Darurat sampah saset: Produk murah dengan konsekuensi mahal
Adalah Pandawara Group yang terdiri atas lima pemuda sebaya yang belakangan viral. Bukan sekadar sensasi, kelima sekawan yang bersahabat sejak SMA ini rutin membersihkan sungai-sungai yang dipenuhi sampah. Mereka terjun langsung ke sungai yang mampat oleh sampah plastik, kayu, kasur, dan sebagainya hanya dengan tangan kosong.
“1,4 ton sampah dalam satu sungai berhasil kita ambil, dan itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan,” begitu postingan Instagram @pandawaragroup beberapa hari lalu.
Akun pandawaragroup yang mulai aktif sejak September 2022 lalu ini berisikan kegiatan Rafly Pasya (22), Agung Permana (22), Rifki Sa'dulah (22), Muchamad Ikhsan (21), dan Gilang Rahma (22) bercebar-cebur di kubangan sampah dan memungutinya hanya dengan tangan, tanpa alat berat. Sebelum akhirnya viral, Gilang Rahma menyebut aksi itu sudah mereka lakukan sebelum menjadi bahan konten.
“Karena memang kami kebetulan korban dari masalah sampah, yakni banjir. Banjir ini sampai masuk rumah kami di daerah Bandung Selatan, Jawa Barat," kata Gilang seperti dikutip dari kanal YouTube CURHAT BANG Denny Sumargo yang tayang Senin (16/1).
Selain Pandawara Group yang beraksi nyata memusnahkan sampah, ada aksi tiga kelompok lingkungan yakni Sufrider, ClientEarth dan Zero Waste France yang melayangkan gugatan kepada perusahaan produsen makanan dan minuman raksasa Danone, 9 Januari lalu. Perusahaan bermarkas di Paris ini diseret ke Pengadilan Perancis dengan tuduhan gagal menangani masalah plastik yang mereka produksi selama bertahun-tahun beroperasi di berbagai belahan dunia.
“Sudah ada kekhawatiran yang disampaikan para pakar iklim dan kesehatan, serta konsumen. Danone punya kewajiban hukum untuk menghadapi masalah ini,” kata pengacara ClientEarth Rosa Pritchard, dalam keterangannya yang dikutip Alinea.id, Kamis (26/1).
Berdasarkan laporan Break Free from Plastic, dengan gurita bisnisnya Danone juga menjadi penyampah terbesar di Indonesia. Dengan temuan sampah yang terekam sebanyak 1,480 item atau mencapai 11,75% dari total 12.596 sampah plastik kemasan yang ditemukan hingga November 2022. Jumlah tersebut turun dari jumlah polutan plastik kemasan yang ditemukan di sepanjang tahun 2021, yang sebanyak 2.472 item, namun naik dibanding tahun 2020 yang hanya mencapai 1.052 item.
Sampah plastik jadi mikroplastik
Laporan Break Free from Plastic tersebut semakin dikuatkan oleh hasil penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) atau Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) dan Rivers Warrior di delapan kota/kabupaten yang menjadi penyumbang sampah terbanyak yakni Bangkalan, Magetan, Tulungagung, Gresik, Jember, Malang, Kediri, dan Sidoarjo.
Di mana hasilnya menunjukkan bahwa sampah kemasan saset dari Wings (523 sampah), Unilever (330 sampah), Indofood (307 sampah), Mayora (209 sampah), dan Ajinomoto (183 sampah) masih ditemukan di bantaran sungai-sungai di 8 kota/kabupaten tersebut.
Hal ini jelas miris, di tengah gembar-gembor pengelolaan sampah plastik dan kemasan dari plastik daur ulang. Sampah-sampah kemasan dari perusahaan terutama produsen barang consumer (fast moving consumer good/FMCG) masih banyak ditemukan di sungai seluruh Indonesia. Bahkan, menurut catatan Peneliti Senior Ecoton Prigi Arisandi, sampah plastik kemasan telah menyumbang 16% dari total polutan di perairan nasional.
“Kemasan saset dijual dengan harga murah, tapi menimbulkan biaya penanganan yang sangat mahal untuk pengumpulan dan pemilahan sampahnya kalau sudah terlanjur tercecer di lingkungan,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (24/1).
Belum lagi, sampah plastik di perairan menimbulkan remahan plastik atau mikroplastik yang efektif memberikan tekanan pada kesehatan lingkungan dan manusia yang hidup di sekitarnya.
Pada kesempatan lain, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Suyud Warno menjelaskan, bagi manusia mikroplastik berpotensi menjadi racun pada sistem imun, sistem saraf, sistem endokrin, hingga sistem reproduksi. Tidak hanya itu, remahan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter ini juga dapat memicu pertumbuhan sel kanker, reaksi alergi, kerusakan sel, gangguan metabolisme, dan gangguan hormon.
“Pada lingkungan, mikroplastik bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dan kerusakan habitat. Bahkan kalau tertelan hewan, bisa menyebabkan hewan itu menderita karena kesulitan makan atau bergerak,” jelas dia, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.
Untuk mengurangi potensi bahaya itu, Suyud dan Prigi sepakat, satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi timbulan sampah plastik. Bagi konsumen, atau dalam hal ini masyarakat, Surud menyarankan, agar tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai, mengurangi alat makan berbahan plastik, serta mendaur ulang plastik kemasan yang mereka beli.
“Pada intinya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang dihasilkan. Sehingga tidak membuang sampah sembarangan,” tegasnya.
Persentase timbulan sampah plastik di Indonesia 2018-2022
Tanggung jawab perusahaan
Sedangkan Prigi menuntut agar perusahaan-perusahaan bertanggung jawab penuh terhadap sampah plastik kemasan yang diproduksinya secara nyata. Peneliti sekaligus pendiri Ecoton ini bilang, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sudah menuntut produsen untuk bertanggung jawab atas sampah dari bungkus produk yang dihasilkan, yang tidak dapat diolah secara alami melalui upaya Extended Producer Responsibility (EPR).
Kewajiban ini bahkan juga telah tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Di mana dalam aturan ini, produsen harus mengurangi sebanyak 30% dari sampah yang dihasilkan. Namun, pada kenyataannya produsen masih banyak yang lalai terhadap tanggung jawabnya ini. Sehingga sering kali membuat sungai hingga pesisir pantai menjadi tempat pembuangan akhir sampah kemasan.
“Produsen besar seperti Danone, Unilever, Indofood, dan Wings harus bertanggung jawab atas sampah saset yang dihasilkannya dan terbuang ke sungai-sungai. Mereka seharusnya ikut membersihkan sampah-sampah itu,” kata Prigi.
Tanggung jawab produsen menjadi hal penting untuk mengurangi timbulan sampah plastik di sungai. Apalagi, plastik kemasan yang biasa digunakan produsen berupa saset, di mana jenis plastik ini berbentuk lapisan-lapisan, sehingga sulit didaur ulang. Lembaga-lembaga yang biasa mendaur ulang sampah plastik pun kadang enggan mengolah sampah jenis ini. Di saat yang sama, harga beli sampah plastik kemasan pun terbilang lebih murah dari sampah-sampah plastik jenis lainnya.
“Sehingga untuk praktisnya orang lebih memilih membuang saja plastik saset ini, ya di tanah, ya di sungai,” imbuh aktivis lingkungan itu.
Di sisi lain, tanggung jawab produsen juga penting karena pada dasarnya pemerintah hanya bisa mengelola sekitar 40% sampah yang dihasilkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sedangkan 40% sampah lainnya dikelola dengan cara dibakar atau dikubur dan 20% sisanya dibuang ke sungai. Padahal, pada tahun 2022 saja, ada sekitar 17,83 juta ton timbulan sampah, di mana 18,3% di antaranya merupakan sampah plastik.
“Di hilir, air sungai itu digunakan untuk minum, untuk mandi. Tapi di hulu, masyarakat justru membuang sampah mereka di sungai. Jadi lah sungai kita ini lama-lama kehilangan fungsinya,” kata Koordinator River Warrior Sofi Azlian Aini, kepada Alinea.id, Jumat (27/1).
Demi lingkungan dan kesehatan masyarakat, Sofi pun meminta agar masyarakat tidak lagi membuang sampah-sampahnya di sungai. Sementara bagi produsen, River Warrior bersama Tim Ekspedisi Sungai Nusantara telah memberi rekomendasi kepada perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari untuk tidak lagi menggunakan plastik saset untuk mengemas produknya.
Sementara itu, Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito mengaku, pihaknya sudah menekankan kepada para produsen untuk mendukung praktik ekonomi sirkular dan mengurangi timbulan sampah plastik. Tidak hanya itu, untuk mendukung implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut (2019-2025), Kementerian Perindustrian juga terus mendorong kolaborasi antara industri FMCG dengan industri daur ulang untuk mengurangi sampah terbuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), apalagi sungai.
“Dari sisi insentif, kami sudah memfasilitasi business matching antar stakeholder terkait. Selain juga kami sudah menyusun standar pengelolaan sampah oleh produsen,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (26/1).
Secara paralel, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga terus mendorong kebijakan-kebijakan pengelolaan sampah di sumbernya. Sebab, metode pengelolaan sampah yang paling efektif ialah sampah yang dikelola di sumbernya oleh produsen.
“Produsen dalam hal ini bisa masyarakat yang memakai produk-produk dengan kemasan plastik itu, bisa juga perusahaan-perusahaan yang memang memproduksi produk-produk dengan kemasan plastik,” ujar Direktur Penanganan Sampah KLHK Novrizal Tahar, kepada Alinea.id, Rabu (25/1).
Upaya korporasi
Sementara itu, sebagai produsen Danone-Aqua, telah memulai gerakan #BijakBerplastik sejak 2018 silam, sebagai upaya pengelolaan dan penekanan jumlah sampah plastik yang berakhir di lautan. Melalui tiga fokus utama, yakni pengembangan infrastruktur pengumpulan sampah, edukasi terhadap konsumen dan masyarakat, serta inovasi kemasan produk, produsen AMDK ini mengklaim telah berhasil meningkatkan daur ulang hingga 17%, sehingga menurunkan jumlah sampah yang dibakar dan dapat menghindari emisi hingga 36.369 ton CO2 selama periode program dari 2018 – 2022.
“Kami menyadari kompleksitas pengelolaan sampah plastik yang hanya dapat diselesaikan jika semua pihak memberikan kontribusi yang nyata dan kuat” kata Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto dalam keterangannya kepada Alinea.id, pekan lalu.
Selain dengan Gerakan tersebut, upaya penekanan sampah plastik juga dilakukan produsen Mizone ini dengan menggunakan kemasan yang 100% dapat didaur ulang. Dengan langkah ini, Vera berharap kemasan dapat digunakan kembali ataupun dapat dikomposkan, dan meningkatkan proporsi daur ulang hingga 50% untuk kemasan botol plastik Aqua.
“Untuk mengurangi potensi timbulan sampah, kami juga menggunakan kemasan Galon Guna Ulang. Melalui model bisnis guna ulang ini, saat ini 70% bisnis kami telah sepenuhnya sirkular sesuai dengan visi pemerintah dalam mengakselerasi implementasi ekonomi sirkular,” imbuh Vera.
Sementara itu, produsen penghasil sampah plastik kemasan lain, PT Coca-Cola Indonesia juga telah berkomitmen untuk membantu mengurangi sampah bekas kemasan, melalui gerakan ‘Recycle Me’. Director of Public Affair, Communications and Sustainability of PT Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo bilang, upaya ini juga sejalan dengan visi The Coca-Cola Company sejak 2018 lalu, untuk mewujudkan ‘World Without Waste’.
“Sebagaimana The Coca-Cola Company berkomitmen untuk membantu mengumpulkan kemasan bekas, kami juga di sini punya komitmen untuk menggunakan bahan baku daur ulang,” ujar dia, kepada Alinea.id, Rabu (18/1).
Hingga 2030, Coca-Cola Indonesia pun menargetkan bisa menggunakan bahan daur ulang sebagai kemasan 50% produknya. Di saat yang sama, melalui gerakan yang baru diluncurkan pada 2021 ini bisa menumbuhkan kesadaran kepada konsumen akan pentingnya mengumpulkan dan mendaur ulang sampah kemasan. Selain juga memberikan kehidupan kedua pada botol-botol plastik yang mereka gunakan sebagai kemasan.