close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Antara.
icon caption
Ilustrasi. Foto Antara.
Bisnis
Kamis, 21 Oktober 2021 14:12

CISDI: Kenaikan cukai rokok berdampak positif bagi ekonomi

Kenaikan cukai rokok dengan alokasi yang tepat, tidak serta merta menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian.
swipe

Determinasi riset hasil kolaborasi antara Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) dan University of Illinois Chicago (UIC), acara yang digelar secara virtual, pada Kamis (21/10), dengan tema “Dampak Makroekonomi Cukai Rokok di Indonesia”. Hal itu dalam rangka menjawab beberapa spekulasi yang beredar mengenai cukai rokok, dengan menggunakan berbagai skenario kenaikan cukai dan mengukur dampaknya terhadap makroekonomi.

Pendiri CISDI Diah Satyani Saminarsih menekankan, dari sudut pandang WHO, rokok adalah sesuatu hal yang berbahaya untuk kesehatan. Jadi tidak perlu lagi diperdebatkan dampak negatif rokok bagi kesehatan. Begitu pula dampaknya terhadap anggaran, dan terhadap sosial ekonomi masyarakat yang kerap diteliti

“Kita harus menyepakati bersama bahwa kesehatan adalah dasar yang perlu diprioritaskan atau harus diprioritaskan lebih dari upaya ekonomi. Apabila kesehatan terganggu, maka semua sektor atau elemen pembangunan yang lain tidak akan bisa berjalan dengan lancar, dan buktinya sudah terlihat cukup jelas,” jelas dia secara daring, Kamis (21/10)

Menurut Diah Satyani, perdebatan antara ekonomi dan kesehatan dapat dilihat di area pengendalian tembakau juga. Di mana upaya pengendalian tembakau seringkali dilihat sebagai oposisi dari pembangunan ekonomi, dan pengembangan industri.

“Kalau konsumsi rokok diturunkan, bukankah negara yang dirugikan? Selalu begitu pertanyaannya,” tutur Diah.

Selanjutnya, Ketua klaster penelitian bidang kemiskinan, perlindungan sosial, dan ekonomi pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, menjelaskan, terkait riset dampak makroekonomi cukai rokok di Indonesia

Dalam hal ini, Teguh memaparkan isu mengenai rokok, yang menjadi agenda besar bagi Indonesia. Khususnya terkait dengan isu kesehatan dan isu pengendalian. Serta bagaimana Indonesia menjadi salah satu negara dengan perokok terbesar, dan yang mengenaskan perokok mudanya naik cukup besar.

“Kami mencoba berpikir bahwa pengendalian rokok adalah sesuatu keharusan. Tetapi kita juga berpikir bahwa pengendalian rokok dengan kenaikan cukai itu selalu mendapatkan tantangan. Masih ada pro kontra dan kekhawatiran yang mungkin bisa kami pahami,” tuturnya

Selain itu, dia mengungkapkan pada 2015, keterjangkauan harga rokok di Indonesia 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keterjangkauan harga rokok pada 2002. Menurutnya salah satu pemicu dari hal ini adalah kenaikan cukai yang belum optimal,. 

“Secara teoritis, cukai rokok itu bagian dari pengendalian. Dan juga hasil dari cukai rokok itu bisa digunakan untuk membayar dampak negatifnya. Intinya kalau ada kenaikan cukai tembakau, maka akan menurunkan konsumsi rokok, dan itu pasti akan memulihkan kesehatan. Sehingga kita bisa mengambil inside bahwa peningkatan cukai rokok yang signifikan ini, tidak serta merta memiliki dampak negatif terhadap perekonomian dan penerimaan pemerintah,” tegasnya

Teguh juga mengatakan, jika harga cukai rokok meningkat maka harga rokok pasti akan meningkat yang akan merubah konsumsi rokok dan berujung pada berkurangnya permintaan rokok. Artinya, permintaan industrinya akan berkurang. 

Tetapi, tambah dia, industri selain rokok akan berkembang. Di sisi lain, kalau harga rokok meningkat akibat cukai, akan mendorong penerimaan pajak, penerimaan negara juga akan berubah.

“Ini adalah sebuah metode dalam ekonomi perencanaan. Itu adalah sebuah keseimbangan ekosistem. Artinya, ekonomi dalam industri itu ada input dan output. Dalam hal ini, dampak makroekonomi itu bisa memengaruhi peningkatan output, atau juga memengaruhi penciptaan lapangan kerja,” jelasnya

Selain itu, ia juga mengungkapkan tentang hubungan terbalik antara kenaikan rokok dengan pendapat negara, di mana titik puncaknya adalah 46%. Kemudian alokasi belanja dari hasil pajak rokok seperti saat ini (business as usual) memberikan efek pengganda yang optimal dibandingkan dengan skenario alokasi khusus.

“Kita lihat bahwa pada 2020, kenaikan cukai rokok yang rata-rata sebesar 23% itu dampak kepada perekonomiannya malah positif. Tidak ada ceritanya kenaikan cukai itu akan memperlambat perekonomian secara keseluruhan. Jika kenaikan cukai rokoknya adalah 30%, secara total juga tidak ada masalah yang luar biasa terkait dengan masalah di perekonomian. Berikutnya kalau 40% seperti apa? Ternyata juga tidak memengaruhi obsessed atau output di dalam perekonomian. Sehingga kesimpulannya, industri rokok sesuatu yang berkontribusi dalam perekonomian, mungkin iya. Tetapi kalau misalnya cukai itu dapat membuat industri rokok itu kolaps, atau perekonomian kolaps itu tidak ada buktinya. Apalagi dari sisi lapangan kerja secara nasional, juga tidak ada penurunan penyerapan tenaga kerja,” tutupnya 

Dengan demikian, Teguh menyimpulkan bahwa kenaikan cukai rokok dengan alokasi yang tepat, tidak serta merta menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian. Bahkan, kenaikan cukai rokok memiliki dampak positif terhadap perekonomian. Dari hasil studi menunjukkan, bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 45% dari beseline (2019), dapat meningkatkan pendapatan pemerintah sebesar Rp7,92 triliun, meningkatkan output sebesar Rp26,2 triliun, dan menciptakan sekitar 148.800 lapangan kerja baru.  

 

img
Kania Nurhaliza
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan