Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) belum juga reda. Teranyar, PT. Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menyatakan pailit dan resmi menutup pabrik mereka di Sukoharjo dan Semarang, Jawa Tengah, pada 1 Maret 2025. Total lebih dari 10 ribu karyawan Sritex terkena PHK.
Pada saat yang sama, PT Yamaha Musik Indonesia--produsen alat-alat musik terbesar di Indonesia--mengumumkan PHK terhadap sekitar 1.100 pekerja mereka. Yamaha juga mengumumkan rencana untuk menghentikan produksi dan merumahkan 2.700 karyawan.
Serupa, PT Sanken Indonesia berencana berhenti beroperasi pada Juni 2025. Perusahaan asal Jepang itu mengumumkan penutupan semua lini produksinya di kawasan industri MM 2100, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Akibat penutupan pabrik, sebanyak 459 buruh PT Sanken Indonesia terkena PHK.
Gelombang PHK di Sritex dan kawan-kawan merupakan kelanjutan badai PHK pada tahun sebelumnya. Menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), sebanyak 77.965 orang terkena PHK sepanjang 2024. Angka itu meningkat kisaran 20,2% dibandingkan tahun 2023.
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany berpendapat gelombang PHK yang dialami pegaawai Sritex dan sejumlah perusahaan harus segera direspons pemerintah. Tsunami PHK akan memperburuk angka pengganguran dan menurunkan daya beli masyarakat yang menurun. Ujungnga, pertumbuhan ekonomi ikut tertekan.
"Cita-cita Prabowo (pertumbuhan ekonomi) 8% akan sulit tercapai. Pertumbuhan ekonomi tahun 2025 ini, saya prediksi, kemungkinan kurang dari 5%. Investor dari luar akan enggan datang. Padahal, ini yang efeknya dahsyat untuk pertumbuhan ekonomi. Investor dalam negeri, khususnya Danantara, tidak bisa diharapkan akan cepat mendongkrak pertumbuhan ekonomi," kata Andy kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara ialah lembaga yang bertugas mengelola investasi pemerintah. Dipimpin Rosan Roeslani, lembaga itu resmi beroperasi sejak Februari 2025. Danantara diperkirakan bakal mengelola aset hingga Rp14,6 triliun.
Andy menilai kinerja Danantara paling cepat baru kelihatan tahun depan. Lembaga itu juga tidak akan instan berdampak pada pembukaan lapangan kerja. Di sisi lain, kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah juga menekan pertumbuhan ekonomi.
"Oleh karena itu, pemerintah harus fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan, dan mungkin dengan menggandeng para pengusaha. Pekerja yang terkena PHK bisa disisipkan ke berbagai perusahaan yang mungkin harus disertai pelatihan untuk re-skilling ataupun up-skilling," ucap Andy.
Andy menilai pemerintah seharusnya bisa membantu pengembangan perusahaan pada masa krisis ekonomi. Ia mencontohkan penerapan upah minimum provinsi (UMP) maupun upah minimum sektoral yang kaku dan tak mempertimbangkan kondisi perusahaan. Seharusnya, pemerintah lebih fleksibel dalam menetapkan UMP.
"Semisal gaji tidak sepenuhnya, baik bagian manajemen maupun bagian produksi. Proyek padat karya barangkali bisa menampung banyak pekerja, mengembangkan pelatihan-pelatihan enterpreneurship yang diikuti dengan kemudahan pinjaman modal dari bank," kata dia.
Lebih jauh, Andy mengusulkan sejumlah upaya untuk mencegah agar badai PHK tak terus berlangsung. "Jaminan kehilangan pekerjaan diterapkan dengan baik, tata kelola sumber daya alam dan keuangan negara harus dibenahi. Tak kalah penting pemberantasan korupsi harus ditindak dengan adil untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat maupun investor asing pada pemerintah," tuturnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menilai gelombang PHK yang melanda Sritex dan kawan-kawan merupakan kontraksi keputusan pemerintah yang menaikan kenaikan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota tahun 2025.
Ketentuan kenaikan UMP tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025. Kenaikan UMP dan upah minimum kota/kabupaten disamaratakan sebesar 6,5%.
"Belum lagi dollar terus naik. Jadi, untuk perusahaan yang bahan bakunya impor, tentu biaya produksi akan semakin mahal. Untuk bisa mencegah itu, pemerintah itu perlu memberi kebijakan yang memberi keringanan bagi industri," kata Esther kepada Alinea.id, Sabtu (1/3).
Esther menilai sebelum perusahan mengambil langkah PHK pekerja, pemerintah bisa turun tangan meringankan beban pekerja, seperti meringankan subsidi bunga. Perusahan yang punya cicilan utang juga harus diberi subsidi, semisal lewat restrukturisasi utang.
"Ongkos produksi juga makin mahal. Subsidi energi juga dikurangi, biaya transportasi juga naik. Jadi, insentifnya berupa penangguhan pajak, terus kemudian kenaikan upah itu tidak implementasikan dulu. Lalu, restrukturisasi kredit atau subsidi bunga. Yang penting mereka survive dulu," kata Esther.