close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Petugas keamanan berjaga di depan Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta, Minggu (29/3/2020). Foto Antara/Rivan Awal Lingga.
icon caption
Petugas keamanan berjaga di depan Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta, Minggu (29/3/2020). Foto Antara/Rivan Awal Lingga.
Bisnis
Rabu, 01 April 2020 10:35

Dampak buruk status darurat sipil Covid-19 bagi perekonomian

Status darurat sipil mendatangkan risiko jangka panjang bagi perekonomian, dibandingkan dengan karantina wilayah (lockdown).
swipe

Presiden Joko Widodo menginstruksikan pembatasan sosial berskala besar yang disertai kebijakan darurat sipil di tengah pandemi Covid-19.

Menurutnya, pembatasan sosial berskala besar tersebut harus didukung regulasi yang jelas. Hal ini untuk menjadi panduan bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota guna mendukung penerapan tersebut.

"Saya minta pembatasan sosial berskala besar. Physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas penanggulangan Covid-19 melalui video conference dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (30/3).

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan jika pemerintah memberlakukan darurat sipil dalam penanganan Covid-19, dampaknya kepada perekonomian akan semakin buruk dalam jangka panjang.

Pasalnya, pembatasan sosial berskala besar yang diinstruksikan pemerintah tetap tidak membatasi gerak orang. Sehingga, pengendalian kesehatan masyarakat akan semakin sulit.

"Jangka pendeknya bagus untuk ekonomi. Artinya masyarakat masih bisa melakukan aktivitas ekonomi, perdagangan dan sebagainya. Tetapi karena masalah kesehatannya tidak cepat diatasi maka ini akan berisiko dalam jangka panjang," katanya kepada wartawan, Selasa (31/3).

Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah segera memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Dengan lockdown, lanjut Tauhid, perekonomian mungkin akan berhenti seluruhnya. Namun, kemungkinan untuk bangkit akan lebih cepat dan dibandingkan dengan pembatasan sosial skala besar yang mengarah kepada darurat sipil.

Hal ini karena karantina wilayah akan membatasi pergerakan orang sehingga, mencegah penularan virus lebih luas, dan mempermudah penanganan. 

"Risikonya karantina wilayah dalam jangka pendek dia akan menurunkan ekonomi secara drastis, tapi karena masalah kesehatan cepat ditangani, maka proses recovery ekonominya akan jauh lebih baik," ujarnya.

Belajar dari China

Dia mencontohkan apa yang dilakukan oleh China di Provinsi Hubei. Setelah melakukan karantina wilayah selama kurang lebih tiga bulan, perekonomian China nyaris tumbuh negatif. Namun, permasalahan dapat terselesaikan dengan cepat. China saat ini dalam proses perbaikan atau recovery di sisi ekonomi.

"China itu kan karantina wilayah seperti di Hubei, dia tiga bulan. Ekonominya mati bahkan negatif, tapi karena cepat menangani masalahnya otomatis proses recovery ekonominya sekarang sudah mulai jalan lagi. Lebih cepat. Itu yang harus ditimbang," ucapnya.

Hanya saja, jika karantina wilayah yang diberlakukan, pemerintah harus menjamin ketersediaan bahan pokok dan tempat tinggal masyarakat, utama untuk masyarakat kategori rentan. Sebab, semua aktifitas akan terhenti dan orang tidak bisa bekerja.

"Kalau karantina wilayah pemerintah harus jamin ketersediaan bahan pokok dan kebutuhan pasokan energi terjamin. Termasuk akses sarana kesehatan harus terjamin," ujarnya.

Menurut Tauhid, hal ini justru yang coba dihindari oleh pemerintah karena alasan anggaran yang tidak tersedia. Padahal, kata dia, pemerintah memiliki sejumlah langkah yang dapat dilakukan. Misalnya, dengan realokasi anggaran kementerian dan lembaga yang tidak perlu dan mengalihkan dana proyek yang dapat ditunda hingga tahun depan, seperti pembangunan ibu kota negara dan proyek lainnya.

Selain itu, pemerintah juga masih bisa melebarkan defisit anggaran hingga 3% yang menurutnya jika dilebarkan akan menambah ketersediaan dana hingga Rp150 triliun.

"Sumber lain ya mau tidak mau kita bisa tambah sumber pembiayaan baru lewat Surat Berharaga Negara (SBN). Kemampuan APBN kita diusulkan 3% itu harus dilakukan. Sekarang kan baru 1,76%. Kalau dia sekitar 3% maka dia akan ada tambahan sekitar Rp150 triliun. Masih bisa ada tambahan besar," ujarnya.

Bercermin dari India

Lebih lanjut, Tauhid mengatakan jika pemerintah harus menjamin kehidupan para pekerja informal dan masyarakat kelas bawah jika lockdown diterapkan. Belajar dari India, kerusuhan besar terjadi saat pemerintah mengumumkan karantina wilayah. Sebagian pekerja informal India berbondong-bondong untuk bergerak ke luar kota, baik kembali ke kampung halaman atau ke tempat lain, karena aktifitas ekonominya terhenti.

Lebih lagi, pemerintah India tidak menyiapkan jaring pengaman sosial yang memadai untuk menjamin keberlangsungan hidup pekerja informal tersebut. Oleh karena itu, lanjutnya, sokongan pemerintah akan kebutuhan dasar masyarakat sangat penting.

"Belajar dari India kalau mau lockdown harus ada jaminan dari pemerintah terkait makanan, tempat tinggal. Sehingga mereka mematuhi aturan lockdown tersebut. Utamanya untuk masyarakat miskin ke bawah," ujarnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan