Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Lima ribu perajin tempe dan tahu menghentikan sementara kegiatan produksi mereka pada 1 sampai 3 Januari 2022 lalu. Aksi perajin yang tergabung dalam Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta itu dilakukan menyusul harga kedelai terus mengalami kenaikan.
Aksi protes pun berlanjut hingga Senin (21/2). Tidak hanya oleh Puskopti DKI Jakarta, namun juga meluas hingga para pengrajin dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Rencananya, mogok produksi bakal dilakukan hingga Rabu (23/2) nanti.
Nyatanya, para produsen tempe dan tahu, khususnya di Jakarta, telah menghentikan produksinya sejak Jumat (18/2) kemarin.
"Karena proses dari kedelai sampai jadi tempe itu butuh waktu tiga hari. Jadi, untuk produksi kita sudah berhenti sejak tiga hari sebelumnya dan sekarang adalah waktu berhenti jualan," kata Ketua Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, saat dihubungi Alinea.id, Senin (21/2).
Tak heran jika sentra produksi tempe di Perum Kopti, Kelurahan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat yang biasanya ramai, mendadak sepi sejak beberapa hari terakhir. Para pengrajin tempe dan tahu yang biasa berjajar untuk menjajakan dagangan merekan pun tak terlihat.
"Kami sudah sepakat untuk mogok bersama. Jadi memang benar-benar tidak ada yang jualan," jelas salah satu pengrajin tempe di Kopti Samanan Handoko Mulyo, saat dikonfirmasi Alinea.id, Minggu (20/1).
Dengan aksi mogok produksi ini, Handoko berharap pemerintah dapat mendengar suara para produsen tahu dan tempe yang kini kian terhimpit harga kedelai yang terus naik. Di saat yang sama, para produsen juga meminta agar pemerintah dapat segera memperbaiki tata niaga kedelai yang sampai saat ini masih amburadul. Sehingga, harga kedelai dapat terjaga stabil dan tidak lagi mengalami perubahan yang fluktuatif.
"Kita enggak menuntut harga kedelai murah, tapi butuh kepastian dan stabilitas harga supaya perajin dapat untung dengan layak, dan konsumsi tahu tempe terjangkau harganya," tegas Ketua Pengawas Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) DKI Jakarta itu.
Menurut data Kopti, harga kedelai impor di awal 2020 hanya sekitar Rp7.000 per kilogram saja. Setahun berselang, kedelai impor dijual dengan harga Rp9.000 per kilogram dan kembali melonjak hingga Rp10.000 pada rentang Juni hingga Agustus 2021. Menjelang tutup tahun, harga komoditas ini kembali mengalami kenaikan dan dijual di kisaran Rp10.200-10.600.
Saat aksi mogok dilakukan, harga kedelai sudah berada di level Rp11.300 per kilogram dan menjadi sekitar Rp14.000 per kilogram pada Senin (21/2). Alih-alih terus merugi, Sutaryo dan kawan-kawannya pun lebih memilih untuk berhenti produksi. Katanya, tidak berpenghasilan selama beberapa hari menjadi pilihan yang masih lebih baik daripada kelimpungan untuk menentukan harga jual tahu dan tempe mereka.
"Jadi fluktuasinya itu memang cepat sekali. Kita pulang dagang sore, paginya harga (kedelai-red) sudah naik. Kalau kita naikkan harganya, besok konsumen pada protes," keluh Sutaryo.
Dengan aksi mogok produksi ini, dia berharap agar konsumen dapat mengerti apa yang dialami oleh para perajin tempe dan tahu saat ini. Ketua Puskopti DKI Jakarta ini juga berharap agar pemerintah dapat melakukan intervensi terhadap harga kedelai impor.
Sebab, saat ini impor kedelai sepenuhnya dikendalikan oleh para importir saja. Sedang pemerintah, paling banter hanya melakukan operasi pasar (OP) dengan meminta para importir untuk mengeluarkan sejumlah kedelai dengan harga yang lebih murah.
"Pada kenyataannya importir enggak mau melepas. Jadi meskipun pemerintah sudah bilang akan ada OP dengan harga lebih murah, kalau importir enggak keluarkan barangnya, ya percuma," ujar Sutaryo.
Tak hanya kedelai
Kedelai bukan satu-satunya komoditas yang mengalami lonjakan harga selama ini. Masyarakat terpaksa menelan pil pahit kenaikan harga-harga. Di tengah kisruh harga dan kelangkaan minyak goreng, kini menyusul pula kenaikan harga cabai merah keriting, cabai merah besar dan juga bawang merah.
Berdasarkan laporan perkembangan harga nasional dan pasokan/stok indikatif barang kebutuhan pokok per Jumat (18/2) lalu, harga cabai merah keriting naik 7,45% menjadi Rp40.400 per kilogram, cabai merah besar naik 5,95% menjadi Rp39.200 per kilogram dan bawang merah naik 16,89% menjadi Rp35.300/kg.
Sementara berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, Senin (21/2), khususnya di wilayah Jakarta, harga cabai merah keriting mencapai Rp41.500, cabai merah besar menjadi Rp40.000 dan bawang merah Rp45.000 untuk setiap kilogram.
"Tapi secara umum, harga barang kebutuhan pokok relatif stabil," kata Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting) Kementerian Perdagangan Isy Karim, kepada Alinea.id, Sabtu (19/2).
Menurutnya, naiknya harga cabai disebabkan oleh hujan yang terus turun di sentra-sentra produksi yang menyebabkan tertundanya masa pemetikan oleh petani. Sedangkan kenaikan harga bawang merah sebenarnya merupakan penyesuaian menuju harga normal setelah sebelumnya sempat jatuh karena masa panen raya.
Selain itu menurut informasi dari Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI), kenaikan juga disebabkan karena faktor cuaca yang mengakibatkan sebagian hasil panen busuk.
Adapun untuk kedelai, kenaikannya disebabkan oleh tingginya inflasi di negara produsen yang kemudian mempengaruhi pula biaya produksi, sewa lahan, hingga ongkos tenaga kerja. Di saat yang sama, cuaca buruk juga turut andil dalam ketersediaan pasokan kedelai di negara produsen.
Berdasarkan catatan Kemendag, sekitar 80% kebutuhan kedelai Indonesia dipenuhi dari importasi. Sehingga tak heran, jika harga kedelai dalam negeri sangat dipengaruhi oleh harga kedelai dunia.
"Ini diperkirakan akan terus mengalami kenaikan hingga pertengahan 2022," imbuh Isy.
Sementara itu, harga komoditas lain yang juga merangkak naik adalah gula pasir. Komoditas dari tebu ini mulai terlihat mengalami kenaikan sejak Kamis (17/2) lalu, yang dibanderol dengan harga Rp15.400 per kilogram. Kemudian, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional Senin (21/2), harga gula pasir sudah berada di posisi Rp15.500 per kilogram.
Isy bilang, kenaikan harga gula terjadi karena musim giling di pabrik gula baru akan dimulai pada bulan Mei. "Harga beli yang tinggi (Rp 12.300/kg) juga menyebabkan kekosongan stok di retail-retail modern," kata dia.
Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah sedang mengevaluasi harga acuan gula. Terlepas dari itu, Isy menilai, stok gula secara nasional cukup yaitu sekitar 680.000 ton yang artinya cukup untuk 2,6 bulan sampai dengan puasa dan Lebaran. Apalagi, saat ini juga sudah masuk impor gula untuk mengisi pasokan sebelum masa giling.
Kenaikan harga berbagai komoditas pangan ini jelas membuat hampir seluruh lapisan masyarakat resah. Tidak hanya emak-emak dan pemilik warung makan saja, namun juga konsumen warteg (Warung Tegal) atau warung-warung makan lainnya.
Bagaimana tidak, pemilik warung, jika bukan menaikkan harga dagangannya, akan mengakali kenaikan harga dengan mengurangi porsi makanan atau bahan dasar makanan. Warung Bu Slamet yang terletak di Jatipadang, Pasar Minggu misalnya, mengurangi konsumsi cabai mereka.
"Ya banyak yang protes, kok enggak pedes sambelnya. Tapi gimana lagi? Wong harga cabai naik, tempe naik, gula naik, minyak langka. Kalau enggak gitu yo enggak dapet untung," kata Bu Slamet, si empunya warung, kepada Alinea.id, Sabtu (19/2).
Seperti yang telah diketahui, kenaikan harga komoditas pangan telah terjadi sejak 2020, saat pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia. Fenomena ini lantas berlanjut di tahun 2021.
Berdasarkan riset Alinea Insight yang dirangkum dari berbagai pemberitaan media masa dan perbincangan warganet di media sosial, kenaikan harga pangan pokok terus terjadi bergantian. Alasan yang acap kali digunakan pemerintah atau pengusaha ketika terjadi kenaikan harga adalah tingginya permintaan masyarakat, terutama menjelang hari perayaan hari besar, seperti Lebaran Idul Fitri, Hari Raya Natal dan Tahun Baru.
Namun demikian, pada bulan-bulan biasa kenaikan harga pangan pun tetap terjadi. Meskipun komoditas yang mengalami kenaikan tidak sebanyak saat mendekati hari-hari besar.
Berdasarkan catatan Alinea Insight, sedikitnya ada 6-8 jenis komoditas pangan yang melonjak pada periode biasa. Dengan pemberitaan ada di kisaran 3.000 hingga 4.000 berita terkait topik ini.
Jika dirinci, Alinea Insight mencatat komoditas pangan yang terus mengalami kenaikan di sepanjang tahun lalu antara lain, cabai, daging ayam dan ikan segar. Sedangkan untuk komoditas kedelai tidak mengalami kenaikan hanya pada periode Juli, Oktober dan Desember saja.
Untuk komoditas bawang merah, kenaikan tidak terjadi pada November 2021. Sedangkan untuk komoditas beras dan tepung terigu hanya mengalami kenaikan masing-masing pada Februari, Agustus, November, dan Desember; dan pada Februari-Juni dan Oktober-Desember.
Sementara minyak goreng yang menjadi momok di akhir tahun lalu, hanya tidak mengalami kenikan pada Februari saja. Untuk harga gula, tercatat naik pada Januari, Juli, serta Oktober hingga akhir tahun lalu.
Sedangkan harga daging sapi, tercatat naik pada bulan Januari-Mei, Juli, Agustus, November, dan Desember. Selanjutnya, untuk komoditas telur ayam terpantau tidak mengalami kenaikan hanya pada periode September saja.
Adapun untuk alasannya, kenaikan harga daging ayam antara lain disebabkan kebijakan cutting Hatching Egg (HE) alias afkir telur sebesar 10-20% dan kenaikan harga pakan. Adapun, kenaikan ikan segar antara lain disebabkan kelangkaan BBM solar dan jalur distribusi terhambat akibat banjir.
Untuk cabai, fluktuasi harga komoditas tersebut diperkirakan berkaitan erat dengan kaitannya dengan cuaca buruk yang memicu cabai busuk dan menghambat distribusi lintas daerah atau lintas pulau. Selain juga pasokan petani yang berkurang, lantaran hasil panen kurang maksimal.
Sementara kenaikan harga kedelai didominasi masalah kenaikan harga kedelai impor. Selain itu, kenaikan harga kedelai juga dikarenakan minimnya minat petani menanam kedelai dan menyusutnya lahan kedelai, hingga adanya dugaan kartel impor kedelai.
Selain kedelai, salah satu komoditas yang cukup sering mendominasi isu kenaikan harga bahan pokok adalah cabai. Fluktuasi harga cabai cukup sering terjadi kaitannya dengan cuaca buruk yang memicu cabai busuk dan menghambat distribusi lintas daerah atau lintas pulau.
Ancaman masih berlanjut
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Lebaran tahun ini juga diperkirakan kian semarak oleh kenaikan harga berbagai komoditas pangan. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid memperkirakan, beras, minyak goreng dan daging ayam adalah beberapa komoditas yang diperkirakan akan mengalami lonjakan harga pada beberapa bulan mendatang.
"Beras adalah salah satu komoditas yang cukup sensitif pergerakan harganya," jelas dia, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (19/2).
Berdasarkan data Kemendag, harga rata-rata beras medium pada Jumat (18/2) adalah sebesar Rp10.400 per kilogram. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga November lalu, saat menjelang Natal dan Tahun Baru yang hanya Rp10.300 per kilogram.
Khusus untuk minyak goreng, meskipun pemerintah telah melakukan intervensi dengan memberlakukan kebijakan satu harga, yakni Rp14.000, harga komoditas utama ini diperkirakan masih bisa mengalami kenaikan. Apalagi pemerintah hanya memberlakukan kebijakan satu harga ini selama enam bulan.
"Padahal harga minyak sawit mentah masih akan tinggi. Kira-kira di 4.800 ringgit Malaysia. Ini bisa saja tetap, tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah apakah dana untuk suntikan minyak goreng ini siap?" imbuh Tauhid.
Adapun untuk daging ayam ras, kenaikannya akan lebih dipengaruhi oleh biaya produksi, ketimbang peningkatan konsumsi. Harga pakan ayam yang terus mengalami kenaikan pelan-pelan adalah biang keladi tingginya harga ayam ras seminggu terakhir.
Padahal, kontribusi harga pakan ayam terhadap biaya produksi dapat mencapai 60%-65% untuk ayam broiler dan 70% untuk ayam petelur.
"Ini juga kena imbas dari naiknya beberapa komponen impor," kata dia.
Menurutnya, cara paling efektif untuk meredam kenaikan harga pangan yang masih bisa berlangsung hingga Ramadan dan Lebaran nanti adalah dengan menaikkan produksi komoditas pangan dalam negeri. Namun, untuk melakukan hal ini diakuinya butuh waktu tidak sebentar. Seperti untuk memproduksi kedelai lokal, petani setidaknya membutuhkan waktu 4-5 bulan lamanya.
Sembari menunggu Indonesia dapat memproduksi kedelai sendiri, pemerintah dapat melakukan intervensi dengan menyediakan kedelai impor dengan harga murah. Meski begitu, sebelumnya harus ada harus ada kompromi atau kesepakatan terlebih dulu dengan swasta. Sehingga, tidak ada pihak yang dirugikan dalam penyediaan bahan baku tempe dan tahu murah ini.
Langkah ini pun dapat dilakukan pula untuk menstabilkan harga minyak sawit mentah. “Memang harus pemerintah menekan harga komoditas, utamanya yang dari pemenuhan impor. Tapi jangan terlalu rendah, yang penting masih tetap bisa dijangkau konsumen,” katanya.
Di saat yang sama, untuk menstabilkan harga komoditas pangan lokal, salah satu langkah efektif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan operasi pasar. Selain juga, harus dibenahi pula tata kelola komoditas pangan dalam negeri ini.
Tauhid menilai, sebenarnya banyak komoditas pangan yang memiliki stok berlimpah, seperti salah satunya beras, ikan, daging ayam, hingga telur ayam.
“Khusus untuk beras, ini sistem distribusinya harus diperbaiki. Selama ini masih belum tertata,” imbuh dia.
Dus, pemerintah tidak perlu menekan impor untuk menstabilkan harga pangan. Sebab, selain sulit untuk dilakukan, ada beberapa komoditas yang memang tidak bisa diproduksi sendiri oleh Indonesia, gandum misalnya.
“Kita carinya bukan solusi jangka pendek, tapi jangka menengah, panjang,” tukasnya.
Terpisah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, kenaikan harga komoditas sering kali justru terjadi pada jenis-jenis pangan yang kebutuhannya dipenuhi melalui importasi, seperti kedelai dan gula atau berelasi langsung dengan pasar global, seperti minyak goreng.
Padahal, sepanjang 2020 rantai pasok dunia terhambat karena banyak negara memberlakukan karantina wilayah atau lockdown untuk mengurangi penyebaran virus. Dengan kondisi tersebut, stok barang yang seharusnya diimpor ke seluruh negara menjadi tidak merata.
"Karena itu lah harga barang-barang pangan impor ini jadi mahal," jelas Said, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (20/1).
Namun demikian, ada pula komoditas yang bisa diatur sendiri oleh Indonesia, seperti komoditas pangan dari hasil pertanian dan juga minyak goreng. Meskipun harga CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit mentah sangat dipengaruhi oleh harga global, namun pemerintah bisa mengatur produksi dan distribusi sendiri.
Oleh karena itu, untuk menstabilkan kembali harga pangan nasional, pengamat pangan ini meminta agar pemerintah terlebih dulu melihat dari sisi mana sebenarnya masalah ini berasal. Apakah memang karena stok pangan dunia yang berkurang, sehingga berdampak pada importasi bahan pangan atau karena ulah tangan-tangan nakal.
"Bisa saja, impornya atau produksi dan pengemasannya lancar, tapi ternyata tersendatnya malah di distribusi. Seperti yang terjadi pada minyak goreng kemarin ada yang nimbun," imbuhnya.
Jika demikian, pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Pangan atau Kemendag harus lebih ketat lagi dalam melakukan pengawasan. Apalagi, mayoritas komoditas pangan saat ini mayoritas dikuasi oleh pasar, atau dalam hal ini swasta.
"Kalau memang masalahnya adalah di distrubusi kan ngga ada pembenaran bagi kelompok ini untuk mempermainkan kita, tho? Di sini lah pemerintah harus bisa tindak tegas," kata Said.