Deindustrialisasi dini dan target RI menjadi negara maju di 2045
Indonesia menargetkan menjadi negara maju atau berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Namun, ancaman deindustrialisasi dini membayangi tanah air. Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) masih minim.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat tren pertumbuhan industri manufaktur Indonesia di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Pada semester I-2024, industri manufaktur hanya tumbuh 4,04%, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,08%.
Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode I mencapai 5,03%. Adapun pada periode II, angkanya turun menjadi 3,4% akibat pandemi Covid-19.
Direktur Program Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan, pandemi menyebabkan pertumbuhan manufaktur pada periode II kepemimpinan Jokowi hanya sebesar 2,81%, sedangkan pada masa sebelumnya mencapai 4,19%.
Di sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini diprediksi hanya mampu berada di level 5%, di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 20 tahun terakhir menunjukkan tren penurunan. Padahal, visi Indonesia Emas 2045 memiliki target pertumbuhan ekonomi selama 2025 hingga 2045 harus mencapai nilai 6%.
"Sektor industri harus menjadi sektor yang mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya, belum lama ini.
Selain itu, kinerja ekspor bernilai tambah harus lebih ditingkatkan, sebab basis ekspor barang bertumpu pada produk-produk industri pengolahan.
Untuk mencapai peningkatan pertumbuhan industri yang impresif, dia bilang, perlu didukung dengan ekosistem industri yang kondusif, mulai dari penyediaan pasokan bahan baku, energi, tenaga kerja terampil, infrastuktur hingga insentif fiskal maupun nonfiskal.
Lampu kuning industri manufaktur
Sementara itu, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB juga masih kecil atau hanya 18,52% pada semester I-2024. Rata-rata kontribusi industri manufaktur terhadap PDB pada periode I dan II kepemimpinan Jokowi adalah 20,39% dan 19,06%.
Terkini, Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia terjun lebih dalam ke level 48,9 pada Agustus 2024. Di bulan sebelumnya berada di level 49,3.
Berdasarkan laporan terbaru S&P Global, indeks ini menunjukkan penurunan tajam pada kondisi pengoperasian selama tiga tahun. Produksi manufaktur dan permintaan baru pada Agustus 2024 mengalami penurunan paling tajam sejak Agustus 2021.
Eisha mengatakan transformasi ekonomi menghadapi sederet tantangan. Yakni, daya saing produk industri pengolahan untuk produk-produk medium high-tech dan produktivitas industri pengolahan masih rendah.
Selain itu, untuk mendukung transformasi ke industri 4.0 dan digitalisasi, dibutuhkan tenaga kerja terampil (skilled labor) dan modal besar. Lalu, jumlah, kapasitas, dan produktivitas sumber daya manusia (SDM) perlu ditingkatkan untuk percepatan transformasi ke arah industri bernilai tambah dan berteknologi tinggi; hilirisasi komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) perlu dioptimalkan dengan menggunakan inovasi dan teknologi agar dapat meningkatkan nilai tambah dan mendorong integrasi rantai pasok domestik.
Juga, terdapat tantangan pembangunan dan operasionalisasi Kawasan Industri akibat ketersediaan infrastruktur luar dan dalam kawasan, yakni konektivitas, jaringan listrik dan gas, serta pasokan air baku, ketidakpastian pasokan bahan baku, perubahan perencanaan kementerian dan lembaga termasuk tata ruang dan perizinan, serta kemampuan pengelola kawasan yang perlu ditingkatkan untuk menarik investasi kunci atau anchor tenant; serta penggunaan komponen dan produk industri pengolahan dalam negeri yang perlu dioptimalkan.
Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menilai, kondisi di atas adalah wujud kinerja industri dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Banyak aspek yang menjadi penyebabnya, seperti menurunnya pesanan produk dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Pasalnya, perusahaan akan memproduksi produk sesuai dengan permintaan pasar. Melemahnya konsumsi menyebabkan penyerapan tenaga kerja menjadi tidak optimal.
Permintaan yang terus menurun ini terjadi di tengah kenaikan biaya input alias biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Untuk menjaga margin, perusahaan kemudian memangkas tenaga kerja sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Hal ini akan semakin menekan kelas menengah,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (3/9).
“Ini menjadi lampu kuning bagi manufaktur kita,” imbuhnya.
Ia menyampaikan, pemerintah perlu membenahi kebijakan yang tidak memberatkan pelaku industri. Misalnya saja beleid pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan.
Menurutnya, kontribusi sektor makanan dan minuman ini besar terhadap industri manufaktur dan menyerap banyak tenaga kerja.
"Jangan sampai kebijakan pemerintah seperti cukai berpemanis ini akan memperberat industri dalam negeri. Apalagi, industri tekstil sudah kalah saing akibat kebijakan yang keliru, untuk itu tidak boleh industri lain turut kena getahnya," tuturnya.
Diketahui, mulai tahun ini pemerintah mulai melaksanakan kebijakan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan yang dinilai akan efektif dalam menurunkan konsumsi masyarakat terhadap gula, serta menekan biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebih. Penerapan kebijakan ini sebelumnya mengalami penundaan dikarenakan pertimbangan banyak faktor seperti pemulihan ekonomi nasional, kondisi kesehatan masyarakat, dan situasi ekonomi global.
Secara mikro, kata Eliza, cukai minuman berpemanis ini dapat mengurangi risiko penyakit diabetes dan kelebihan berat badan pada konsumen. Namun, ketimbang mengutip cukai, menurutnya, bisa mengoptimalkan hal-hal preventif agar masyarakat waspada dengan tingkat konsumsi gula. Dengan demikian, publik akan mengonsumsi makanan dan minuman yang lebih sehat dan produsen bakal mereformulasi produknya.
“Terlebih lagi pemerintah akan tetap menaikkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11% jadi 12%. Ini akan semakin membebani konsumsi masyarakat yang saat ini menunjukkan pelemahan,” lanjutnya.
Selain itu, kata Eliza, gempuran produk impor pun berbahaya bagi industri dalam negeri karena kalah saing. Kerap kali pemerintah menerapkan kebijakan lebih ketat untuk produk dalam negeri dibandingkan produk impor yang hanya dicek sampelnya saja.
“Pemerintah mesti hati-hati dengan kebijakan agar tidak kontraproduktif dengan cita-cita mulia revitalisasi industri,” kata Eliza.