika,” kata dia lagi.
Usaha vanili yang didirikan oleh Mohir telah diminati pembeli dari mancanegara. Akan tetapi, dia belum bisa menyanggupi permintaan pelanggannya yang harus berstandar internasional. Sebab, produksinya mengalami keterbatasan barang.
“Ada permintaan ke kami untuk dikirim ke Eropa, Belanda, Jerman, Ceko, dan Itu belum bisa kami penuhi. Rata-rata mereka meminta memiliki standar organik. Dan kami belum bisa memenuhi standar organik. Karena untuk produk organik, kami masih kekurangan. Satu customer saja masih belum bisa kita penuh,” tuturnya.
Dia menceritakan perkembangan harga vanili dari tahun ke tahun di pasar USA. Di mana pada 2002 memiliki dua perbedaan golongan pasar vanili, yaitu untuk basahnya dijual sekitar Rp200.000/kg dan jenis keringnya Rp1.700.000/kg. Di 2003 mengalami peningkatan harga jual, menjadi Rp350.000/kg untuk basah. Puncak harga penjualannya mencapai Rp475.000/kg vanili basah.
Akan tetapi setelah 2004, harga penjualan vanili mengalami penurunan. Harganya jualnya menurun menjadi Rp45.000/kg vanili basah. Situasi itu berlanjut di 2005-2009, harga jual vanili semakin menurun drastis. Di mana pada 2009 menurun menjadi Rp15.000/kg vanili basah.
Untungnya harga kembali pulih di periode 2010-2020. Di mana pada 2010 harga jualnya Rp40.000/kg vanili basah. Pada 2011, harga jualnya meroket ke Rp150.000/kg vanili basah. Kondisi itu teruas berlanjut pada 2013 yang harga jualnya Rp250.000/kg vanili basah. Pada 2014 harga jualnya Rp250.000/kg vanili basah.
Kemudian pada 2016, harga jualnya Rp300.000/kg vanili basah. 2017 harga jualnya Rp550.000/kg vanili basah. Namun pada 2018 harga jualnya kembali turun ke Rp350.000/kg vanili basah. 2019 harga jualnya kembali turun ke Rp300.000/kg vanili basah, dan pada 2020 harga jualnya Rp275.000.
"Kendati harganya kembali turun, tetapi kami masih tetap dapat untung lumayan. Jauh lebih baik dari periode 2005-2009," ucap dia.
Tetapi sayangnya, di kondisi yang cukup baik ini dinodai oleh kelakuan sejumlah oknum yang memanen vanili pada saat usianya masih muda. Akibatnya, sejumlah negara sempat menyebutkan kalau vanili Indonesia memiliki kualitas rendah. Untuk itu, dia berharap perlu ada komitmen dari semua pihak untuk tetap menjaga kualitas vanili Indonesia agar citranya tetap bertahan.
"Dulu kita pernah di blacklist dari Amerika dan Eropa karena ditemukan bahan kimia berbahaya yang tidak boleh bersamaan dengan vanili. Akibatnya vanili kita menjadi tidak sesuai standar. Bahkan ada yang memasukan jarum. Saya menyarankan kepada Karantina agar mendorong petani agar terus profesional. Mulai dari konsumen sampai petani harus ada kesepakatan yang dibuat agar tetap menjaga kualitas vanili yang di ekspor," papar dia.