Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berimbas pada keluarnya aliran modal asing dari pasar keuangan Indonesia (capital outflow).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, sejak Senin (13/5) hingga Kamis (16/5) atau selama empat hari, jumlah aliran modal asing yang keluar dari Indonesia mencapai sekitar Rp11,3 triliun (nett jual).
Dari total tersebut, sebanyak Rp7,6 triliun di antaranya bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) dan sekitar Rp4 triliun dari saham.
"Nah, memang dampak perang dagang AS-China ini terasa ke seluruh negara termasuk Indonesia. Yang pertama dampaknya terjadi, kita lihat modal asing yang keluar terutama portofolio outflow," ujar Perry di Jakarta, Jumat (17/5).
Meski demikian, Perry memastikan capital outflow tersebut adalah investor jangka pendek atau trader. Rata-rata di antara para investor tersebut baru memasukkan modal pada awal tahun. Untuk itu, saat gejolak perekonomian global terjadi, para investor bakal kembali menarik modalnya.
Capital outflow itu juga memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI, rupiah hari ini diperdagangkan di posisi Rp14.469 per dolar AS, melemah dari posisi 2 Mei 2019 yang berada pada Rp14.245 per dolar AS.
Akan tetapi, Perry menegaskan, BI selalu berada di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dengan intervensi ganda.
"Baik melalui pasar valas di spot maupun Domestic Non Delivery Forward (DNDF), demikian juga dengan pembelian SBN dari pasar sekunder," katanya.
Selain itu, kata Perry, BI terus melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah. Khususnya, dalam memastikan prospek ekonomi ke depan agar lebih baik. Di antaranya dalam mendorong ekspor, industri pariwisata dan investasi swasta dalam negeri.
Perry juga mengatakan, likuiditas perbankan kini berada dalam kondisi cukup. Salah satu indikatornya adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) berada di level 21,1% yang terus meningkat sejak kuartal keempat 2018.
"Kami juga terus melakukan strategi operasi moneter untuk memastikan likuiditas itu cukup," tuturnya.
Terlepas dari itu, Perry berharap agar perang dagang AS dengan China dapat mencapai titik terang melalui berbagai perundingan. Termasuk saat pertemuan kedua negara dalam konferensi G20 Leaders Meeting di Osaka pada 22 Juni mendatang.
Sebagaimana diketahui, perang dagang AS dan China dimulai dari ancaman Trump terhadap China yang bakal menaikkan tarif bea impornya terhadap produk China dari 10% menjadi 25% atau naik hingga US$325 miliar. Ancaman tersebut kemudian dikeluarkan per 10 Mei 2019.
Adapun keputusan itu diberlakukan sebab Trump merasa China telah melanggar kesepakatan dagang kedua negara tersebut, yakni meningkatkan jumlah barang impornya.
Aksi tersebut ternyata malah memperlebar peluang perang dagang kedua negara tersebut. Pada hari yang sama, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengumumkan negaranya bakal memberlakukan aksi balas yang serupa kepada AS, yaitu menaikkan tarif impor atas barang AS senilai US$60 miliar per 1 Juni 2019.