Derita peternak ayam mandiri: Merugi ‘digilas’ peternak besar
Nasib pilu tengah dirasakan peternak ayam mandiri di banyak tempat lantaran terus mengalami kerugian. Bahkan nyaris bangkrut. Akar masalahnya, harga pasaran ayam hidup yang jauh di bawah harga pokok produksi. Imbasnya, harga ayam di kalangan konsumen tetap stabil di atas Rp35.000 per kilogram, tetapi harga di tingkat peternak bisa turun mencapai Rp15.000 per kilogram. Peternak mandiri masih harus menjual ayam dengan harga sekitar Rp21.500 per kilogram.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah, Pardjuni mengatakan, lima tahun terakhir peternakan ayam mandiri yang dijalani peternak kecil terus mengalami kerugian. Sebab, pasar tradisional yang menjadi tempat serapan ayam peternak rakyat, justru dibanjiri ayam dari peternakan berskala besar alias integrator.
“Jelas harga kami tidak bisa bersaing, akhirnya harga jatuh di peternak rakyat,” ucap Pardjuni kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Pardjuni menuturkan, sejak 2018 keuangan peternak rakyat berangsur-angsur morat-marit karena harga ayam yang mereka jual selalu di bawah harga pokok produksi. Bahkan, tidak sedikit yang frustasi, sehingga memberikan cuma-cuma ayam yang sudah susah payah dibesarkan.
Teranyar, puluhan anggota Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) menggelar aksi bagi-bagi ayam hidup di kawasan Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (15/8). Aksi ini merupakan bentuk protes atas kerugian yang terus ditelan para peternak.
Tersingkir peternak besar
Menurut Pardjuni, peternak mandiri sedang menghadapi penguasaan usaha unggas dari para integrator. Dia menyebut, semua bermula dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Pada praktiknya, aturan ini tidak efektf dalam mencegah penguasaan usaha unggas oleh para integrator.
Dalam Pasal 19 ayat (1) Permentan 32/2017 disebutkan, peredaran day old chicken (DOC) atau ayam umur sehari dengan klasifikasi final stock (FS) pedaging dari pelaku usaha integrasi dan pembibitan parent stock (PS) atau induk ayam yang melakukan budi daya kepada pelaku usaha mandiri, koperasi, dan peternak wajib memenuhi ketentuan paling rendah 50% produksi DOC FS dari pelaku usaha integrasi dan/atau pembibit PS dialokasikan untuk pelaku usaha mandiri, koperasi, dan/atau peternak, serta paling tinggi 50% produksi DOS FS dari pelaku usaha integrasi dan/atau pembibit PS dialokasikan untuk kepentingan sendiri dan peternak mitra.
“Praktiknya sampai dengan hari ini, itu tidak pernah terwujud 50% diberikan kepada peternak rakyat,” ucap Pardjuni.
Permentan 32/2017 tidak pernah ditegakkan sejak 2019. Padahal, saat itu persaingan usaha yang mulai terlihat tidak seimbang, mencekik peternak mandiri.
“Pemerintah tidak serius menyelesaikan masalah ini. Jadi, membiarkan juga peternak mandiri untuk ‘habis’,” ujar Pardjuni.
Pardjuni memandang, jika ingin berbisnis peternakan integrator, semestinya menyasar pasar ekspor, bukan pasar tradisional. Pemerintah pun tidak tegas menindak.
“Padahal, semestinya diberi sanksi. Semisal ditegur sekali-dua kali enggak ada perubahan, langsung izin cabut,” tutur Pardjuni.
“Kalau masih melakukan pelanggaran, berarti sudah pelanggaran yang sifatnya pidana. Masukan (kasusnya) ke dalam Satgas Pangan atau Direktorat Kriminal Khusus Polri. Begitu supaya mereka jera.”
Menurut Pardjuni, semua asosiasi peternak ayam konsumsi sudah berkali-kali mondar-mandir ke segala instansi terkait, bahkan sudah menghadap Presiden Joko Widodo, untuk menyampaikan aspirasi. Namun, hingga sekarang tak ada hasilnya.
“Bagi saya, pemerintah hanya memberikan harapan palsu saja,” kata Pardjuni.
Pardjuni menyebut, peternak ayam banyak yang sudah gulung tikar. Dia juga mengaku, dirinya sudah menelan kerugian sebesar Rp6 miliar selama lima tahun.
“Saya sampai sudah menjual aset, rumah, mobil, dan tanah untuk menutup kerugian. Semua aset saya jual, biar usaha saya bertahan,” tutur dia.
Keluh kesah Pardjuni diamini Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi. Dia menilai, harga ayam di peternak mandiri yang terus anjlok dari Rp16.000 atau Rp18.000 harga kandang. Padahal, modal per kilogram ayam dikalkulasi seharga Rp21.000. Artinya, peternak merugi kisaran Rp3.000 hingga Rp5.000 per kilogram.
“Kondisi ini menyebabkan peternak merugi dan bagi-bagi ayam tempo hari,” kata Sugeng, Selasa (20/8).
“Stok ayam banyak. Harga input (ayam umur sehari dan pakan) sebagai sarana produksi utama beternak saat itu tinggi, sehingga biaya pokok produksi juga tinggi. Jumlah ayam yang beredar juga tinggi, supplay dan demand tidak berimbang.”
Sugeng menilai, ayam banyak dikuasai pelaku-pelaku besar. Padahal, semestinya peternak skala besar tidak memasarkan ke pasar-pasar tradisional, seperti peternak rakyat.
“Harga acuan dari peraturan yang sudah diperbarui, sebelumnya Rp21.000 batas bawah dan Rp23.000 batas atas, tetapi itu tidak jalan,” ucap Sugeng.
“Potensi tidak jalan ini besar, seperti sekarang karena tidak ada kesesuaian antara supplay dan demand yang menjadi kewenangan dari Kementan (Kementeran Pertanian).”
Sugeng memandang, tren persaingan usaha yang tidak adil telah membuat jumlah peternak ayam terus berkurang. Indikasinya, setiap ada koordinasi dengan para peternak jumlahnya yang hadir dari semula ratusan, seperti di Bogor.
“Saat ini tinggal puluhan, dengan menyisakan problem masing-masing peternak,” ucap dia.
Celakanya, di tengah berkurangnya peternak ayam mandiri, malah mereka menjadi mitra pelaku peternakan besar yang mampu menyediakan sarana produksi, seperti pakan dan vaksin untuk beternak.
“Dengan syarat dan ketentuan yang mereka (peternak besar) berlakukan. Suatu pilihan yang tidak enak,” ujar Sugeng.
Sugeng merasa, pemerintahan terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang bakal mewujudkan program makan bergizi gratis perlu memahami situasi ayng dialami peternak ayam mandiri. Dia berharap, para peternak mandiri dilibatkan dalam memasok bahan makanan program tersebut, sehingga ada peningkatan permintaan.
“Sehingga ada keseimbangan supplay dan demand sekaligus keterlibatan pelaku (peternak) yang kecil. Kebijakan bisa berdampak pada pelaku peternak kecil, sehingga ada keberlanutan berusaha beternak ayam,” tutur Sugeng.