PT Pertamina (Persero) saat ini tengah mengkaji penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah lonjakan harga minyak dunia. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, kenaikan harga BBM belum pas dilakukan saat ini.
"Momentum kenaikan harga BBM belum pas lantaran daya beli masyarakat masih rendah akibat pandemi Covid-19," ucapnya kepada Alinea.id, Rabu (9/2).
Dia menjelaskan, kenaikan harga minyak dunia memang merugikan bagi Pertamina selama tidak adanya penyesuaian harga di tengah lonjakan tersebut.
"Tapi kerugian itu ditutup pemerintah dengan dana kompensasi," katanya.
Fahmy memprediksi tren harga minyak sampai dengan Maret 2022 mendatang masih menunjukkan kenaikan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bisa menembus US$100 per barel.
"Bagi Indonesia sebagai net importer, kenaikan harga minyak dunia tidak menguntungkan sama sekali," ujarnya.
Hal senada mengenai proyeksi harga minyak dunia sebelumnya juga disampaikan Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Indef juga memprediksi harga minyak bisa menyentuh US$100 per barel.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menjelaskan, tensi geopolitik global antara Rusia dan Ukraina sedang meningkat dengan melibatkan negara-negara yang mendominasi perekonomian dunia. Menurutnya, dengan kondisi geopolitik seperti ini, implikasinya tidak akan mudah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
"Geopolitik Rusia dan Ukraina yang ini mungkin gak mudah juga diselesaikan, kalau ini terus-terusan naik dan dugaan kami bisa tembus US$100 per barel," ujarnya.