Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menjelaskan, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 hingga diundangkan melewati banyak kondisi perekonomian yang dinamis. Imbasnya, banyak asumsi yang ditentukan pada saat awal perancangan hingga kini yang mengalami perubahan. Sementara itu, APBN harus tetap dikelola untuk menjalankan fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
Dirinya bercerita, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sejak awal menyusun APBN dengan membentuk kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) pada Februari 2022. Saat itu, kondisi Indonesia dan dunia masih sebatas dihadapi pandemi.
Saat masa penyusunan APBN, harga minyak dunia masih di kisaran US$60 per barel dan crude palm oil (CPO) sekitar US$700-800 per metrik ton. Kemudian, ekonomi Amerika Serikat (AS) sedang "menderu-deru" diiringi inflasi yang merangkak naik.
"Waktu itu, inflasi di Eropa masih sekitar 0 sampai 1%. Februari belum ada perang Rusia-Ukraina, tapi di Indonesia, Omicron sedang tinggi. Begitu KEM PPKF dibahas di Kabinet, dibawa ke DPR, perang Rusia-Ukraina pecah," ungkap Ani, sapaannya, dalam paparannya pada seminar "Strategi Capai Ekonomi Kuat & Berkelanjutan di Tengah Risiko", Jumat (28/10).
Tidak lama selang perang, harga komoditas mengalami kenaikan ekstrem. Dampaknya, gangguan suplai dan memicu penyusunan proyeksi harga-harga komoditas dalam rancangan APBN (RAPBN) menjadi sulit.
"Proyeksi jadi sulit karena semua pakai versi. Kalau versi ekonomi, ketika ekonomi pulih, maka permintaan barang dan jasa semakin kuat, sementara suplai tidak memenuhi dan pasti harga naik," jelasnya.
Di sisi lain, ketika kemungkinan harga naik, ada potensi lain yang akan terjadi, kebijakan moneter bakal masuk dengan menaikkan suku bunga. Dengan demikian, suku bunga mengalami peningkatan ekstrem.
Hal tersebut terbukti melalui beberapa prediksi global sejak Juni 2022 hingga sekarang, yang meramalkan The Fed berencana menaikkan suku bunga 70 basis poin (bps), padahal sebelumnya hanya akan menaikkan 25 bps. Kenaikan juga diprediksi terjadi berkali-kali.
"Jadi, sejak kita mulai bahas dengan DPR di bulan Juni dan Juli, ternyata inflasi AS naik terus dari 6% ke 8%, ke 9%, dan sekarang turun ke 8,8%. Karena ini, The Fed harus merespons sebagai dari kredibilitas kebijakan moneter yang sangat ditentukan oleh kemampuan menstabilkan harga dan nilai tukar," tuturnya.
Ani menambahkan, kenaikan suku bunga The Fed meningkatkan inflasi sehingga nilai tukar terdampak dan membuat indeks dolar menguat. Alhasil, seluruh mata uang di dunia mengalami depresiasi, termasuk rupiah.
"Dengan kondisi ekonomi dunia yang begitu, sementara APBN 2023 sudah didiskusikan dengan panja (panitia kerja), disetujui di paripurna, semua menilai APBN sudah selesai, nih. Jadi, kita diam saja ikutin asumsi. Oh, enggak, semua tetap jalan terus. APBN sudah jadi, tapi ekonomi terus bergerak dinamis, baik karena masalah ekonomi itu sendiri, geopolitik, atau adanya perubahan iklim," urainya.
Katanya, tekanan APBN saat ini semakin besar lantaran banyak gangguan yang dihadapi, semisal disrupsi digital, akibat pandemi, perubahan iklim, kemudian perang.
"Jika ditanya bagaimana menghadapi ekonomi 2023? Ya, optimis dan maju. Itu bagus. Kita lihat masyarakat kita saat ini dihadapkan dengan ekonomi yang tumbuh bagus. Tiga kuartal kita berturut-turut tumbuh di atas 5% walau ada kenaikan bahan bakar minyak (BBM), artinya ekonomi kita masih bullish," papar Ani.
Dirinya mengklaim, terjaganya daya beli masyarakat dan perekonomian tetap berjalan berkat peran APBN sebagai shock absorber dalam menjaga stabilitas harga. Oleh sebab itu, Ani berjanji, APBN 2023 dirancang untuk menjalankan 3 fungsi utamanya sekalipun dihadapkan dengan kondisi ekonomi global yang dinamis.