Wakil Menteri Keuangan RI Suahasil Nazara menampik pernyataan peneliti senior Didik J Rachbini yang menyebut pemerintah melakukan maksimalisasi anggaran (budget maximizer) dalam situasi pandemi Covid-19. Menurutnya, pemerintah justru saat itu mengupayakan penanganan krisis kesehatan yang mendesak diatasi.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu mengatakan pemerintah memiliki karakter dasar maksimalisasi anggaran APBN sehingga menyebabkan pembengkakan utang negara di masa pandemi Covid-19 lalu.
Didik menyebut politisi baik itu pemerintah dari daerah hingga pusat secara teoritis memiliki karakter dasar memaksimalkan anggaran atau budget maximizer yang hanya bisa dikontrol oleh check and balances demokrasi. Dan saat ini 80 persen kursi di Parlemen dikuasai pendukung pemerintah, sehingga check and balances itu tidak ada.
Maksmalisasi anggaran Ini dilakukan agar politisi bisa dipilih kembali oleh rakyat dan berupaya memiliki banyak program. Berbeda dengan pengusaha yang ia katakan memiliki karakter dasar minimizing budget.
“Kalau pengusaha itu minimizing budget yang dikontrol oleh market mechanism supaya ada profit dan perusahaannya berjalan,” jelas Didik dalam acara Advancing Debt and Economic Justice Through G20 Dialogue, Kamis (14/7).
Ia melihat keputusan pengambilan utang pada tahun 2020 yang dilakukan pemerintah saat pandemi telah menambah defisit negara yang sangat besar hingga dua bahkan tiga kali lipat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ini termasuk perilaku dasar maksimalisasi anggaran.
“Yang terjadi sangat besar dan efisiensi tidak diutamakan hingga meninggalkan utang sangat besar. Hal ini perlu dikritisi karena semua lapisan pemerintah melakukan maksimalisasi anggaran yang sangat kuat. Dalam krisis Covid-19, banyak pejabat dan departemen pemerintahan melakukan kegiatan sangat banyak dan pergi ke sana sini,” ujar Didik.
Suahasil mengatakan pemerintah tidak pernah bertujuan melakukan budget maximizer
Dia menerangkan bahwa sejak awal pandemi Covid-19, dirinya sudah melihat beberapa gerakan di dunia yang membicarakan isu utang global yang muncul sejak 2016 dan upaya berbagai negara dalam menangani utang global yang terus membesar usai terjadinya kebijakan suku bunga rendah atau easy money policy pascakrisis finansial yang meledak di tahun 2008-2009. Kala itu, krisis global terjadi di seluruh dunia yang dilanjutkan terjadinya likuiditas.
"Ini mendorong banyak sekali negara-negara berkembang apalagi di Afrika yang melakukan peminjaman," tutur Suahasil dalam acara Advancing Debt and Economic Justice Through G20 Dialogue, Kamis (14/7).
Serupa namun berbeda, yang terjadi saat pandemi Covid-19 merupakan krisis kesehatan ketika obatnya belum ditemukan namun baru vaksin, tetapi vaksin belum juga tersedia. Sehingga pemerintah lebih fokus mengutamakan kesehatan masyarakat daripada ekonomi.
"Jadi bagaimana melindungi nyawa manusia, melindungi kesehatan manusia, maka jawaban saat itu adalah kegiatan ekonomi, aktivitas sosial, aktivitas interaksi antarmasyarakat, antarindividu dihentikan sementara," ujarnya.
Dampak berhentinya aktivitas ekonomi masyarakat pada awal Maret 2020 melalui munculnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berimbas pada munculnya permasalahan ekonomi, seperti tingkat konsumsi, investasi, ekspor, dan impor seluruhnya mengalami penurunan. Suahasil menjelaskan, pemerintah perlu mengalokasikan pengeluaran pemerintah (government expenditure) menjadi faktor kestabilan ekonomi (countercyclical factor).
"Makanya walaupun pemerintah mengalami penurunan pendapatan negara karena kegiatan ekonomi turun, namun belanja negara tak boleh turun karena harus melindungi masyarakat," tambahnya.
Pemerintah sudah seharusnya tetap menjalankan aktivitas ekonominya, aktivitas pelayanan publik, dan harus meningkatkan kapasitas kesehatan. Hal ini terealisasi melalui peningkatan kinerja rumah sakit, puskesmas disiagakan, dan penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang saat itu harganya masih terbilang mahal.
Menurut Suahasil, yang terjadi di 2020 adalah pendapatan negara yang berasal dari kegiatan ekonomi masyarakat turun drastis, sementara belanja harus meningkat.
"Kita tidak memiliki tujuan budget maximizer. Pemerintah memiliki tujuan melindungi segenap bangsa dan negara dari ancaman apa pun yang ada di luar dan menjalankan pelayanan publik," kata Suahasil.
Adanya pandemi Covid-19 telah membuat Indonesia alami defisit hingga 6,1 persen. Padahal menurutnya, Indonesia biasa disiplin dengan defisit dan selalu berusaha defisit di bawah 3 persen.
"Ini adalah respons negara dengan cara dan tata kelola yang baik untuk Indonesia, dan dengan dukungan politik yaitu dalam bentuk Perpu 1 tahun 2020 serta persetujuan dari parlemen," tandasnya.