Kuasa hukum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Salahudin, menyatakan, tidak terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Putusan MK membuat saya syok sendiri karena hasilnya 100% yang kami prediksi semalam benar. UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional, tetapi bersyarat dengan diberikan waktu sekian tahun,” ucapnya dalam telekonferensi pers, Kamis (25/11).
Keputusan bersyarat itu dengan mempertimbangkan UU Ciptaker diklaim menyederhanakan regulasi, akselerasi investasi, dan memperluas lapangan kerja. Namun, MK tak membantah jika beleid sapu jagat (omnibus law) ini inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945.
“Sehingga putusan uji formil baru kali ini, saya kira, terjadi. Bunyinya adalah inkonstitusional bersyarat, biasanya sifat putusan ini hanya ada di pengujian materiil bukan pada pengujian formil,” tuturnya.
Dalam putusannya, pasal-pasal atau materi muatan UU yang dicabut UU Ciptaker dinyatakan berlaku kembali jika dalam tempo dua tahun sejak putusan dibacakan DPR dan pemerintah tidak dapat menyelesaikan perbaikan.
Keputusan tersebut diambil dengan dalih menghindari kekosongan hukum. Pangkalnya, status UU Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen apabila tak diperbaiki dalam tempo waktu tersebut.
Selain itu, pemerintah dilarang membuat aturan turunan UU Ciptaker selama dua tahun ke depan atau masa perbaikan. Tujuannya, menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU selama tenggang itu.
MK pun menyatakan, pelaksanaan UU Ciptaker yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas ditangguhkan terlebih dahulu.
Mengenai hal ini, Said menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang menjadi dasar penetapan upah minimum provinsi (UMP) dan kabupaten/kota (UMK) 2022, ditangguhkan. Dalihnya, kepentingan buruh berdampak luas dan bersifat strategis.
"Kami bisa menafsirkan, bahwa aturan-aturan ketenagakerjaan yang sifatnya strategis dan berdampak luas harus kembali ke UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegasnya.