Di tengah kondisi perekonomian global yang terus melambat akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China, Bank Commonwealth menilai pasar saham Indonesia masih relatif lebih kuat ketimbang market Asia.
Head of Wealth Management and Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya mengatakan ekonomi AS tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor, sementara ekonomi Eropa, dan China pun tumbuh lebih rendah.
"Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia disebabkan karena masih belum adanya kejelasan meredanya ketegangan terkait perdagangan antara AS dan Tiongkok. Hal tersebut menyebabkan investor lebih memilih untuk berinvestasi di kelas aset yang aman," kata Ivan dalam riset tertulis yang diterima Alinea.id, Selasa (10/9).
Ketika perekonomian dunia melemah, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2019 tercatat 5,05%, turun dibandingkan dengan kuartal I-2019. Namun, angka tersebut masih tetap terjaga di atas 5% dengan peningkatan di konsumsi rumah tangga, sedangkan investasi tetap stabil.
Sementara transaksi berjalan kuartal II-2019 tercatat sebesar defisit US$8,4 miliar. Angka desifit tersebut dipengaruhi oleh perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, serta dampak volume perdagangan dunia dan harga komoditas yang turun.
Meski demikian, lanjut Ivan, saat isu perang dagang kembali memanas pada Agustus lalu, pasar saham Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan dengan dengan pasar saham AS atau pasar saham Asia Pasifik.
Ivan melanjutkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia pada Agustus lalu turun 0,97%. Sedangkan pasar saham AS S&P 500 turun 1,81%, dan acuan pasar saham sharia Asia Pasifik, FTSE sharia Asia Pasifik turun 2,11%.
"Hal ini menunjukkan Indonesia relatif kebal terhadap kemelut perang dagang antara AS dan Tiongkok. Sebab, sebagai negara berkembang, porsi terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi dalam negeri," ujar Ivan.
Selain itu, kata Ivan, ketahanan ekonomi Indonesia juga tetap kuat, dengan terjaganya rasio utang luar negeri terhadap PDB.
Pada September ini, Ivan menjelaskan, investor akan fokus pada dua hal yakni perundingan lanjutan antara AS dan China terkait perang dagang dan pertemuan bank sentral terkait penentuan suku bunga.
"Rencananya, The Fed diperkirakan akan kembali melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga di bulan September 2019," ujar Ivan.
Pelonggaran kebijakan moneter ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi investor untuk kembali masuk ke investasi. Sedangkan dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga dipercaya akan tetap menjaga iklim investasi Indonesia tetap kondusif.
Melihat hal tersebut, lanjut Ivan, Bank Commonwealth merekomendasikan reksa dana untuk menjadi pilihan pertama berinvestasi. Khususnya, reksa dana saham atau reksa dana pendapatan tetap tergantung dari profil risiko dan jangka waktu investasi.
"Hingga akhir tahun 2019, kami masih lebih positif di kelas aset saham, dengan pertimbangan perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan menjadi salah satu alasan dana asing kembali masuk ke Indonesia," tutur Ivan.
Alasan lainnya, kata Ivan, dengan terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo, dan juga pemindahan ibu kota baru, akan ada misi pembangunan baru yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sehingga, untuk nasabah dengan profil risiko growth masih dapat mempertahankan alokasi saham sebesar 70% di dalam portofolio.
Ivan menjelaskan, reksa dana saham secara historikal masih memberikan imbal hasil yang tertinggi dalam jangka panjang, dibandingkan dengan reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, serta reksa dana campuran.
"Oleh karena itu, kami memutuskan memulai kerja sama dalam mendistribusikan reksa dana di bawah kelolaan Sucorinvest Asset Management yaitu Sucorinvest Equity Fund yang secara kinerja produk ini memberikan imbal hasil sebesar 79,27% dalam 3 tahun terakhir. Sementara tolok ukur IHSG memberikan imbal hasil sebesar 26,75%,” kata Ivan.