Dana asing masuk ke start-up Indonesia capai Rp35 triliun
Investor asing menggelontorkan dana ke perusahaan rintisan alias start-up Indonesia mencapai US$2,5 miliar setara Rp35 triliun per tahun.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong memperkirakan Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke perusahaan rintisan Indonesia, termasuk unicorn dapat mencapai sebesar US$2 miliar hingga US$2,5 miliar per tahun.
"Pada dasarnya yang namanya FDI itu, kisarannya US$9 miliar-US$12 miliar per tahun. Perkiraan kami porsi yang masuk ke start-up, termasuk ke unicorn antara 15%-20% dari angka itu, jadi sekitar US$2 miliar-US$2,5 miliar per tahun," ujar Thomas Lembong dalam acara Forum Merdeka Barat 9 di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jakarta Pusat, Selasa (26/2).
Lembong juga memprediksi FDI yang masuk ke sektor ekonomi digital dan e-commerce pada tahun ini akan semakin meningkat.
"Sejauh ini tidak ada indikasi investor mulai kapok, gelisah, atau kehilangan antusiasmenya atas potensi ekonomi digital Indonesia. Yang saya lihat tahun ini malah makin kencang ke sektor ekonomi digital dan e-commerce," katanya.
Pesatnya arus modal yang masuk terhadap sektor ekonomi digital dan e-commerce atau start-up ini disebutnya telah menopang investasi asing ke Indonesia dalam lima tahun terakhir selain sektor smelter atau pabrik pemurnian logam, terutama nikel. Pasalnya, investasi internasional dalam lima tahun terakhir sedang mengalami penurunan.
"Tanpa dua sektor ini, investasi internasional Indonesia akan turun," ucapnya.
Sebelumnya, BKPM melaporkan total realisasi investasi sepanjang 2018 mencapai Rp721,3 triliun. Dibandingkan dengan target realisasi investasi RPJMN, jumlah investasi tersebut hanya tercapai 94,3% atau tidak mencapai target.
Tidak tercapainya target tersebut disebabkan oleh turunnya realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 8,8% menjadi Rp392,7 triliun dari total realisasi PMA pada 2017 sebesar Rp430,5 triliun.
Pak Tom: Ada pepatah bahwa aset no.1 sebuah perusahaan adalah manusianya. Pada startup, inovatornya. Unicorn di Indonesia, inovatornya adalah orang Indonesia. Meskipun ada modal asing yg cukup signifikan dlm startup, kendali usaha ada di tangan para foundernya, para putra bangsa. pic.twitter.com/jqeCPc4wCQ
— #InvestIndonesiaNOW (@bkpm) February 26, 2019
Unicorn tak bocor
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menegaskan investasi asing yang mengalir untuk unicorn di Indonesia tidak akan bocor ke pihak asing, justru keuntungannya dirasakan paling besar oleh masyarakat.
"Jadi kalau ditanyakan unicorn untuk siapa, maka yang jelas adalah untuk masyarakat kita. Baik itu yang memudahkan aktivitas sehari-hari, menciptakan lapangan pekerjaan, serta memanfaatkan teknologi digital," ujar Rudiantara pada kesempatan yang sama.
Tanggapan ini dikeluarkannya mengingat pada Debat Calon Presiden (Capres) 2019 lalu Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto sempat menyebut dirinya khawatir jika investasi yang ditanamkan ke start-up bernilai valuasi di atas US$1 miliar itu akan dinikmati oleh pihak asing.
"Kalau ada investor masuk ke dalam negeri melalui unicorn tadi katanya ini bakar uang. Bakar uangnya buat siapa? Yang menikmati subsidi ya konsumen Indonesia. Yang paling beruntung adalah masyarakat Indonesia karena aplikasi-aplikasinya menyelesaikan masalah di masyarakat. Memang, kita penting juga senantiasa alert, senantiasa waspada, tapi jangan sampai membuat kita paranoia," kata Rudiantara.
Dia menyebut investasi asing yang masuk ke start-up unicorn justru menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Kalau kita hanya mengandalkan APBN, investasi dalam negeri dan juga ekspor, ekonomi kita tidak akan tumbuh cepat. Justru dengan adanya investasi asing, termasuk ke dalam start-up unicorn, itu menjadi salah satu faktor yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi," katanya.
Selanjutnya, Rudiantara menjelaskan alasan terkuat yang menjamin pernyataannya tersebut dikarenakan model bisnis start-up yang berbeda dengan perusahaan konvensional.
Menurutnya, saat ini masyarakat Indonesia masih memegang pemikiran bisnis konvensional terhadap start-up yang ada di mana misalnya jika perusahaan itu patungan, maka yang menjadi petingginya adalah pemilik modal terbesar. Sedangkan di start-up, yang terjadi tidak seperti itu.
"Investor menanam modal ke start-up adalah untuk orang-orang yang ada di dalamnya. Justru dipersyaratkan founder-nya tidak boleh keluar sampai mungkin saat nanti listed atau apa. Perbedaan yang paling hakiki ada di situ," ujarnya.
Modal ventura atau investasi yang diberikan kepada start-up menurutnya juga sangat berbeda dengan investasi konvensional. Para investor tidak akan masuk di jajaran manajerial, sebab investasi mereka sebenarnya ditujukan kepada orang atau pendiri start-up yang menjadi otak dari bisnis tersebut.
"Venture capital biasanya hanya financial investor. Mentok-mentok mereka mengisi posisi sebagaai komisaris. CEO, manajerial, tetap dipegang para pendirinya. Mereka invest karena kepercayaan mereka terhadap sumber daya manusia. Jadi yang mahal itu ya Nadiem, William, Zaky, Ferry, jangan sampai keluar dari unicorn-nya," katanya.
Menteri Rudiantara berharap, dalam waktu dekat salah satu di antara unicorn yang ada yaitu Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka bisa menjadi decacorn. Jika hal ini terjadi, menurut Rudiantara sudah jelas pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya di era digital ini akan semakin kompetitif.