close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Bisnis
Senin, 01 Mei 2023 18:43

Di balik suhu panas: El Nino yang menghantui produksi pangan

Mulainya fase El Nino ditandai dengan suhu lebih hangat, ancaman kekeringan di depan mata.
swipe

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), fenomena La Nina yang telah terjadi sejak 2021 akan segera beralih ke fase Netral pada Maret 2023 dan bertahan hingga akhir semester-I 2023. Kemudian, kondisi ENSO (El Nino-Southern Oscillation) pun perlahan akan masuk ke fase El Nino pada semester kedua tahun ini. 

“Terdapat peluang sebesar 50-60% bahwa kondisi Netral akan beralih menuju fase El Nino. Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada pada kondisi netral dan diprediksi akan bertahan hingga akhir 2023,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin (6/3) lalu.

Prediksi serupa diungkapkan pula oleh ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC). Pusat Meteorologi Khusus ASEAN ini memperkirakan La Nina sudah resmi berakhir dan atmosfer-laut segera memasuki fase Netral pada periode April-Mei 2023. Selanjutnya, iklim yang disebut juga sebagai ‘Anak Tuhan’ akan terbentuk pada Juni-Juli 2023.

Sementara itu, El Nino yang merupakan kebalikan dari La Nina membuat angin pesat lebih lemah, sehingga menyebabkan air hangat kembali mengalir ke Amerika. Kondisi ini lantas membuat lebih sedikit air dingin naik ke permukaan, namun membuat air yang lebih hangat menyebar lebih jauh dan lebih dekat ke permukaan. Pada saat itulah suhu global akibat El Nino biasanya meningkat sekitar 0,2 derajat celcius.

“El Nino membuat wilayah Asia Tenggara lebih kering daripada rata-rata, termasuk di Benua Maritim. Suhu lebih hangat biasanya diikuti oleh musim kemarau. Dampak ENSO terhadap curah hujan dan suhu kawasan lebih terasa secara signifikan selama kejadian dengan intensitas kuat atau sedang,” tulis ASMC dalam laman resminya, dikutip Alinea.id, Minggu (30/4).

Mengikuti kondisi ini, BMKG memperkirakan musim kemarau tahun 2023 akan tiba lebih awal dari sebelumnya, yakni mulai Juni-Juli dan akan mencapai puncak pada Agustus. Selain itu, curah hujan yang turun selama musim kemarau diprediksi akan normal hingga lebih kering dibandingkan biasanya.

"289 ZOM atau sejumlah 41% wilayah memasuki musim kemarau MAJU atau lebih awal dari Normalnya. 200 ZOM atau 29 % wilayah memasuki musim kemarau SAMA dengan Normalnya. Dan, 95 ZOM atau 14 wilayah memasuki musim kemarau MUNDUR atau lebih lambat dari Normalnya," jelas Dwikorita.

Ilustrasi Pixabay.com.

Adapun wilayah yang mengalami musim kering lebih awal antara lain, Bali, NTB, NTT, dan sebagian besar Jawa Timur. Kemudian wilayah dengan musim kemarau sesuai periode normal di antaranya, sebagian besar Jawa Tengah, DIY, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian besar Sumatera bagian selatan, Papua bagian selatan. 

Sedangkan wilayah yang mengalami musim kemarau lebih lambat dari normal, yaitu DKI Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara.
Menyikapi situasi tersebut BMKG lantas mengimbau Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau, terutama di wilayah yang mengalami sifat Musim Kemarau bawah normal (lebih kering dibanding biasanya). 

"Wilayah ini diprediksi mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan air bersih. Perlu aksi mitigasi secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yang diperkirakan akan jauh lebih kering dari tiga tahun terakhir," kata Dwikorita mewanti-wanti.

Produksi turun

Pada saat yang sama, pemerintah daerah dan masyarakat juga dapat lebih optimal melakukan penyimpanan air pada akhir musim hujan ini untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, hingga penyimpanan air buatan lainnya. Dengan gerakan memanen air hujan ini, kebutuhan air di masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun kepentingan irigasi lahan pertanian maupun ladang dapat terpenuhi selama periode musim kemarau.

“Kita selalu mengimbau setiap masuk musim kemarau, manfaatkan air hujan dengan ditampung, agar suatu saat bisa digunakan saat musim kemarau,” jelas Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dodo Gunawan, kepada Alinea.id, Jumat (28/4).

Terlepas dari itu, kenaikan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik yang membuat curah hujan di tanah air minim, diprediksi menimbulkan ancaman bencana kekeringan. Dari prakiraan Center for Climate Risk and Opportunity Management di Asia Tenggara dan Pasifik (CCROM-SEAP) IPB University, bencana akibat musim kemarau ini utamanya akan terjadi di wilayah Jawa dan Sulawesi Selatan.

Apabila tidak diantisipasi, Kepala CCROM-SEAP IPB University Rizaldy Boer bilang, potensi gagal panen dapat mencapai 60.000 hektar. Dus, terdapat potensi penurunan produksi mencapai sekitar 500.000 ton.

“Secara historis, apabila tidak diantisipasi, luas kekeringan akan meningkat dengan cepat pada periode Juni-Juli pada periode El Nino, sementara banjir juga akan meningkat dengan cepat pada periode November, Desember, sampai Januari,” ujar Rizaldy, kepada Alinea.id, Minggu (30/4).

Jika banjir terjadi, gagal panen pun tidak dapat dihindari, meski El Nino masih melanda. Namun kabar baiknya, imbas fenomena ‘triple dip’ La Nina yang terjadi sejak September 2020, banyak lahan tanam padi yang sudah dipanen sejak Februari hingga Maret kemarin. Hal ini membuat petani lebih mudah untuk menanami kembali lahan-lahan pertanian mereka.

“Sehingga ancaman kekeringan di bulan Mei sampai Juni tahun ini relatif lebih bisa diantisipasi,” imbuhnya.

Meski begitu, baik petani, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus tetap waspada terhadap dampak El Nino, karena fenomena alam ini tidak dapat diprediksi secara pasti. Tidak hanya itu, secara historis, fenomena yang biasanya berlangsung selama sembilan bulan ini menjadi salah satu pemicu kekeringan saat musim kemarau di Indonesia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sementara itu, perlu diketahui, El Nino level lemah pernah terjadi beberapa kali, yakni pada 1951, 1963, 1976, 1977, 2004, 2006, dan 2019. Kemudian El Nino level moderate pernah terjadi pada 1986, 1987, 1994, dan 2022. Sedangkan El Nino level lebih tinggi juga sempat terjadi di Indonesia pada 1997 dan 2015 lalu.

Baru-baru ini, yakni sejak 2019-2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi sebanyak 169 bencana yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Dengan kejadian terbanyak terjadi di Jawa Barat (32 bencana kekeringan), Jawa Tengah (41 bencana kekeringan), Jawa Timur (33 bencana kekeringan). Kemudian NTB sebanyak 18 bencana kekeringan dan NTT 21 bencana kekeringan.

“Tahun paling banyak 2019. Pada Saat itu BMKG memproyeksikan musim kemarau yang lebih panjang dan kering dari biasanya atau dalam hal ini El Nino sedang terjadi,” sambung Rizaldy.

Hal ini pun diamini Kabag Humas Institut Pertanian (Instiper) Yogyakarta Betti Yuniasih. Menurutnya, pada tahun ini potensi bencana kekeringan masih akan terjadi. Hal ini berdasarkan data prakiraan Indeks Presipitasi Terstandarisasi (SPI) 3 bulanan pada Januari-Maret 2023 yang dirilis BMKG. Di mana tahun ini diperkirakan bakal terjadi musim kemarau dengan kondisi yang lebih panas dan kering dari tiga tahun sebelumnya.

“Jika dilihat dari titik kekeringannya, yang berpotensi terjadi bencana kekeringan di wilayah Maluku dan Papua,” paparnya, kepada Alinea.id belum lama ini.

Sawit terdampak

Sama halnya dengan kekeringan, potensi terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pun cukup tinggi. Dengan daerah potensial di Sumatera bagian utara, utamanya di Aceh dan Riau dan Kalimantan khususnya di daerah Kalimantan Barat.

Sementara itu, selain berpengaruh pada produksi pertanian, El Nino juga bisa berdampak pada produksi tanaman hasil perkebunan, salah satunya kelapa sawit. Betti bilang, kelapa sawit banyak dibudidayakan pada lokasi dengan curah hujan tinggi berkisar 2.000-2.500 mm/tahun dan hujan merata sepanjang tahun.

Oleh karena itu, kemarau berkepanjangan akibat El Nino bisa menyebabkan meningkatnya bunga jantan dan menurunnya bunga betina, meningkatnya pelepah patah, dan penundaan pembukaan daun muda. Seluruh kondisi itu praktis membuat produksi tandan buah segar kelapa sawit menurun.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung pun mengatakan hal serupa. Dia bilang, tanaman kelapa sawit masih mentoleransi suhu tinggi sampai kisaran 34-36 derajat celcius. Namun jika musim kemarau yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan, dikhawatirkan tidak bisa ditanggung oleh tanaman komoditas utama Indonesia itu.

Foto Pixabay.com.

Bagaimana tidak, saat cuaca panas, pemupukan yang tidak diimbangi dengan kelembaban tanah yang cukup justru berisiko tinggi merusak morfologi akar secara permanen. Jika kadung rusak, jelas produksi kelapa sawit lah yang menjadi taruhan.

“Kalau ini yang terjadi, pada akhirnya stok minyak goreng dalam jangka panjang juga akan terpengaruh. Karena kan bahan baku utamanya kelapa sawit,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (1/5).

Untuk mencegah penurunan produksi, Gulat bilang, saat ini para petani tengah melakukan berbagai cara untuk mengatasi dampak El Nino. Beberapa di antaranya dengan tidak melakukan pemupukan terlebih dulu. Upaya ini dibarengi pula dengan peniadaan penggunaan herbisida kimia untuk pengendalian hama.

Langkah ini penting, karena bahan kimia yang biasa terkandung dalam herbisida dapat menghilangkan penutup tanah alami. Dus, panas matahari akan langsung mengenai tanah. Inilah yang kemudian menjadi penyebab kebakaran lahan di lahan pertanian kelapa sawit.

“Berikutnya mengurangi aktivitas pembuangan pelepah atau pruning pada bulan-bulan yang punya cuaca ekstrim saat El Nino terjadi seperti ini,” katanya.

Pada cuaca panas ekstrim, pelepah yang sudah tidak produktif sekalipun sangat bermanfaat untuk menjadi payung alias peneduh di sekitar tanaman sawit. Pada akhirnya, jika tidak segera bergerak cepat, El Nino dapat berdampak signifikan pada stok pangan dan lonjakan harga berbagai komoditas pangan serta perkebunan.

Jika hal ini terjadi, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira khawatir, inflasi nasional bakal mengalami lonjakan. Sebelumnya, yakni pada 2015, ketika El Nino kuat terjadi, inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) pernah mencapai 4,84% secara tahunan (year on year/yoy). Berikutnya, pada Januari 2016 meningkat menjadi 6,77%.

“Dengan kondisi inflasi 2023 diperkirakan di kisaran 4,5-5%, iklim El Nino bisa meningkatkan inflasi. Tapi ini akan sangat tergantung pada antisipasi pemerintah dalam menghadapi dampak dari fenomena ini,” katanya, kepada Alinea.id, Minggu (30/4).

Sebaliknya, jika langkah mitigasi telah dilakukan, kenaikan inflasi akibat lonjakan harga komoditas pangan tak perlu terlalu dipusingkan. Misalnya dengan memenuhi cadangan pangan, terutama beras dan membuat kebijakan yang tepat untuk penjualan minyak goreng kepada masyarakat. 

Untuk sektor pertanian, menurut Bhima, ada baiknya jika petani dapat mengoptimalkan pemanfaatan kalender tanaman (KATAM) dan mempercepat proses tanam. Pada saat yang sama, pemberdayaan petani dalam pemanfaatan informasi prakiraan, dalam melakukan penyesuaian pola usaha tani dengan informasi pertanian pun penting dilakukan.

“Kemudian pemerintah juga bisa memberikan bantuan Saprotan (Sarana Produksi Pertanian). Ini tentunya juga harus dengan memperhatikan kondisi prakiraan,” tambah Kepala CCROM-SEAP IPB University Rizaldy Boer, Minggu (30/4).

Mengamankan stok

Menyadari pentingnya langkah antisipasi dampak El Nino, Kementerian Pertanian pun telah mengupayakan berbagai hal agar produksi pertanian dan perkebunan tak terlalu terimbas cuaca yang bakal semakin panas. Salah satu yang paling penting adalah mempercepat masa tanam padi maupun tanaman pangan lainnya.

“Setelah masa panen raya, kita harus percepat. Jangan lama-lama, jangan lebih dari 14 hari. Di beberapa daerah maksimal 10 hari sudah harus diolah tanahnya. Jangan lupa waktu olah tanah dengan traktor, dilakukan penyemprotan bio decomposer untuk percepat pelapukan tanah,” kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi, dalam diskusi daring Propaktani, Jumat (28/4).

Foto Antara

Selanjutnya, untuk mempercepat proses tanam, Suwandi menyarankan agar petani menggunakan sistem culik. Sehingga ketika tanah siap, bibit bisa langsung ditanam. Sementara agar lebih kuat terhadap paparan suhu tinggi, petani juga dapat menggunakan benih-benih unggul super genjah atau memilih tanaman yang tidak memerlukan banyak air.

Dia melanjutkan, ketika kondisi pancaroba, serangan hama menjadi tantangan lain bagi para petani. Oleh karenanya, sebagai langkah mitigasi, Kementerian Pertanian juga menggerakkan tim gerakan pengendali OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Setelah sebelumnya dilakukan langkah early warning system dengan melakukan pemetaan dan peramalan daerah-daerah rawan OPT.

“Keempat, pantau data BMKG untuk kita lakukan langkah antisipasi dini. Kelima, lakukan prinsip penanganan kalau musim kemarau akan terjadi benih-benih tahan kekeringan di daerah rawan kering. Keenam, jangan lupa asuransi usaha tani padi. Sehingga meminimalisir risiko,” jelas Suwandi.

Adapun untuk mengantisipasi lonjakan harga komoditas, Kementerian Perdagangan juga telah mengamankan cadangan pangan pemerintah. Hal ini menjadi penting, karena El Nino yang membuat harga pangan melonjak akibat kekeringan dapat diatasi salah satunya dengan operasi pasar.

“Di Indonesia, yang perlu diantisipasi adalah komoditas pangan utama seperti beras dan kelapa sawit,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Isy Karim, kepada Alinea.id, Senin (1/5).

Khusus untuk beras, pemerintah telah memutuskan untuk melakukan impor untuk memenuhi cadangan beras Bulog sebanyak 2 juta ton. Meski melakukan importasi, Isy pun menekankan agar petani tak perlu khawatir, karena pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) juga tetap akan menyerap beras petani saat masa panen tiba.

Sementara itu, untuk menjaga pasokan dan harga minyak goreng sebagai antisipasi penurunan produksi minyak sawit, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga telah melakukan antisipasi dengan menetapkan besaran rasio ekspor, khususnya  untuk CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah dari sebelumnya 450.000 ton menjadi 300.000 ton. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dulu.

“Kebijakan khusus minyak goreng ini tentunya besaran yang sudah diputuskan baik rasio ekspor maupun insentif kemasan,” ujar Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan, dalam pesan singkat kepada Alinea.id, Senin (1/5).

Sementara itu, sebagai antisipasi kekeringan, Direktur Bina Operasi dan Pemeliharaan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Adenan Rasyid mengungkapkan, pihaknya akan terus memastikan tampungan air. Nantinya, air dari simpanan hujan ini bisa dimanfaatkan untuk persediaan air saat musim kemarau.

“Tampungan air ini diharapkan dapat meminimalisir gagal panen pada sektor pertanian,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Senin (1/5).

Tidak hanya itu, pada saat ini Kementerian PUPR pun juga tengah menyelesaikan pembangunan 13 bendungan, mengerjakan operasi dan pemeliharaan 223 bendungan, menjalankan program revitalisasi dan pengelolaan 15 danau prioritas, serta melakukan rehabilitasi jaringan irigasi. 

“Pengelola sarana penampungan air ini harus memastikan bahwa pada awal musim kemarau fasilitas dalam kondisi tampungan penuh, sehingga punya cadangan air yang cukup hingga akhir musim tanam,” tegas Adenan.
 
 
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan