Cuan pangan organik di tengah boomingnya pola hidup sehat
Pandemi Covid-19 berdampak baik pada kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Demi menjaga imunitas tubuh, tidak sedikit masyarakat yang mengubah pola hidupnya. Salah satunya, mengatur pola makan lebih seimbang dengan bahan makanan organik.
Pergeseran kebiasaan makan dengan mengonsumsi makanan sehat ini dapat dilihat dari survei yang dilakukan oleh Femina awal 2021 lalu. Survei tersebut mencatat, dari 300 responden 82% di antaranya mengatakan bahwa pola makan mereka berubah selama pagebluk. Bagi 62% responden, perubahan pola makan ini dilakukan untuk menjaga kesehatan mereka.
Sedangkan sisanya, melakukan hal ini untuk menghemat alokasi pengeluaran untuk makanan. Walau berhemat menjadi alasan perubahan pola makan, namun masyarakat tetap mementingkan nutrisi yang terkandung di dalam bahan makanan yang mereka beli.
Hal ini terlihat dari 27% responden yang memilih untuk membeli bahan makanan dengan harga ekonomis, 16% memikirkan kepraktisan saat memasak, 35% memilih untuk menggunakan bahan makanan yang kaya nutrisi, dan 23% mementingkan kesegaran bahan makanan.
Selain soal nutrisi, bahan makanan organik nampaknya juga mempengaruhi keputusan masyarakat dalam berbelanja. Tercatat, ada sebanyak 69% responden yang memilih untuk menggunakan bahan organik dalam masakannya.
Anggota Dewan Kehormatan Aliansi Organis Indonesia (AOI) Indro Surono mengatakan, sejak dua puluh tahun terakhir, makanan sehat dengan bahan organik sudah menjadi pilihan masyarakat dunia. Angkanya pun meningkat 546% dari 1999 hingga 2018.
Peningkatan itu, lanjut dia, terjadi lebih tinggi selama pandemi. Bahkan, pasar makanan organik dunia diperkirakan mencapai US$272,18 miliar pada 2027. "Ini cukup signifikan dengan pertumbuhan sekitar 12% per tahun," ungkap Indro, kepada Alinea.id, Senin (29/11).
Sama halnya dengan dunia, Indonesia pun demikian. Pada tahun 2018, produk organik nasional mengalami peningkatan hingga 21%, dari tahun sebelumnya. Angka itu pun menjadi lebih tinggi selama pagebluk. Pasalnya, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mulai terbangun. Dus, tak heran jika permintaan masyarakat akan makanan sehat maupun bahan makanan organik ikut mengalami lonjakan.
"Di tahun lalu, produk organik meningkat 16%. Saya kira tren ini masih akan terus berkembang karena Covid-19 tidak akan segera hilang. Jadi kita harus beradaptasi. Oleh sebab itu, produk organik menjadi semakin diminati," urai dia.
Omzet melonjak
Meningkatnya permintaan makanan sehat salah satunya dialami oleh Yellow Fit Kitchen. Pemilik YellowFit Group Christopher Aldo mengatakan, sejak berdiri pada 2017 lalu, perusahaan penyedia makanan sehat itu selalu berhasil mengalami pertumbuhan lebih dari 100% setiap tahunnya. Bahkan, hingga tahun lalu, konsumen perusahaan yang memiliki ikon koki dengan latar belakang warna kuning ini telah memiliki lebih dari 3.000 pelanggan.
"Untuk periode biasa sebelum pandemi, omzet kami bisa Rp4 miliar sampai Rp5 miliar," katanya, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Pada awal pandemi, lanjut Aldo, pendapatan YellowFit sempat ikut mengalami tekanan. Seperti pada periode Mei 2020 misalnya, perusahaan hanya mencatatkan omzet sebesar Rp1,5 miliar.
Namun, dengan dimulainya tren pola hidup sehat oleh masyarakat Indonesia, perlahan omzet YellowFit kembali meningkat. Bahkan, Aldo dan partnernya, Gregorius Ruben menargetkan omzet hingga Rp250 miliar di tahun 2021.
"Dengan angka pertumbuhan yang cukup besar ini, kami yakin dapat mencapai target," katanya dengan yakin.
Jika Aldo berhasil meningkatkan penjualan dengan YellowFit-nya, lain lagi kisah perempuan asal Malang, Jawa Timur, Diyah Rahmawati. Ia sukses mendulang cuan dari usahanya bertani sayuran organik.
Diyah bercerita, kesuksesannya bertani sayuran organik bermula pada tahun 2015. Saat itu, dirinya berniat menanam sayuran untuk konsumsi pribadi. Langkah ini ditempuhnya usai mendapatkan diagnosis penyakit akut dari dokter. Ia mencoba mencari mencari jalan kesembuhan dengan mengonsumsi makanan organik.
"Waktu itu lahannya cuma 3x1,5 meter di Jalan Slamet Cemboro Kelurahan Cemorokandang," ungkapnya, September lalu.
Enam tahun berselang, tidak hanya kesembuhan yang didapatkan Diyah dari bertani sayuran organik, tetapi juga kesuksesan. Jika sebelumnya, perempuan 43 tahun itu hanya bertani di sepetak tanah kecil, saat ini lahan pertaniannya sudah mencapai dua hektar. Jenis sayurannya beragam yakni 25 jenis di antaranya, sawi, bayam hijau, bayam merah, kangkung, hingga kale. Tidak hanya itu, saat ini usahanya itu juga telah mencatatkan omzet hingga Rp500 juta per bulan.
Di saat yang sama, tingginya permintaan akan sayuran organik, membuat dia menggandeng 19 petani tradisional dan warga sekitar rumahnya untuk ikut mengelola lahan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pasar yang bisa mencapai dua ton per dua minggu, Diyah juga membentuk petani plasma yang ada di Kota Batu.
"Ini dari Jawa Timur aja. Kalau yang dari luar provinsi terpaksa saya tolak, karena produksinya juga masih terbatas," imbuh dia.
Pasar produk organik Indonesia baik di dalam maupun luar negeri memang masih sangat besar. Di dalam negeri, konsumen produk organik pun tidak lagi hanya didominasi oleh penduduk usia tua saja. Hal ini pun diamini oleh Founder PT Kampung Kearifan Indonesia atau Javara Helianti Hilman.
Dia bilang, sejak berdiri pada tahun 2008 silam hingga 2011, kebanyakan konsumen Javara berusia sekitar 50-60 tahun. Namun, tahun-tahun berikutnya hingga saat ini, konsumen perusahaan yang memproduksi bahan makanan organik ini juga didominasi oleh penduduk usia milenial. Ini tentu saja tak lepas dari label bahan organik lebih sehat.
"Kalau dilihat beberapa tahun lalu, makanan organik biasanya dikonsumsi orang-orang tua atau orang dengan kebutuhan diet tertentu. Sekarang, setelah pandemi, trennya berubah. Anak-anak muda under 30 tahun juga makan," ujar dia, kepada Alinea.id, Senin (22/11).
Menurut wanita yang karib disapa Heli ini, makanan organik sendiri merupakan bahan makanan yang diproduksi dan diproses secara konvensional atau tradisional. Selain itu, makanan organik juga biasanya ditanam dengan mengandalkan proses alami tanpa campuran kimia yang biasanya berasal dari pupuk maupun pestisida. Tanaman organik sepenuhnya ditanam dengan mengandalkan pupuk alami seperti kotoran hewan.
Dari sisi pengemasan, biasanya makanan organik itu, dikemas dan dipasarkan secara alami tanpa tambahan pengawet, pewarna maupun pemanis buatan. "Inilah yang membuat bahan makanan organik memiliki harga lebih mahal karena gampang rusak. Ini juga yang membuat makanan organik lebih sehat," jelas dia.
Unggulan ekspor
Dihubungi terpisah, Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Marolop Nainggolan mengungkapkan, produk organik tak hanya menjadi tren di Indonesia saja. Pasar produk bahan makanan sehat pun juga merupakan salah satu produk unggulan ekspor Indonesia, di samping non-migas.
Menurut data Organic Trade Association (OTA), penjualan produk organik di dunia adalah sebesar US$47 juta dan akan meningkat hingga US$60 juta di tahun 2022. Di saat yang sama, nilai investasi produk organik diprediksi akan mencapai US$327 juta di tahun depan. Jauh melonjak dibandingkan tahun 2015 yang hanya mencapai US$155 juta.
Sementara itu, pasar terbesar untuk ekspor produk organik ialah Amerika Serikat dengan nilai pangsa pasar sekitar US$18 miliar, Cina US$3,6 miliar, India sekitar US$63 juta, dan Jerman sebesar US$4,6 miliar. Selain itu, masih ada juga pasar potensial lainnya seperti Denmark, Perancis, hingga Swiss yang memiliki pengeluaran paling tinggi untuk konsumsi makanan organik.
Indonesia sendiri, memiliki pangsa pasar produk organik sebesar 0,4% dari total pangsa pasar dunia. Dengan jumlah produsen produk organik sekitar 17.948 produsen dan luas lahan mencapai 280 ribu hektar di tahun 2020, tak heran jika bisnis makanan maupun produk organik dipandang sangat menggiurkan.
"Dengan pangsa yang ada, produk organik tentu adalah salah satu produk non migas yang diandalkan indonesia," ujar Marolop, kepada Alinea.id, Selasa (30/11).
Sayangnya, meski potensi produk organik sangat besar dan kesempatan ekspor masih terbuka lebar, pemanfaatan produk organik Indonesia masih kurang maksimal. Hal ini salah satunya disebabkan oleh masih banyaknya produsen organik yang belum bersertifikat.
Anggota Dewan Kehormatan Aliansi Organis Indonesia (AOI) Indro Surono menjelaskan, untuk memasuki negara ekspor, produsen organik harus memenuhi persyaratan yang diberikan oleh masing-masing negara calon tujuan ekspor tersebut.
"Di luar itu juga ada standar swasta, ini juga harus diperhatikan," katanya, tegas, Senin (29/11).
Di saat yang sama, masih ada pula tantangan yang harus dialami oleh produsen organik, utamanya dari petani kecil, yakni sulitnya para petani untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk mereka. Belum lagi, sampai saat ini para petani kecil masih juga masih kesulitan untuk mendapatkan pupuk, bibit dan benih.
Untuk pengusaha produk organik, utamanya pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), lanjut Indro, biasanya belum memiliki pemahaman terkait ekspor. Begitu pun dengan standar, baik nasional maupun dari negara-negara calon tujuan ekspor, masih belum dimiliki oleh produsen.
"Dan yang paling penting adalah biaya. Untuk sertifikasi, pengembangan produk, terus technical support itu butuh biaya enggak sedikit. Mereka butuh bantuan itu," tegasnya.
Masalah lain yang juga penting adalah terbatasnya publikasi serta penelitian organik serta anak muda yang meneruskan pertanian organik. Karenanya, untuk memaksimalkan ekspor produk organik, dia menilai, penting bagi pemerintah untuk memberikan pendampingan secara penuh. Mulai dari pembenihan hingga proses ekspor.
Sementara untuk mengoptimalkan pasar domestik, Ketua Yayasan Bina Swadaya Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah juga perlu ikut campur tangan. Salah satunya dengan memastikan produk organik, yang notabene merupakan produk premium ini bisa terserap langsung oleh pasar.
Sebab, akan sangat berat bagi para produsen jika hanya mengandalkan pemasaran secara konvensional lewat pasar swalayan atau toko khusus organik maupun platform daring.
"Contohnya Taiwan. Itu mereka pemerintahnya mewajibkan makanan untuk anak sekolah, makan siangnya itu dibuat pakai produk organik. Tentunya ini akan membantu penyerapan produk organik kan,” kata Bayu, kepada Alinea.id, Selasa (30/11).
Sementara itu, Marolop Nainggolan menilai untuk memaksimalkan pasar ekspor, pihaknya berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada produsen organik. Hal ini dilakukan dengan memberikan pelatihan, promosi, publikasi, pengembangan produknya, serta penyediaan informasi produk organik.
Di saat yang sama, Kementerian Perdagangan sekaligus juga kita memaparkan jejaring dari perwakilan perdagangan di luar negeri, serta penguatan cinta produk organik melalui berbagai kampanye.
"Dengan adanya pendampingan dari pemerintah, diharapkan UMKM indonesia bisa meningkatkan volume dan kualitas produk yang dihasilkan sesuai permintaan pasar dunia," tandas Marolop.