Claudia (24) mengaku menghabiskan uang hingga Rp300.000 untuk thrifting di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Setidaknya ada enam hingga tujuh potong pakaian impor bekas impor yang diborong ke lemari rumahnya.
Baginya, bukan masalah harga yang murah saja tapi ukuran dan model pakaian yang diinginkan banyak ditemukan pada pedagang thrifting. Meski merupakan bekas impor dan terkesan ketinggalan zaman, tapi sejumlah potong pakaian masih dianggap ada nilai mode yang mencuri perhatian.
Claudia sendiri mengaku tidak masalah bila dianggap bajunya tanpa jenama beken. Selama dirinya dapat memiliki pakaian yang sesuai dengan gayanya.
“Gue suka fashion dan banyak banget update fashion di thrift terus habis itu gue juga lebih milih thrifting karena pastinya harganya masih murah banget jauh banget murahnya daripada beli di store atau di bahkan online,” ungkapnya kepada Alinea.id, Sabtu (14/9).
Fenomena thrifting alias pakaian bekas tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS). Jajak pendapat Garson & Shaw menemukan, sebanyak 28% warga AS membeli baju bekas karena alasan lingkungan, dan 58% lain karena alasan mau berhemat.
Ada juga yang karena mau mendorong ekonomi lokal, karena mereka membeli barang bekas dari pasar di sekitar lingkungannya. Motivasi ekonomi kerap terlihat juga dari generasi Z. Menurut Statista, generasi muda yang didominasi generasi Z menggemari pakaian bekas karena ringan di kantong dan ramah lingkungan.
Mematikan industri tekstil
Ekonom Piter Abdullah menilai, konsumsi terhadap barang impor seperti fenomena thrifting ini memiliki efek bola salju yang begitu besar. Yaitu, awalnya merupakan hal yang sangat kecil dan dapat berkelanjutan hingga menjadi sangat besar. Dampak baju bekas impor bisa mematikan industri sandang dan tekstil dalam negeri.
Ketika itu terjadi, maka pendapatan sebagian besar produk lokal maupun jenama beken juga akan tergilas. Semakin lama, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tekstil menyusut dan perusahaan tekstil besar akan memangkas jumlah karyawannya atau PHK.
“Kalau kita membeli barang impor mematikan indsutri dalam negeri artinya mematikan juga income sebagian besar masyarakat kita, artinya akan semakin banyak juga orang yang kena PHK,” katanya kepada Alinea.id, Sabtu (14/9).
Kalau alasan thrifting hanya sebatas murah, kata Piter, maka analisa di atas akan menjadi keniscayaan. Pola pikir masyarakat harus diubah.
Alih-alih berharap semua produk murah, masyarakat dan pemerintah harus menaikkan standar dengan penghasilan yang tinggi untuk dalam negeri. Sebab, kondisi membuat murah produk hanya akan merusak ekosistem bisnis tekstil semata.
Sementara dari sisi kualitas, tidak dikejar menjadi jauh lebih baik. Maka dari itu, pemerintah pun harus membuat program yang memicu dan menjadikan warganya bisa mendapatkan penghasilan lebih besar.
Ia mengingatkan, pemerintah tidak boleh pragmatis dalam menghadapi fenomena seperti ini. Pemerintah harus membuat rencana yang matang untuk kesejahteraan dalam negeri.
“Yang kita butuhkan bukan harga murah, tapi penghasilan yang gede. Ya pemerintah suka ngambil yang gampangnya aja. Cerita di baliknya thrifting itu matinya industri dalam negeri,” ucapnya.