Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Januari 2019 turun 3,24% (month on month) dengan nilai US$ 13,24 miliar. Secara tahunan atau year on year, ekspor Januari 2019 turun 4,70% dibandingkan Januari 2018.
"Nilai ekspor Januari US$ 13,87 miliar, kalau dibandingkan Desember 2018 berarti terjadi penurunan 3,24%. Kalau dibandingkan Januari 2018 ekspor Januari 2019 juga alami penurunan YoY 4,70%" ujar Kepala BPS Suhariyanto di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (15/2).
Menanggapi itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menerangkan, faktor pendorong penurunan kinerja ekspor nasional tersebut dipengaruhi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang memang dimulai sejak awal tahun lalu.
"Kita terpengaruh langsung dari perang dagang itu, sementara upaya untuk mencari pasar alternatifnya kelihatannya lebih lambat," jelas Darmin di gedung Kementerian Koordinator Perekonomian.
Kebijakan pemerintah India yang mempersulit ekspor produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia beserta turunannya dengan bea masuk tinggi 54% dan 44% sejak Maret lalu, turut mempengaruhi penurunan kuantitas ekspor awal tahun ini.
"Bukan karena sudah melewati puncak dari kemampuan ekspor. Ini karena perkembangan dunia cepat sekali sehingga penyesuaiannya lebih lambat," katanya.
Selain itu, ekspor RI ke Negeri Tirai Bambu yang didominasi produk hasil tambang dan perkebunan juga sulit dialihkan ke negara lain.
"Artinya, kebijakan ekspor jangka pendek kita sekarang sedang memilih komoditi yang mau didorong, seperti kemarin otomotif. Setelahnya mungkin tekstil dan pakaian (TPT) lalu elektronik. Jadi kita akan arahkan ekspor ke produk industri manufaktur," tegasnya.
Untuk itu, Darmin mengimbau agar produk hasil sumber daya alam yang ekspornya belum termanfaatkan dengan baik, yakni produk perikanan dan kelautan dapat diberi perhatian secara lebih demi membuka peluang ekspor lainnya.
"Jadi untuk hasil SDA kita ingin mendorong perikanan," imbuhnya.
Mengutip data BPS, penurunan ekspor sendiri tak terlepas dari kenaikan harga minyak mentah yang terjadi selama Desember 2018 hingga Januari 2019 lalu. Di mana pada Desember 2018 harga minya tercatat baru mencapai US$54,81 per barel, namun memasuki Januari 2019 menjadi US$ 56,55 per barel.
"Fluktuasi harga akan pengaruhi ekspor dan impor Indonesia," ungkap Suhariyanto.
Selain itu, penurunan ekspor terjadi juga disebabkan oleh menurunnya ekspor migas sebesar 29,30% yaitu dari US$1.746,4 juta menjadi US$1.234,7 juta.
Penurunan ekspor migas sendiri diyakini terjadi oleh karena menurunnya ekspor hasil minyak sebesar 29,76% menjadi US$75,1 juta dan ekspor minyak mentah sebesar 77,25% menjadi US$72,1 juta, demikian juga ekspor gas yang turun sebesar 17,77% menjadi US$1.087,5 juta.
Sementara untuk ekspor nonmigas malah mengalami kenaikan tipis yaitu sebesar 0,38% dari US$12.586,8 juta menjadi US$12.634,3 juta.
Sementara, analis memandang, langkah efektif mengatasi defisit neraca perdagangan adalah melalui pembangunan industri manufaktur. Namun, pemerintah dinilai belum berhasil merealisasikan pembangunan industri tersebut.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Akhmad Akbar Susamto menilai, tidak ada cara jitu selain membangun industri manufaktur.
"Kalau mau negara kuat, maka yang harus dilakukan membangun industri manufaktur yang kuat," kata Akbar di Jakarta, Jumat (15/2).
Cara yang ditempuh pemerintah selama ini tidak menyentuh pada masalah utama. Solusi hanya bersifat sementara.
Meskipun pemerintah sudah melakukan keringanan terkait pajak ekspor yang berakibat pada surplus neraca perdagangan, itu bukan solusi permanen. Surplus neraca perdagangan yang sempat dialami, lantaran harga komoditas di pasar internasional membaik.
Akbar menekankan, komitmen presiden untuk mendorong industri manufaktur bila ingin mengatasi defisit neraca perdagangan mesti membangun industri manufaktur.
"Kalau tidak, neraca perdagangan kita akan tetap seperti ini," ungkap Akbar.