Setidaknya ada 10 perusahaan keluarga di Indonesia yang menguasai hampir semua sektor ekonomi, di antaranya adalah Djarum Group milik R. Budi dan Michael Hartono, Sinar Mas Group punya Eka Tjipta Widjaja, Salim Group perusahaan induk Indofood Sukses Makmur dan Bogasari Flour Mills yang dikelola Anthoni Salim.
Kemudian Gudang Garam perusahaan rokok terbesar milik Susilo Wonowidjojo, CT Corp perusahaan media yang dimiliki Chairul Tanjung, Indorama milik Sri Prakash Lohia, Kalbe Farma milik Boenjamin Setiawan, Peter Sondakh pemilik perusahaan Bentoel dan Rajawali Group, Lippo Group punya Mochtar Riady, dan Asia Pacific Resources International yang dimiliki Sukanto Tanoto.
Pemilik sepuluh perusahaan tersebut tercatat sebagai 19 orang terkaya di Indonesia yang memiliki kekayaan US$47,65 miliar atau setara 5 persen dari produk domestik bruto Indonesia pada 2014, senilai US$868,35 miliar.
Meski demikian, di balik kesuksesan perusahaan keluarga rentan konflik warisan bisnis. Seperti yang baru-baru ini terjadi di keluarga Grup Sinar Mas.
Salah satu anak pendiri Sinar Mas Grup (Eka Tjipta Widjaja), yakni Freddy Widjaja menggugat hak waris kepada lima saudara tirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 16 Juni 2020.
Dia memohon kepada majelis hakim, hak atas pembagian separuh warisan peninggalan sang Ayah. Ada 12 perusahaan yang disengketakan dengan total nilai aset sekitar Rp672,62 triliun.
Menanggapi fenomena konflik dalam bisnis keluarga tersebut, RSM Indonesia (kantor akuntan publik dan konsultan yang menyediakan jasa di bidang audit, perpajakan, dan konsultasi) menilai bahwa sebagian bisnis keluarga cenderung dikelola dengan tetap mempertahankan nepotisme.
Menurut RSM, perusahaan keluarga biasanya lebih berhasil ketika mereka sudah memiliki desain yang mapan untuk manajemen, kendali dan struktur keluarga. Meski demikian, banyak perusahaan keluarga yang mengabaikan tata kelola sehingga mengakibatkan bisnisnya memiliki risiko.
Dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/8), RSM Indonesia juga menguraikan indikator tata kelola bisnis keluarga yang tidak memadai, di antaranya:
1. Tidak ada kewajiban bagi anggota keluarga untuk membuktikan kompetensi mereka ketika bekerja di perusahaan keluarga
2. Tidak ada definisi jelas atas kompetensijajaran direktur dalam mengendalikan perusahaan
3. Tidak ada manajemen peluang dan risiko di perusahaan
4. Tidak ada aturan yang mengatur tentang mekanisme keluar
5. Tidak ada aturan yang mengatur interaksi dengan pemegang saham yang bukan anggota keluarga
6. Minimnya kekompakan keluarga
7. Tidak ada peraturan untuk mengelola konflik di keluarga dan perusahaan.
RSM Indonesia menilai, bila ketegangan hubungan antara anggota keluarga atau perilaku nepotisme yang tidak diperiksa dengan baik, maka akan menghambat kemajuan perusahaan. Termaskuk tidak adanya waktu yang memadai bagi generasi berikutnya untuk bersiap ketika harus mengambil alih tampuk pimpinan perusahaan.
Kondisi ini bisa mengakibatkan stagnasi bisnis dan meningkatkan konflik, sehingga kinerja perusahaan terkena dampaknya.
“Sebagaimana perkembangan bisnis keluarga, mereka akan butuh terus berubah dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Mereka harus membangun hak-hak fundamental, sebab kesuksesan datang karena kedisiplinan dan struktur yang baik,” jelas Angela, Head of Consulting RSM Indonesia, kemarin.