close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pertanian. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi pertanian. Alinea.id/Dwi Setiawan
Bisnis
Senin, 24 Oktober 2022 12:58

CIPS kritisi program ekstensifikasi Kementan: Tidak efektif!

Kementan sejak 2018 silam meluncurkan Program Perluasa Areal Tanam Baru (PATB) atau ekstensifikasi guna meningkatkan produktivitas pangan.
swipe

Kementerian Pertanian (Kementan) meluncurkan Program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB) sejak 2018 guna meningkatkan produktivitas pangan. Kebijakan ini masuk dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 484/KPTS/RC.020/M/8/2021 tentang Rencana Strategis (renstra) Kementan 2020-2024.

Menurut lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), kebijakan tersebut tidak menjamin peningkatan produktivitas pangan. Langkah ekstensifikasi itu justru berpotensi merusak lingkungan dan memperparah krisis iklim.

"Perluasan lahan tidak efektif dijadikan solusi utama dalam menjawab tantangan sektor pertanian dan pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia. Cara ini tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan berpotensi merusak lingkungan," kata Kepala Peneliti Pertanian CIPS, Aditya Alta, dalam keterangannya, Senin (24/10).

Pencetakan sawah baru, terlebih di lahan gambut, bakal memakan waktu panjang. Pun belum tentu dapat membantu memenuhi kekurangan stok pangan yang terjadi lantaran karakteristik lahan yang dibuka untuk pertanian belum tentu cocok.

Selain itu, program cetak sawah dengan membuka lahan juga berisiko mengancam ekosistem yang ada. Dengan demikian, akan merusak keseimbangan lingkungan.

Aditya menambahkan, pengembangan sektor pertanian, termasuk di Indonesia, menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah krisis iklim, yang memicu bencana alam dan mengakibatkan ketidakpastian musim tanam-panen hingga menyusutnya produksi.

Berkurangnya jumlah pekerja, menurunnya kesejahteraan petani, dan meningkatnya harga pupuk juga menjadi tantangan lainnya.

"Jumlah penduduk terus meningkat, namun jumlah lahan yang tersedia akan tetap sama dan harus berbagi dengan kebutuhan infrastruktur dan industrialisasi. Sehingga, kemampuan produktivitas di lahan pertanian yang ada harus ditingkatkan untuk bisa mengikuti pertumbuhan permintaan pangan," tuturnya.

Sejauh ini, ungkap Aditya, produktivitas sektor pertanian Indonesia masih rendah lantaran minimnya riset dan inovasi, keterbatasan adopsi praktik budi daya yang baik, dan belum banyaknya penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) atau mekanisasi.

Hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian CIPS, mengakibatkan biaya produksi bahan pangan utama lebih tinggi dibandingkan beberapa negara pengekspor komoditas serupa.

"Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi, dan panjangnya rantai distribusi, yang semuanya berdampak pada harga," paparnya.

Atas dasar itu, CIPS merekomendasikan pemerintah melakukan investasi pertanian berkelanjutan yang mendorong modernisasi dan transfer teknologi guna menekan ongkos produsi. Alasannya, pemanfaatan riset, inovasi, dan adopsi teknologi lebih efektif meningkatkan kapasitas produksi pertanian daripada ekstensifikasi.

"Pemerintah sebaiknya memperkuat produksi pangan yang ada dengan mendukung riset dan inovasi, mengadopsi teknologi pertanian, serta meningkatkan kapasitas petani agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama dengan pihak swasta," sarannya.

CIPS juga menganjurkan pemerintah menggunakan bibit unggul, meningkatkan akses pupuk, memaksimalkan penanganan organisme pengganggu tanaman (OPT), dan optimalisasi mekanisasi dalam rangka peningkatan produktivitas lahan maupun tenaga kerja. Lalu, memperbaiki teknik budi daya, membenahi dan perluasan jaringan irigasi, melakukan modifikasi cuaca guna mitigasi perubahan iklim, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan