close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Jokowi kembali mencanangkan program cetak sawah untuk mengantisipasi krisis pangan karena dampak pandemi Covid-19.
icon caption
Presiden Jokowi kembali mencanangkan program cetak sawah untuk mengantisipasi krisis pangan karena dampak pandemi Covid-19.
Bisnis
Kamis, 07 Mei 2020 10:40

Ahli gambut Basuki Sumawinata: Cetak sawah terlalu berisiko, tanahnya juga tidak ada

Cetak sawah berskala besar terkendala teknologi, biaya, waktu, dan ketersediaan lahan.
swipe

Pemerintah kembali berencana mencetak sawah dengan skala yang masif. Tujuannya untuk menggenjot produksi padi. Rencana ini muncul setelah ada peringatan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) terkait ancaman krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19. Sebagai negara importir pangan, Indonesia tidak luput dari ancaman itu. 

Program cetak sawah dalam skala besar bukan hal baru di Republik ini. Namun, menurut pakar Ilmu Tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata, tidak ada catatan keberhasilan yang menyertai program-program itu. "Kita itu sembarangan (membuat program cetak sawah), sejarah kembali berulang," kata Basuki kepada Alinea.id melalui fitur pesan singkat Whatsapp pada Selasa (4/5). Percakapan berlanjut melalui sambungan telepon pada Rabu (5/5).

Basuki membeberkan, program cetak sawah berskala besar kerap mengalami kegagalan. Mulai dari program pengembangan lahan gambut (PLG) satu juta hektare di Kalimantan pada 1995, pengembangan food estate di Merauke, Papua hingga pencetakan sawah oleh BUMN di era Menteri Dahlan Iskan. Menurut Basuki, jika tidak hati-hati perintah Presiden Joko Widodo yang menginstruksikan BUMN mencetak sawah baru bakal kembali mengulang sejarah di masa lalu.

Basuki sudah puluhan tahun menjadi pengajar di Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Ia juga masuk jajaran Pengurus Pusat Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI), sebuah organisasi yang mewadahi pakar yang memliki kompetensi dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan dimensi, nilai-nilai dan pendayagunaan lahan gambut. Berikut petikan wawancara dengan Alinea.id:

Pakar Ilmu Tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata. Dokumentasi rumahkopiranin.com.

Bagaimana pandangan Anda terkait rencana pemerintah mencetak sawah untuk menghadapi ancaman krisis pangan?

Saya sendiri belum tahu dimana dan berapa luas (lahan untuk cetak sawah). Cuma saya baca di koran akan dibuka 200.000 hektare di Kalimantan Tengah dari rencana total 900.000 hektare. Untuk mencari lahan seluas 200.000 hektare yang cocok untuk sawah sesungguhnya sangat sulit. Mengapa?

Kalau untuk Desember kekurangan pangan, sekarang sudah bulan apa? Kalau bikin alat untuk membuka 200.000 hektare berapa alatnya? Ribuan eksavator yang harus disediakan. Apa bisa? Enggak mungkin lah. Emang-nya Sangkuriang atau Bandung Bondowoso? Lahan 200.000 hektare kebayang enggak segede apa? 200.000 hektare dikonversi jadi 2000 kilometer persegi (km2), artinya bisa 25 km x 80 km, bisa 40 km x 50 km atau 100 km x 20 km. Segede Kota Bogor, malah lebih gede lagi. Segede Kota Jakarta. Jadi kalau besok mau kelaparan dan sekarang baru bikin sawah, ya tidak bisa. Kenapa enggak buka dari kemarin?

Coba bayangin, kita itu sembarangan (mencetak sawah), sejarah kembali berulang. Dulu kita buka rice estate tahun 1970 di Sumsel, ujungnya gagal. Kemudian kita buka lagi lahan sejuta hektare pada 1995. Di antara rice estate 1 juta hektare, coba tunjukkan lahan gambut mana yang sustain ditanam padi? Yang ada cuma di pinggir sungai, pasang surut.

Tapi kita punya perundangan (Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Danau) dimana di pinggir sungai beberapa ratus meter (100 meter di luar perkotaan) tidak boleh digunakan. Itu plan untuk hutan. Berarti tempat yang subur untuk padi pasang surut tidak boleh digunakan. Kalau bikin tata ruang makin ke tengah, gambutnya makin tebal, berarti pasang surut tidak bisa. 

Sekarang kita membuka 40 km x 50 km. Sejarah buka lahan pasang surut yang dibuat IPB, mana tunjukkan sama saya hasilnya? Delta Upang di Sumatera Selatan itu sekarang jadi lahan kelapa. Orang Bugis tahun 1920-an buka (lahan) padi, selanjutnya jadi kelapa, kelapa sawit, dan karet. Suksesinya selalu seperti itu. Jadi padi mah hanya untuk awal makan mereka.

Kalau kita bikin lahan di gambut tanahnya begitu porous (berpori, seperti spons-red). Airnya turun ke bawah tanah. Selama tidak ada suplai air, maka air di gambut mengikuti fluktuasi air sungai dan kanal. Pertama, bagaimana teknologi mempertahankan muka air sekitar 5-10 cm di atas permukaan tanah porous sedang permukaan tanahnya sendiri tidak datar? 

Gambut terbentuk karena ada levee-nya (tebing pinggir sungai) kan? Jadi, seperti mangkok, ada backswamp-nya (rawa belakang). Kalau levee-nya dibikin parit ditembusin ke dalam, itu turun airnya. Airnya dari mana lagi? Beda lo gambut sama sawah. Sawah airnya harus hidup, eH-nya harus positif, harus oksidatif. Rawa mah reduktif. Padi enggak bisa ditanam di reduktif. Artinya, sawah harus dapat air segar. Air segar dapat dimana kalau di tempat paling tinggi? Peat dome (kubah gambut) tempat paling tinggi, itu enggak mungkin. 

Kedua, gambut secara umum, memiliki kandungan hara yang sangat rendah. Maka bila tanah tersebut akan diusahakan untuk padi, butuh penerapan teknologi yang seksama dan serius didukung oleh biaya yang mungkin tak terbayangkan saat ini. Mengapa? Karena pembangunan padi skala luas di lahan rawa belum ada yang berhasil. Kasus kegagalan sejuta hektare bukan hanya disebabkan mismanajemen, tetapi secara ilmiah penerapan teknologi waktu itu sangat jauh dari ideal.  

Ketiga, ada masalah lain tentang gambut di Kalimantan. Lahan eks lahan gambut 1 juta hektare itu planning-nya apa? Kawasan hutan lo. Coba Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya itu sampai hari ini masih kawasan hutan. Bagaimana kawasan hutan ada kota? Mestinya direvisi. Revisi itu saja tidak sanggup. Negara tidak mampu menyelesaikan. Bayangkan, Kota Palangkaraya kawasannya hutan, terus mau apa? Pertama, harus selesai perundangannya dulu. Kedua, untuk mengolah 200.000 hektar beda dengan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Kalau HTI orangnya lebih sedikit, tanam terus ditinggalkan. Kalau padi butuh berapa ribu orang? 

Keempat, menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016, sebagian besar lahan di eks sejuta hektare, masuk ke dalam lahan dengan fungsi lindung gambut, yang berarti tidak untuk budidaya. Sedangkan lahan eks sejuta hektare yang bukan kawasan lindung sebagian besar telah diusahakan untuk tanaman perkebunan, seperti karet dan kelapa sawit. Kami memperkirakan tidak kurang dari 300.000 hektare adalah lahan sawit.

Saya sih pesimis membuka 200.000 hektare lahan gambut. Lebih baik kalau mau membuka seribu, dua ribu. Seribu saja sudah banyak tuh, 5.000 ton dapat beras kalau benar. 

Mengapa program lahan gambut satu juta hektare mengalami kegagalan?

Sebagai gambaran, ketika buka 1 juta hektare pemerintah hanya untuk salah satu blok itu 14.000 KK (kepala keluarga) ditransmigrasikan lo. Terus gagal. Dosanya siapa yang mau nanggung? Itu semua orang lupa. Waktu 1995 itu biayanya direncanakan Rp2 triliun. Ketika itu dolar (Amerika Serikat) Rp1.200-Rp1.600 perak saja, kalau dirupiahkan Rp2 triliun. Jadi cuma beberapa juta dolar. Pak Harto tertarik sejuta hektare hanya Rp2 triliun. Murah sekali. 

Apa isu awalnya? Indonesia kekurangan pangan. Sama isunya (sekarang), diulang. Indonesia tahun 1988 swasembada, kemudian tahun 1990-an berkembanglah industri karena tujuan kita menjadi negara industri. Tentu industri harus menghasilkan duit dan membeli padi. Tetapi begitu industri masuk, sawah berkurang karena yang diambil tanah datar. Bahwa padi berkurang lahannya memang betul.

Pak Harto karena dia Bapak Pembangunan dan membawa swasembada beras, ditakut-takuti sama ilmuwan kalau (pangan) kurang. Pak Harto terbit selera buka 1 juta hektare. Kenapa enggak 100 ribu? Karena Pak Harto ingin wah. World Bank tidak setuju, 'Eh jangan buka lo, nanti (pinjamannya) terlalu besar, sedikit-sedikit saja'. 

Tetapi Pak Harto ngotot. Kemudian negara Barat bilang, 'Gue enggak kasih pinjem lo'. Pak Harto marah. 'Enggak dikasih pinjem enggak apa-apa, aku pakai dana reboisasi'. HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kan bayar dana reboisasi. Dana reboisasi yang harusnya untuk menghijaukan hutan, malah dipakai membabat hutan dengan dalih enggak apa-apa untuk pangan. DPR dan rakyat setuju. Semua orang happy. Kenapa? Karena bakal banyak proyek.

Jadi, sebenarnya terlalu berisiko kalau (mencetak sawah) hanya sekadar menghadapi kelaparan Desember 2020. Kalau mau, usahakan seperti yang Pak Jokowi bilang kalau ada air bikin embung, usahakan tanam. Mau enggak mau, suka enggak suka kelaparan. Mau dikasih makan sagu enggak masalah lah. Kalau kita dibiasakan enak, enak-enak saja.

Ketika saya pergi ke lapangan, saya tanya sama yang mengerjakan, gimana rencanamu? Waktu itu PP (PT Pembangunan Perumahan) dan Wika (PT Wijaya Karya). Dijawab mereka 'Planningnya by doing Pak'. Sambil bekerja, sambil berencana. Enggak karu-karuan.

Mereka inginnya air dari Sungai Barito dan Sungai Kahayan masuk ke gambut, kemudian masuk ke tengah, kemudian di tengah dibagi. Airnya diambil dari utara, di hulu, kemudian dimasukan ke gambut. Begitu itu dibuka, parit yang melintang dari Palangkaraya (Kalimantan Tengah) ke Buntok (Kalimantan Tengah). Begitu itu tembus bukan air masuk ke gambut, tapi dari gambut keluar ke sungai. Coba bayangin seperti itu desainernya.

Di satu seminar aku bilang, 'Mestinya semau dipenjara. Kenapa? Karena bikin sistem irigasi tanpa tahu topografinya'. Nah, memang pakai abney level sepanjang mata memandang mendatar, tetapi airnya mengalir, berarti ada slope (lereng).

Akhirnya kering dan kebakaran. Gara-gara kebakaran besar itu, air keluar terus, panik, maka ditutuplah di ujung-ujung kanal itu dipasang bendungan. Dana yang tadi Rp2 triliun jadi Rp14 triliun, belum (jadi) apa-apa. Maka devisa kita itu habis dipakai modal. Akibat devisa habis, maka dimainkanlah sama pialang saham dari Amerika namanya George Soros. Jebol lo. Bangkrut. Dolar yang tadinya Rp1.600 tiap hari naik, akhirnya 1998 bulan April jadi Rp16.000 per dolar, sama seperti sekarang. Begitulah sejarahnya kekayaan kita tiba-tiba hilang 10 kali lipat.

Mengapa perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri sukses dikembangkan di lahan gambut?

Sawit dan HTI bisa berhasil karena tiga hal. Pertama, kedua komoditi tersebut tidak membutuhkan pengaturan air di atas permukaan tanah 5-10 cm. Kedua, tidak membutuhkan pengelolaan yang sangat detail, kebutuhan pupuk, hama dan didukung oleh perencanan baku dan modal sudah diperhitungkan. Ketiga, sawit dan HTI dikelola secara industri, sehingga tenaga kerja sudah didukung dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dipersiapkan. 

Opsi lain yang juga dipertimbangkan oleh pemerintah adalah pembukaan sawah baru di lahan rawa. Apakah memungkinkan? 

Lahan rawa sama saja sulitnya kalau tidak ada irigasi. Di lahan rawa kita hanya bertani di musim kering, nanti musim hujan tenggelam, maka harus dibuat polder atau tanggul keliling yang dilengkapi pompa. Belanda membuat polder di Alabio, Kalimantan Selatan, tahun 1950-an tetapi gagal. Pemanfaatan lahan rawa untuk sawit dengan sistem polder saya pernah melihat berhasil baik. Artinya bisa, tetapi tidak mudah dan murah. Lahan rawa cukup luas, akan tetapi persoalannya pun tidak sama, sehingga perlu penerapan teknologi yang tepat.

Bagaimana dengan lahan kering? Apakah masih memungkinkan untuk cetak sawah?

Sama saja, lahan kering di mana? Lahannya mana yang kosong? Paling cuma cari satu hektare, dua hektare, sepuluh hektare bisa. Jadi kita banyak lahan rawa, flood plain (dataran banjir). Tetapi yang aku bilang peruntukannya di tata ruang apa? Karena kita menganut tata ruang ada danau, sungai, dan pantai ada sempadan. Sebetulnya kalau di daerah banjir, orang tanah memetakan itu badan air. Padahal badan air tetap, air bisa mengecil satu kilometer atau bisa berkilo-kilo tergantung lerengnya. 

Daerah seperti di Kayu Agung (Sumatera Selatan) itu ribuan hektare tenggelam tiga meter pada musim hujan. Kalau itu pemerintah mau serius bukan buat tanam padi saja. Itu setahun cuma sekali. Daerah-daerah itu di-polder, ditanggul, dengan rencana yang benar itu jadi tanah sawah yang stabil. Kalau di  tanah-tanah merah di Leuwiliang (Bogor), di Jasinga (Bogor), ditanam padi, enggak ada.

Lahan yang luas lihat saja di peta. Kan banyak danau-danau, fluktuasinya bisa ribuan hektare juga, tetapi karena punya karakteristik banjir 2-3 meter, pompa lah airnya. Memang sudah begitu. Jadi sudah enggak bisa lagi (dengan pola) petani dan transmigran, tapi harus perusahan beras.

Sebelum dibuat perusahaan beras milik Kementan, BUMN atau swasta harus dibereskan dulu tata ruangnya. Kita lihat daerah itu peruntukkannya apa? Di perdanya kawasan lindung. Jadi kita menghirup leher kita sendiri sudah enggak bisa apa-apa. Jadi konsepnya selalu kalau enggak bisa ditanami (daerah) lindung. 

Kalau mengikuti kesesuaian lahan lebih dari 8% tidak cocok untuk padi. Dimana daerah yang lerengnya kurang dari 8% di perbukitan Jawa Barat selain Karawang? Sawah berteras-teras. Tujuannya kan mendatarkan. Kalau dikerjakan perusahaan mah bangkrut. Teras karena dibiarkan beratus-ratus tahun enggak berasa, jadi tinggal nikmatin padinya saja. Kalau perusahaan yang melakukan, modar. Jadi, nyatanya kita nanam padi di teras-teras enggak baru. Tapi di sekolah diajarinya 8%. Sawah kenyataannya sawah di 10-15% bisa, tapi tradisional.

Kalau kita kembangkan di tempat lain di kawasan lindung-lindung, jadinya tidak sesuai. Jadi kesesuaian lahan tidak tepat lagi sekarang. Kalau 20-30 tahun yang lalu kesesuaian lahan boleh lah. Sekarang, lahannya cuma itu. Bisa enggak kita jadikan A, jadikan B, berapa modalnya? Masih untung enggak? Kan harus begitu. Orang tanam sawit sekarang pasir kuarsa saja ditanami kok. Masak sudah beli lahan mahal-mahal jadi konservasi? Bayar utang pakai apa? Maka sesulit-sulitnya ditanami, masih untung tipis enggak apa-apa yang penting masih untung.

Jadi sebetulnya masalah mendasarnya adalah tanahnya enggak ada. Lahan kita 190 juta hektare, kawasan hutan 120 juta hektare. Kalau dibongkar, kita punya ruang gerak 70 juta hektare. Kota dan perumahan lebih 10 juta hektare, lebih jangan-jangan. Kebun sawit sebut saja 20 juta hektare, karet 3 juta hektare, kakao 2 juta hektare, sawah 7 juta hektare, belum yang lainnya. Terus lahan mana lagi? Sebagian besar di Irian (Papua).

Anggota Babinsa Kodim 0101/BS Kodam Iskandar Muda mengoperasikan traktor untuk membantu petani membajak sawah pada musim tanam serentak tahap kedua di Desa Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (6/5/2020). Presiden Joko Widodo mengintruksikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk mempercepat musim tanam tahap kedua dengan memanfaatkan musim hujan yang masih berlangsung Mei hingga Juni dengan target tanaman padi seluas 5,6 juta hektare, dan produksi sebanyak 20 juta ton gabah kering giling (GKG). Foto Antara/Ampelsa/aww.

Apakah budidaya padi dalam skala luas memungkinkan?

Masalahnya untuk padi sawah secara luas dimana contoh industrinya yang sudah berjalan, sehingga bisa ditiru SOP-nya? Dalam skala industri, apabila pemanfaatan lahan hanya pada saat musim hujan, berarti kita merubah lahan basah menjadi sawah tadah hujan. Bagaimana keadaan pada musim kering? Pasti tidak bisa ditanami padi. Berarti kontinuitas produksi tidak berjalan, kemudian lahan menjadi lahan tidur, maka harus pembersihan lahan lagi. Jadi sulit untuk mengembangkan sawah skala industri dengan sistem tidak pasti.

Untuk mengerjakan sawah pada skala industri tentu perlu didukung mekanisasi. Pertanyaannya, apakah sudah ada planter (mesin penanam) dan harvester (mesin pemanen) yang dapat bekerja di tanah lunak? Apabila digunakan hand tractor, berapa puluh ribu tenaga kerja yang diperlukan? Pada intinya untuk lahan gambut, apalagi gambut tebal, bukan tempat yang cocok untuk mengembangkan padi sawah.

Belum lama kita buka sawah ribuan hektare juga. Zaman Menteri BUMN Dahlan Iskan di Ketapang (Kalimantan Barat) sama Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah). Mana bekasnya? Masuk penjara ujungnya. Saya sudah pergi dan lihat dua-duanya. Satu batang padi pun enggak ada. Plang pun nggak ada. Coba pergi ke sana, gampang kok. Dari ketapang enggak jauh. Kuala Kapuas enggak jauh lewat sungai terusan. Saya sudah lihat itu enggak ada. Jadi semua ngabisin duit. Ujungnya masuk penjara. Jadi itu sudah fakta, tidak mudah. 

Apalagi (buka sawah) 200 ribu hektare, Dahlan Iskan itu cuma empat ribu hektare. Dari pengalaman Belanda di Alabio, Kalimantan Selatan, bikin polder gagal, kemudian rice estate, kemudian lahan gambut 1 juta hektare, dan proyek sawah Dahlan Iskan. Oh ada satu lagi yang gagal, Rice Estate Merauke (Papua). Mana? Enggak bisa, sudah angkat kaki semua perusahaan. Yang saya tahu beberapa sudah pergi, enggak mau melanjutkan.

Setiap ngomong (mencetak sawah) gitu memang menarik, seperti omongan surga, tetapi realitanya belum pernah ada yang menjadi besar, stabil, dan menjadi daerah produksi. Kalau 100-200 hektare ada, tapi kalau 10 ribu hektare, 100 ribu hektare hamparan belum penah saya lihat. Ini yang dibangun baru ya, misalnya transmigrasi seluruhnya jadi sentra padi. Ya enggak lah. 

Pernah ada yang berhasil seperti sawah Rawa Jitu di Lampung, bagus. Tapi enggak semua seperti itu. Kalau beribu-ribu hektare, enggak bisa. Itu proyek raksasa seperti Merauke 1 juta hektare, enggak ada yang berhasil. Satu ton berasnya enggak pernah kelihatan datang ke Jawa. Sekapal juga belum pernah datang. Mau bangun tebu dan padi. Mana? Enggak ada.

Apabila secara teknologi masih belum memungkinkan untuk mengembangkan sawah di lahan gambut dan rawa secara optimal, apa solusi yang tepat untuk meningkatkan produksi padi?

Untuk sementara beli saja, dari pada mencetak sawah sekarang. Wong kekurangan pangannya dikhawatirkan terjadi pada Desember ini. Kalau sekarang baru rencana, buka panennya kapan? 

Diversifikasi pangan mutlak dilakukan. Kita harus meningkatkan devisa dari sektor lain pula agar mampu mengimpor. Mulai sekarang mumpung suasana prihatin begini, lakukan diversifikasi pangan. Misalnya produksi dari sagu, mie sagu, biskuit, beras analog, talas, dan sebagainya.

Kenapa Anda menyarankan impor?

Coba kita lihat, pasaran dunia beras (harganya) berapa? Kita itu baik beras maupun gula harganya jauh dari pasaran internasional. Contohnya gula. Kalau boleh (jual) bebas, maka gula yang sudah dikarungin cuma US$300-400 dolar per ton gula kristal putih. Berarti Rp8.000 per kilogram, sudah untung. Pemerintah jual Rp12.500, petani bilang kemurahan. Maka jangan nanam tebu (untuk dibuat gula) dong! Jadi kita itu memproduksi (ongkosnya) terlalu mahal. Kenapa terlalu mahal? Produksinya terlalu sedikit. Jadi sudah tidak ekonomis. Tanahnya sudah terlalu mahal. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)-nya terlalu mahal. Coba di Bogor tanam padi saja PBB-nya Rp1 juta. 

Kalau pangan masih dalam bentuk sawah, kalau di Jepang sudah overproduct, maka kalau enggak ditanami dibayar. Pokoknya petani dapat privilege. Bibit gratis, sekolah gratis, masuk ke rumah sakit enggak bayar. Dapat kenikmatan. Kalau petani kita kenikmatannya apa? 

Mana mungkin kita untuk (menjawab kelaparan) Desember tiba-tiba naik produksi, enggak mungkin. Distribusi pupuk terganggu, produktivitas terganggu, distribusi truk terganggu, tidak mudah dalam keadaan begini. Apa bisa kita genjot produksi? Enggak bisa. Ya jangan anti-impor. Memang jagung enggak impor karena kita malu impor. Seolah-olah swasembada bohongi rakyat.

Padi kita makan, jagung enggak boleh kita mahalin, kita enggak mau impor. Tetapi ternak kan tidak makan beras. Jagung sudah enggak terbeli, jagung mahal. Terus kalau punya ternak enggak dikasih makan, enggak mungkin dong. Ternak paling banyak ayam. Jadinya dikasih apa? Gandum. Kalau gandum impor, rakyat enggak rewel karena kita tidak bisa nanam gandum.

Terakhir, kalau baru cetak sawah sekarang, kira-kira butuh waktu berapa lama agar bisa panen dan memberikan hasil optimal?

Kalau benar-benar dilaksanakan, paling cepat stabil setelah 3-5 tahun. Lihat pencetakan sawah BUMN zaman Menteri BUMN Dahlan Iskan. Mana hasilnya? Malah beberapa masuk penjara walau tidak tahu persis apa sebabnya. 

Presiden Jokowi kembali menggulirkan program cetak sawah untuk mengantisipasi krisis pangan. Alinea.id/Oky Diaz.
 

img
Syah Deva Ammurabi
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan