close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.
Bisnis
Rabu, 26 Oktober 2022 16:49

Dilema produsen consumer goods: Naikkan harga demi lawan inflasi

Inflasi yang melonjak membuat produsen consumer goods harus menaikkan harga atau memperkecil ukuran produk.
swipe

Pada September lalu, laju inflasi Indonesia telah menembus level tertinggi sejak Desember 2014. Tercatat, inflasi umum mencapai 1,17% secara bulanan (month to month/mtm) atau 5,95% secara tahunan (year on year/yoy). Laju inflasi ini juga jauh lebih tinggi dari September 2021 yang hanya sebesar 1,60% yoy.

Pada bulan ini, Indonesia diperkirakan masih akan berada pada tren inflasi tinggi. Meski berdasarkan Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia (BI), inflasi Oktober 2022 akan lebih melandai dibanding bulan sebelumnya, yakni sebesar 0,05% mtm. Dengan komoditas utama penyumbang inflasi Oktober antara lain, bensin sebesar 0,05% mtm, tarif angkutan dalam kota 0,04% (mtm), serta angkutan antar kota, rokok kretek filter, tahu mentah, tempe, dan beras masing-masing sebesar 0,01% (mtm).

Meski demikian, ada pula komoditas yang mengalami deflasi pada periode minggu ketiga Oktober yaitu cabai merah sebesar -0,10% (mtm), telur ayam ras sebesar -0,08% (mtm), daging ayam ras sebesar -0,04% (mtm), cabai rawit sebesar -0,03% (mtm), serta tomat -0,01% (mtm). 

Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut,” kata Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Jumat (21/10).

Adapun hingga akhir tahun 2022, BI memperkirakan tingkat inflasi nasional akan berada di kisaran 6,3% yoy. Proyeksi ini lebih rendah dari perkiraan BI sebelumnya yang sebesar 6,6%-6,7% yoy.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal bilang, kenaikan harga BBM dan pupuk yang menyebabkan inflasi kian tinggi, membuat daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan semakin tergerus. Bagaimana tidak, naiknya harga BBM dan pupuk tersebut praktis membuat pengeluaran masyarakat untuk transportasi hingga biaya produksi ikut terkerek naik.

Dengan demikian, masyarakat pun akan menahan laju konsumsinya. “Padahal sebelumnya daya beli masyarakat sudah tergerus karena pandemi Covid-19, serta kenaikan harga komoditas global di tahun lalu,” katanya, ketika dihubungi Alinea.id, Senin (24/10).

Pelemahan daya beli masyarakat ini terlihat dari Mandiri Spending Index yang menunjukkan perlambatan nilai maupun frekuensi berbelanja. Secara rinci, per 26 September 2022 indeks nilai berbelanja masyarakat tercatat di level 128,3, turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 128,7.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sementara itu, indeks frekuensi berbelanja tercatat sebesar 157,5 per 26 September 2022, melambat dari periode bulan Agustus 2022 yang sebesar 158,4. Pelemahan daya beli masyarakat juga ditunjukkan oleh indeks keyakinan konsumen (IKK) September 2022 yang melambat di level 117,2, dibandingkan Agustus 2022 yang sebesar 124,7.

Mencoba bertahan

Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono dalam kesempatan terpisah mengatakan, perlambatan ini sudah sewajarnya terjadi di tengah kenaikan harga BBM yang membuat inflasi ikut melesat. Meski begitu, dari data Mandiri Spending Index, menurutnya masyarakat belum kehilangan daya beli untuk berbelanja. Pun dengan IKK yang masih berada di atas level 100, yang artinya keyakinan masyarakat untuk melakukan konsumsi masih tinggi.

“Sebaliknya, perlambatan pertumbuhan indeks berbelanja ini lebih menunjukkan langkah masyarakat yang masih mencoba menata ulang prioritas belanja di tengah peningkatan harga-harga,” jelas Teguh, kepada Alinea.id, belum lama ini.

Terlepas dari semakin tergerusnya daya beli masyarakat, ada perusahaan dari berbagai sektor yang mencoba bertahan dari tingginya inflasi dan ancaman resesi global di tahun depan. Apalagi, ketika inflasi semakin tinggi dan bayangan resesi semakin nyata, masyarakat bakal lebih selektif dalam berbelanja.

“Kelompok belanja retail cenderung stabil, belanja sekunder seperti leisure terus melemah, sementara belanja terkait mobility kembali naik pascakenaikan BBM,” imbuhnya.

Perlu diketahui, sektor ritel yang dimaksud Teguh antara lain, makanan dan minuman, sektor barang konsumsi alias fast moving consumer good (FMCG), termasuk supermarket dan restoran. Lalu belanja leisure yakni seperti fesyen, traveling, makan di luar dan kebutuhan tersier lainnya.

Dalam kesempatan lain, Senior Marketing Manager Worldpanel Division Kantar Indonesia Corina Fajriyani menilai, meski seluruh kelompok pengeluaran, mulai dari makanan segar, FMCG, transportasi, utilities, fesyen, travel, hiburan atau hobby, makan di luar, komunikasi dan sebagainya kompak menurun, namun penurunan makanan segar dan FMCG tidak akan sedalam kelompok pengeluaran lain.

“Bahkan FMCG sudah mulai pulih seperti sebelum pandemi,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (25/10).

Namun demikian, Corina menyarankan perusahaan-perusahaan tetap harus mewaspadai tren inflasi tinggi dan pelemahan daya beli masyarakat. Untuk mempertahankan minat pembeli di tengah lonjakan harga-harga, perusahaan perlu melakukan strategi penyesuaian harga.

Ilustrasi supermarket. Foto Pixabay.com.

Di saat yang sama, perusahaan juga dapat memanfaatkan perilaku omnichannel masyarakat. Dalam hal ini, perusahaan perlu memaksimalkan kehadiran toko online dan offline. 

“Semua upaya perlu dilakukan perusahaan FMCG untuk mempertahankan minat pembeli,” imbuhnya.

Jika tingkat inflasi Indonesia masih terus melaju, penyesuaian harga produk FMCG terutama makanan dan minuman memang tidak terelakkan. Apalagi, ekonomi global masih dibayangi oleh situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina serta Cina dan Taiwan yang belum menentu.

Naikkan harga produk

Panasnya kondisi geopolitik dunia tersebut, kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman, membuat sektor pertanian dan energi ikut bergejolak. Dengan masih bergantungnya bahan baku industri pengolahan kepada pasokan komoditas impor, perang jelas membuat keterpenuhan bahan baku industri makanan dan minuman terkendala.

“Sebagai contoh, ketika Cina dan Taiwan berkonflik, kita sempat kesulitan untuk mendapatkan beberapa bahan pangan. Kita kemarin sempat mengalami keterlambatan pengiriman asam sitrat, biji-bijian dan bawang,” ungkap dia, kepada Alinea.id belum lama ini.

Begitu pula dengan perang Rusia-Ukraina yang membuat Indonesia sempat kesulitan mendapatkan gandum. Padahal, sebelumnya sekitar 17% dari total kebutuhan gandum nasional dipasok dari Ukraina.

“Beruntungnya Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang baik dengan negara penghasil gandum lain, seperti Australia, Argentina, Amerika, dan India. Jadi pengusaha bisa mendapatkan substitusi gandum dari negara lain,” lanjut Adhi.

Namun demikian, dengan adanya kenaikan BBM September lalu yang membuat harga-harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi kompak naik, pemilik kelompok usaha INACO ini yakin jika kebanyakan pengusaha FMCG, makanan dan minuman khususnya akan mulai menaikkan harga produk tahun depan. Dia memperkirakan, kenaikan harga akan bervariasi di kisaran 5%-7%.

“Sekarang belum naik karena mereka (pengusaha) kebanyakan masih menghabiskan stok lama. Dengan solar naik, biaya logistik naik, biaya operasional naik. Belum lagi ada beberapa harga bahan baku yang naik juga. Kalau begini opsinya cuma menaikkan harga atau mengurangi size (ukuran),” katanya.

Sementara itu, meski selama semester-I 2022 kinerja bisnis banyak perusahaan barang konsumer masih menunjukkan tren pertumbuhan positif, namun segala tetek bengek terkait kenaikan harga BBM dan bahan baku membuat industri ketar-ketir. Sebab, dampak rambatan dari penyesuaian harga bahan bakar minyak masih belum diketahui kapan akan berakhir dan seberapa besar. Di saat yang sama, harga-harga bahan baku terutama yang dipenuhi dari pasokan impor masih terus bergerak fluktuatif, mengikuti kondisi ekonomi dan situasi geopolitik dunia. 

Karenanya, untuk menyiasati kondisi tersebut, sekaligus juga menghindari terkoreksinya kinerja bisnis perusahaan terlalu dalam, PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk. atau Garudafood telah menaikkan harga jual per kilogram produk secara bertahap, terhadap produk-produk pada kategori tertentu. Langkah ini, kata Direktur Garudafood Paulus Tedjosutikno, telah dilakukan oleh perusahaan dengan kode emiten GOOD ini sejak Januari 2022, sebagai upaya terakhir.

“Kenaikan harga yang sangat cepat dan hiperinflasi dari berbagai negara di dunia telah kami rasakan sejak semester-II 2021. Karena itu, biaya produksi ikut mengalami kenaikan,” ujar Paulus, dalam keterangannya kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, produsen makanan ringan ini juga telah menerapkan strategi kontrak jangka panjang dengan para pemasok bahan baku. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan harga yang stabil dan menjaga ketersediaan bahan baku, sebagai antisipasi adanya gangguan di jalur logistik ketika kondisi geopolitik dunia tidak menentu. Dus, keberlangsungan proses produksi pun tidak akan terganggu.

Selain itu, GOOD juga memfokuskan pertumbuhan volume penjualan untuk produk di kategori fast-moving. Caranya, dengan melakukan ekspansi jalur distribusi serta digitalisasi sektor logistik.

“Dengan berbagai upaya itu, kami optimis pada akhir 2022, kami mampu mencapai pertumbuhan penjualan dan laba bersih lebih baik dibandingkan tahun lalu,” tutur Paulus.

Aktivitas pembayaran di sebuah gerai minimarket. Foto Reuters.

Sama halnya dengan Garudafood, PT Kino Indonesia Tbk. alias Kino juga telah melakukan penyesuaian harga pada awal paruh kedua tahun ini. Upaya ini dilakukan produsen Cap Panda dan Cap Kaki Tiga ini tak lain untuk meredam dampak kenaikan harga bahan baku dunia di sepanjang tahun lalu.

Selain itu, dengan adanya kenaikan harga BBM di dalam negeri, perusahaan dengan kode emiten KINO ini juga tengah mengkaji kembali penyesuaian harga produk. Direktur Kino Indonesia Budi Muljono menjelaskan, keputusan terkait penyesuaian harga produk ini memang tidak mudah untuk diambil perusahaan. Demi menjaga posisi produk Kino di pasaran, kenaikan harga jual produk pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Karena kami ada di sektor consumer goods, yang mana persaingan sangat ketat, kami tidak bisa menaikkan harga untuk mengalihkan beban kenaikan harga berbagai komoditas ini kepada konsumen sepenuhnya,” jelas Budi, kepada Alinea.id, Selasa (25/10).

Di sisi lain, penyesuaian harga juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Dus, sembari menunggu keputusan terkait penyesuaian harga ini, perusahaan telah melakukan efisiensi di setiap lini bisnis. Upaya ini pun telah dilakukan sejak Juli 2022 lalu, sebagai upaya mitigasi terhadap kenaikan harga bahan baku.

“Kami sudah melakukan efisiensi di beberapa pos anggaran, terutama di pembiayaan iklan dan promosi produk,” beber Budi.

Penyesuaian harga juga tak bisa dihindari perusahaan barang konsumer PT Unilever Indonesia Tbk. atau UNVR. Presiden Direktur Unilever Indonesia Ira Noviarti mengakui, pihaknya telah menaikkan harga jual produk pada paruh pertama tahun ini sebesar 10%.

“Kenaikan yang dibebankan kepada konsumen ini hanya sedikit dari beban kenaikan harga yang kami tanggung,” kata dia, dalam keterangannya kepada Alinea.id belum lama ini.

Ira bilang, jika dihitung-hitung, kenaikan harga 10% hanya bisa menutupi kenaikan harga dari beberapa bahan baku saja. Pasalnya, beban kenaikan harga dan juga tren tingginya inflasi dunia termasuk indonesia luar biasa besar.

Selain menaikkan harga beberapa produk, seperti ice cream, kebutuhan nutrisi, dan barang lain, UNVR juga tengah getol melakukan penghematan. Tujuannya, agar perusahaan tidak terlalu banyak membebankan dampak kenaikan harga kepada konsumen.

“Kita coba melakukan efisiensi di seluruh lini bisnis perusahaan. Saving diperbagus, sehingga inefisiensi yang terjadi bisa kita minimalisir dan membantu profit kita tetap tumbuh tanpa harus membebankan harga ke konsumen,” jelas dia.

Terpisah, Direktur Utama PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) David Hidayat mengaku, meski pihaknya telah melakukan penyesuaian harga beberapa waktu lalu, perseroan masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang inflasi tinggi Indonesia. Pasalnya, tingkat inflasi yang kian tinggi praktis membuat daya beli masyarakat menurun.

Meski kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan juga semakin meningkat pasca pandemi Covid-19, namun kesehatan terutama jamu masih berada di bawah kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman.

“Karena bagaimanapun, melemahnya daya beli masyarakat berujung pada preferensi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan,” kata pengusaha asal Semarang itu, kepada Alinea.id, Kamis (20/10).

Foto Pixabay.com.

Dengan demikian, untuk terus menjaga pendapatan dan laba bersih, perusahaan telah melakukan penyempurnaan jalur distribusi, baik modern trade (MT) melalui ritel modern maupun pasar tradisional (general trade/GT). Pun dengan business to consumer atau penyaluran produk langsung kepada konsumen melalui penjualan online.

Di saat yang sama, perseroan juga akan terus mendorong ketersediaan barang terutama di level grosir dan retailer. Dus, diharapkan dapat dipastikan bahwa produk Sido Muncul akan selalu tersedia di semua level channel distribusi dan mudah dijangkau masyarakat.

Tidak hanya itu, untuk meningkatkan penjualan, perusahaan juga telah mengeluarkan produk baru, yakni produk ready to drink alias produk siap minum Alang Sari Cool. Upaya ini sejalan juga dengan rencana perseroan untuk lebih serius dalam memasuki bisnis ready to drink mulai tahun depan.

“Dengan berbagai upaya ini, target pertumbuhan penjualan diharapkan tercapai hingga akhir tahun ini, setelah sebelumnya kami telah mengalami proses revisi,” tutupnya.

 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan