close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi industri pertambangan. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi industri pertambangan. Foto Pixabay.
Bisnis
Senin, 14 April 2025 14:03

Di balik dominasi alat berat asal Tiongkok di pasar RI

Alat-alat berat yang diimpor dari Tiongkok diminati pengusaha pertambangan di Indonesia.
swipe

Di tengah lesunya bisnis alat berat domestik, produk-produk alat berat asal Tiongkok membanjiri pasar RI. Merek-merek alat berat yang beredar dan diminati pengusaha lokal, semisal Sany, XCMG, LiuGong, Sinotruk, SDLG, Weichai, Sunward, Yuchai, Lonking, Shantui dan Zoomlion. 

Zoomlion Indonesia Heavy Industry, misalnya. Tahun lalu, Zoomlion membukukan pesanan dengan nilai lebih dari RMB 400 juta atau setara Rp800 miliar. Dan, itu hanya di ajang Mining Indonesia 2024 yang digelar di JI Expo Kemayoran, Jakarta. 

Di Sulawesi Selatan, TRK Holding menjalin kerja sama dengan Sunward Group untuk pengadaan alat berat senilai sekitar Rp1 triliun. Produk-produk alat berat Sunward dikenal lazim digunakan di industri pertambangan. 

Ketua Umum Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) Giri Kus Anggoro membenarkan Indonesia kebanjiran produk-produk alat berat asal Tiongkok sejak beberapa tahun lalu. Kehadiran produk-produk Tiongkok itu, kata Giri, membuat persaingan di pasar alat berat di Indonesia semakin ketat. 

"Dengan adanya FTA (free trade agreement) ASEAN-China, maka 'unit jadi' alat berat kini bebas bea masuk. Ini yang membuat produk alat berat China semakin deras masuk ke pasar dalam negeri," kata Giri kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

ASEAN-China Free Trade Area atau ACFTA ditandatangani pada November 2002. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh para pemimpin Tiongkok dan ASEAN dalam KTT Tiongkok-ASEAN keenam. Salah satu manfaat ACFTA ialah penghapusan tarif untuk sebagian besar ekspor Indonesia ke China. Begitu pula sebaliknya. 

Giri mengatakan harga yang kompetitif juga menjadi salah satu faktor yang membuat alat berat pabrikan China mendominasi pasar. Selain tak dibebani bea masuk, bahan baku produksi alat berat di Tiongkok juga tergolong mudah didapat dan tak terlampau mahal. 

"Hal ini pula yang menjadikan persaingan alat berat di Indonesia semakin ketat. Persaingan tersebut menjadi hal yang wajar apabila perlakuan bebas bea masuk bukan hanya pada unit jadi saja, tetapi juga untuk material dan komponen impor," kata Giri.

Supaya bisa bersaing dengan produk China, menurut Giri, perusahaan asal Indonesia harus banyak melakukan efisiensi. "Salah satunya dengan mencari alternatif material dan komponen agar produknya lebih kompetitif serta melakukan inovasi-inovasi yang lebih cepat dan efektif," kata Giri.

Pemerintah, kata Giri, sebenarnya sudah berusaha memberi peluang bagi perusahaan alat berat nasional untuk mampu bersaing di pasar domestik. Salah satunya dengan pemberlakuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan standar nasional Indonesia (SNI) untuk produk-produk alat berat. 

Namun, penerapan TKDN ini sementara baru berlaku pada proyek-proyek pemerintah. "Kalau ditegakkan dengan benar dan tegas, harusnya lumayan berdampak pada industri alat berat dalam negeri," imbuh Giri.

Banjir produk-produk impor membuat produksi alat berat Indonesia terpuruk. Pada 2024, Hinabi mencatat produksi alat berat asal Indonesia hanya mencapai  7.022 unit. Angka itu turun sekitar 12,9% jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 8.066 unit.

Namun demikian, Giri optimistis produksi alat berat bakal naik tahun ini seiring tumbuhnya kebutuhan alat berat di sektor konstruksi, pertambangan, agro dan kehutanan. "Harapannya, produksi alat berat dalam negeri pada tahun 2025 dapat mencapai 8.500," kata Giri. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan