Dilema distribusi energi terbarukan: PLN untung atau buntung?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengeluarkan skema power wheeling dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (EBET). Artinya, kemungkinan besar skema distribusi listrik dengan jaringan yang sama antara PT PLN (Persero) dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) ini tidak akan ada lagi dalam calon regulasi untuk energi terbarukan tersebut.
“Sudah Jelas posisi pemerintah. Di (DIM) versi pemerintah sih enggak ada (skema power wheeling),” katanya, usai Rapat Kerja bersama DPR RI, di Kompleks Parlemen, Selasa (24/1).
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan substansi dalam RUU EBET dapat berubah. Pasalnya, calon undang-undang ini, termasuk salah satunya mengenai skema power wheeling masih akan dibahas lebih lanjut oleh Panitia Kerja (Panja) RUU EBET.
Dalam Raker mengenai pembahasan RUU EBET bersama Menteri ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Pendidikan dan Ristek (Kemendikbud Ristek), dan Kementerian Hukum dan HAM, Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengungkapkan kekecewaannya.
Sebab, penggunaan skema power wheeling sebagai salah satu cara mendistribusikan listrik ke seluruh wilayah di Indonesia masih menjadi perdebatan. Bahkan, skema power wheeling atau yang disebutnya sebagai power rangers inilah yang menjadi penyebab utama lambatnya pembahasan RUU EBET di DPR.
Politisi Partai Golkar ini percaya, penggunaan skema power wheeling dapat memudahkan transfer listrik dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT), baik yang diproduksi PLN maupun IPP kepada konsumen di seluruh pelosok negeri. Dus, proses transisi ke energi terbarukan di sektor kelistrikan dapat terakselerasi.
“Justru ruh RUU EBET ini di power wheeling. Apabila power wheeling tidak ada, (transisi ke EBT) enggak ada kemajuan dan kami menilai, keseriusan kita dalam mendorong percepatan pengembangan EBT justru tidak berjalan. Justru UU ini hanya sebatas formalitas,” tuturnya, Selasa (25/1).
Selain untuk mengakselerasi bauran energi terbarukan, skema power wheeling juga berpotensi mendatangkan pundi-pundi tambahan untuk perusahaan setrum negara. Maman mencontohkan, pasca terbitnya UU EBET akan ada sebuah perusahaan listrik swasta yang membangun pembangkit listrik tenaga matahari, dengan adanya skema power wheeling.
Entitas tersebut bisa lebih cepat menyalurkan listrik yang diproduksinya kepada konsumen melalui jaringan transmisi yang dimiliki PLN. Dengan mengizinkan penggunaan jaringan transmisi itu lah, PLN dapat mengumpulkan pendapatan.
Sebaliknya, jika tidak ada skema ‘power rangers’, perusahaan tersebut mau tidak mau harus membangun jaringan transmisi terlebih dulu untuk menjangkau konsumen. Padahal, butuh waktu lama untuk membangun jaringan transmisi listrik. Dengan kata lain, penyaluran listrik dengan energi terbarukan pun akan terhambat.
“Sebagian besar dari analogi kita, power wheeling ini merupakan pintu masuknya,” imbuh Maman.
Perlu diketahui, hingga akhir 2021 total panjang jaringan transmisi mencapai 64.806,79 kms (kilometer sirkuit). Panjang total jaringan transmisi tersebut bertambah dari di tahun sebelumnya yang hanya sepanjang 61.334,18 kms. Sedangkan jumlah trafo gardu induk sebanyak 2.269 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo gardu distribusi menjadi 64.340,88 MVA dan 542.958 unit. Kapasitas terpasang mengalami peningkatan sebesar 4,52% dan jumlah trafo gardu distribusi mengalami peningkatan sebesar 2,92% dibanding tahun sebelumnya.
Berbeda dengan Maman, Anggota Komisi VII DPR Yulian Gunhar mengapresiasi keputusan pemerintah yang menghapus power wheeling dalam DIM RUU EBET. Dia khawatir, jika skema ini tetap dipertahankan justru akan memberikan kerugian lebih besar kepada PLN, yang pada akhirnya akan semakin menekan keuangan negara.
Bagaimana tidak, ketika IPP mulai mendistribusikan setrum dengan EBT melalui jaringan transmisi milik PLN, pada saat itu juga lah perusahaan listrik pelat merah itu akan berpotensi kehilangan sebagian dari konsumennya. Jika hal ini terjadi, akan semakin sulit bagi PLN untuk mengatasi suplai listrik berlebih (over supply) yang sampai saat ini masih terjadi.
“Karena kalau (over supply) tidak berkurang juga, negara lah yang harus membayar over supply ini melalui dana APBN,” jelas Yulian saat dihubungi Alinea.id, Rabu (25/1).
Mengacu pada Statistik PLN, setidaknya over supply listrik telah menjadi masalah menahun PLN sejak beberapa tahun belakangan. Pada tahun 2021 contohnya, perusahaan setrum milik pemerintah ini mengalami kelebihan pasokan listrik karena PLN yang hanya mampu menjual sebanyak 257.634,25 GWh kepada pelanggan, dari suplai yang mencapai 289.470,57 GWh.
Perbandingan suplai listrik PLN dan listrik yang terjual ke pelanggan
Tahun |
Suplai Listrik (GWh) |
Listrik Terjual (GWh) |
2013 |
216.118,54 |
187.541,02 |
2014 |
228.554,91 |
198.601,78 |
2015 |
233.981,99 |
202.845,82 |
2016 |
246.610,52 |
216.004,29 |
2017 |
254.659,78 |
223.133,72 |
2018 |
267.085,38 |
234.617,88 |
2019 |
278.941,07 |
245.518,17 |
2020 |
274.851,17 |
243.582,75 |
2021 |
289.470,57 |
257.634,2 |
Keterangan: Suplai listrik PLN berasal dari produksi PLN dan listrik yang dibeli oleh PLN dari perusahaan listrik swasta.
Sumber: Statistik PLN 2021.
“Kalau power wheeling diterapkan, dampaknya akan membuat APBN membengkak untuk membayar kompensasi kepada PLN, karena tarif listrik PLN di bawah HPP (Harga Pokok Penyediaan) dan keekonomian,” jelas dia.
Liberalisasi kelistrikan
Pada sepanjang tahun 2022 misalnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengucurkan dana sebesar Rp133,3 triliun, yang Rp56,2 triliun diantaranya digunakan untuk subsidi listrik bagi keluarga tidak mampu 450 VA (Volt Ampere), Rp72,1 triliun sebagai kompensasi agar harga listrik untuk kelompok 900 VA ke atas tetap stabil, dan Rp5 Triliun berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menyambung listrik di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Sementara pada 2021 pemerintah telah membayarkan subsidi dan kompensasi listrik kepada PLN dengan nilai total Rp74,39 triliun. Rinciannya, subsidi sebesar Rp49,8 triliun dan kompensasi Rp24,59 triliun.
“Skema ini juga bisa dianggap sebagai bentuk liberalisasi kelistrikan. Ketika tarif listrik diserahkan pada mekanisme pasar, saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan,” tegas politikus PDIP itu.
Hal ini pun diamini Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Dia menilai, skema power wheeling memang bisa membuat tarif listrik dari energi terbarukan yang harus dibayarkan masyarakat menjadi mahal. Apalagi, belum ada skema kontrol harga terkait pengenaan tarif ini.
“Di saat yang sama, kalau swasta hanya pakai jaringan transmisi PLN saja, tanpa memberikan keuntungan bagi negara, ini sama saja dengan mendompleng infrastruktur negara yang sudah ada,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (23/1).
Hal ini akan berbeda jika swasta dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur jaringan transmisi listrik. Terutama di daerah 3T, yang mana selama ini belum mampu dijangkau PLN. “Ini juga bisa menguntungkan dua pihak,” imbuh Faisal.
Dengan langkah ini, swasta dapat memanfaatkan potensi sumber energi yang terdapat di wilayah-wilayah pedalaman Indonesia. Plus, dapat membangun investasi dengan lebih murah. Di saat yang sama, pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dari karpet merah investasi yang telah digelarnya di daerah 3T tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah juga bisa menggerakkan perekonomian lokal dengan masuknya jaringan transmisi listrik di daerah-daerah pelosok tersebut.
“Karena bagaimanapun akan ada multiplier effect-nya kalau investasi di jaringan transmisi ini masuk ke daerah pelosok,” ucap Faisal.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengeluarkan skema power wheeling dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (EBET). Artinya, kemungkinan besar skema distribusi listrik dengan jaringan yang sama antara PT PLN (Persero) dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) ini tidak akan ada lagi dalam calon regulasi untuk energi terbarukan tersebut.
“Sudah Jelas posisi pemerintah. Di (DIM) versi pemerintah sih enggak ada (skema power wheeling),” katanya, usai Rapat Kerja bersama DPR RI, di Kompleks Parlemen, Selasa (24/1).
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan substansi dalam RUU EBET dapat berubah. Pasalnya, calon undang-undang ini, termasuk salah satunya mengenai skema power wheeling masih akan dibahas lebih lanjut oleh Panitia Kerja (Panja) RUU EBET.
Dalam Raker mengenai pembahasan RUU EBET bersama Menteri ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Pendidikan dan Ristek (Kemendikbud Ristek), dan Kementerian Hukum dan HAM, Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengungkapkan kekecewaannya.
Sebab, penggunaan skema power wheeling sebagai salah satu cara mendistribusikan listrik ke seluruh wilayah di Indonesia masih menjadi perdebatan. Bahkan, skema power wheeling atau yang disebutnya sebagai power rangers inilah yang menjadi penyebab utama lambatnya pembahasan RUU EBET di DPR.
Politisi Partai Golkar ini percaya, penggunaan skema power wheeling dapat memudahkan transfer listrik dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT), baik yang diproduksi PLN maupun IPP kepada konsumen di seluruh pelosok negeri. Dus, proses transisi ke energi terbarukan di sektor kelistrikan dapat terakselerasi.
“Justru ruh RUU EBET ini di power wheeling. Apabila power wheeling tidak ada, (transisi ke EBT) enggak ada kemajuan dan kami menilai, keseriusan kita dalam mendorong percepatan pengembangan EBT justru tidak berjalan. Justru UU ini hanya sebatas formalitas,” tuturnya, Selasa (25/1).
Selain untuk mengakselerasi bauran energi terbarukan, skema power wheeling juga berpotensi mendatangkan pundi-pundi tambahan untuk perusahaan setrum negara. Maman mencontohkan, pasca terbitnya UU EBET akan ada sebuah perusahaan listrik swasta yang membangun pembangkit listrik tenaga matahari, dengan adanya skema power wheeling.
Entitas tersebut bisa lebih cepat menyalurkan listrik yang diproduksinya kepada konsumen melalui jaringan transmisi yang dimiliki PLN. Dengan mengizinkan penggunaan jaringan transmisi itu lah, PLN dapat mengumpulkan pendapatan.
Sebaliknya, jika tidak ada skema ‘power rangers’, perusahaan tersebut mau tidak mau harus membangun jaringan transmisi terlebih dulu untuk menjangkau konsumen. Padahal, butuh waktu lama untuk membangun jaringan transmisi listrik. Dengan kata lain, penyaluran listrik dengan energi terbarukan pun akan terhambat.
“Sebagian besar dari analogi kita, power wheeling ini merupakan pintu masuknya,” imbuh Maman.
Perlu diketahui, hingga akhir 2021 total panjang jaringan transmisi mencapai 64.806,79 kms (kilometer sirkuit). Panjang total jaringan transmisi tersebut bertambah dari di tahun sebelumnya yang hanya sepanjang 61.334,18 kms. Sedangkan jumlah trafo gardu induk sebanyak 2.269 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo gardu distribusi menjadi 64.340,88 MVA dan 542.958 unit. Kapasitas terpasang mengalami peningkatan sebesar 4,52% dan jumlah trafo gardu distribusi mengalami peningkatan sebesar 2,92% dibanding tahun sebelumnya.
Berbeda dengan Maman, Anggota Komisi VII DPR Yulian Gunhar mengapresiasi keputusan pemerintah yang menghapus power wheeling dalam DIM RUU EBET. Dia khawatir, jika skema ini tetap dipertahankan justru akan memberikan kerugian lebih besar kepada PLN, yang pada akhirnya akan semakin menekan keuangan negara.
Bagaimana tidak, ketika IPP mulai mendistribusikan setrum dengan EBT melalui jaringan transmisi milik PLN, pada saat itu juga lah perusahaan listrik pelat merah itu akan berpotensi kehilangan sebagian dari konsumennya. Jika hal ini terjadi, akan semakin sulit bagi PLN untuk mengatasi suplai listrik berlebih (over supply) yang sampai saat ini masih terjadi.
“Karena kalau (over supply) tidak berkurang juga, negara lah yang harus membayar over supply ini melalui dana APBN,” jelas Yulian saat dihubungi Alinea.id, Rabu (25/1).
Mengacu pada Statistik PLN, setidaknya over supply listrik telah menjadi masalah menahun PLN sejak beberapa tahun belakangan. Pada tahun 2021 contohnya, perusahaan setrum milik pemerintah ini mengalami kelebihan pasokan listrik karena PLN yang hanya mampu menjual sebanyak 257.634,25 GWh kepada pelanggan, dari suplai yang mencapai 289.470,57 GWh.
Perbandingan suplai listrik PLN dan listrik yang terjual ke pelanggan
Tahun |
Suplai Listrik (GWh) |
Listrik Terjual (GWh) |
2013 |
216.118,54 |
187.541,02 |
2014 |
228.554,91 |
198.601,78 |
2015 |
233.981,99 |
202.845,82 |
2016 |
246.610,52 |
216.004,29 |
2017 |
254.659,78 |
223.133,72 |
2018 |
267.085,38 |
234.617,88 |
2019 |
278.941,07 |
245.518,17 |
2020 |
274.851,17 |
243.582,75 |
2021 |
289.470,57 |
257.634,2 |
Keterangan: Suplai listrik PLN berasal dari produksi PLN dan listrik yang dibeli oleh PLN dari perusahaan listrik swasta.
Sumber: Statistik PLN 2021.
“Kalau power wheeling diterapkan, dampaknya akan membuat APBN membengkak untuk membayar kompensasi kepada PLN, karena tarif listrik PLN di bawah HPP (Harga Pokok Penyediaan) dan keekonomian,” jelas dia.
Liberalisasi kelistrikan
Pada sepanjang tahun 2022 misalnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengucurkan dana sebesar Rp133,3 triliun, yang Rp56,2 triliun diantaranya digunakan untuk subsidi listrik bagi keluarga tidak mampu 450 VA (Volt Ampere), Rp72,1 triliun sebagai kompensasi agar harga listrik untuk kelompok 900 VA ke atas tetap stabil, dan Rp5 Triliun berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menyambung listrik di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Sementara pada 2021 pemerintah telah membayarkan subsidi dan kompensasi listrik kepada PLN dengan nilai total Rp74,39 triliun. Rinciannya, subsidi sebesar Rp49,8 triliun dan kompensasi Rp24,59 triliun.
“Skema ini juga bisa dianggap sebagai bentuk liberalisasi kelistrikan. Ketika tarif listrik diserahkan pada mekanisme pasar, saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan,” tegas politikus PDIP itu.
Hal ini pun diamini Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Dia menilai, skema power wheeling memang bisa membuat tarif listrik dari energi terbarukan yang harus dibayarkan masyarakat menjadi mahal. Apalagi, belum ada skema kontrol harga terkait pengenaan tarif ini.
“Di saat yang sama, kalau swasta hanya pakai jaringan transmisi PLN saja, tanpa memberikan keuntungan bagi negara, ini sama saja dengan mendompleng infrastruktur negara yang sudah ada,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (23/1).
Hal ini akan berbeda jika swasta dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur jaringan transmisi listrik. Terutama di daerah 3T, yang mana selama ini belum mampu dijangkau PLN. “Ini juga bisa menguntungkan dua pihak,” imbuh Faisal.
Dengan langkah ini, swasta dapat memanfaatkan potensi sumber energi yang terdapat di wilayah-wilayah pedalaman Indonesia. Plus, dapat membangun investasi dengan lebih murah. Di saat yang sama, pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dari karpet merah investasi yang telah digelarnya di daerah 3T tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah juga bisa menggerakkan perekonomian lokal dengan masuknya jaringan transmisi listrik di daerah-daerah pelosok tersebut.
“Karena bagaimanapun akan ada multiplier effect-nya kalau investasi di jaringan transmisi ini masuk ke daerah pelosok,” ucap Faisal.
Pada kesempatan lain, Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov khawatir, skema power wheeling akan ujug-ujug diterapkan ketika UU disahkan nanti, meski sudah dianulir dalam DIM RUU EBET. Sebab, skema yang meliberalisasi sektor kelistrikan ini bisa menjadi bom waktu bagi APBN di kemudian hari.
Bagaimana tidak, ketika power wheeling diterapkan dan listrik berbasis EBT sudah didistribusikan oleh swasta melalui jaringan transmisi milik PLN, atau yang dalam hal ini dibangun oleh negara, pada saat itu juga PLN akan berebut pasar pasar dengan IPP. Kondisi ini berpotensi membuat masalah over supply listrik kian tebal.
“Karena kelebihan pasokan ini harus dibayar dan dananya ini dari APBN, maka beban APBN akan tambah berat. Padahal kita tahu, saat ini APBN sedang mengalami konsolidasi. Artinya, APBN harus kembali lagi ke defisit 3% di tahun ini, sesuai dengan undang-undang,” jelas Abra, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (25/1).
Porsi Energi Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional (2015-2021)
2015 | 4,9% |
2016 | 6,27% |
2017 | 6,66% |
2018 | 8,6% |
2019 | 9,19% |
2020 | 11,27% |
2021 | 12,16% |
Sumber: BPS
Perlu diketahui, dalam kondisi over supply listrik sebesar 1 GW, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun. Sedangkan tanpa adanya skema power wheeling, Indonesia sudah diprediksi akan mengalami over supply listrik hingga 6 sampai 7 GW, akibat adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 GW.
Namun demikian, ketika APBN sudah tidak bisa menanggung biaya kompensasi dari over supply yang terlampau besar, jalan keluar satu-satunya yang dapat diambil adalah dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Keputusan ini jelas bakal memberatkan rakyat, terutama masyarakat dari golongan menengah ke bawah.
“Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata over supply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi over supply selama 2022-2030 mencapai 48 GW sampai 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp144-168 triliun," beber Abra.
Sementara itu, jika penerapan skema power wheeling adalah untuk meningkatkan bauran EBT nasional, Abra menilai pemerintah tidak perlu repot-repot menggunakan skema ini. Sebab, tanpa power wheeling pun pemerintah sudah menggelar karpet merah bagi swasta. Sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT ini, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW, dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara dengan 11,8 GW. "Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%," tegasnya.
Tambahan pendapatan PLN
Berbeda dengan Abra dan Faisal, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, skema power wheeling justru dapat memberikan tambahan pendapatan kepada PLN. Di mana revenue ini berasal dari peningkatan utilisasi jaringan listrik milik PLN.
Mengingat power wheeling memungkinkan jaringan transmisi yang dimiliki oleh pemilik transmisi tenaga listrik digunakan bersama oleh beberapa entitas, dengan membayar suatu "fee" ke badan usaha transmisi. Tarif power wheeling merupakan hasil negosiasi antar pemegang izin tenaga listrik (IUPTL) dan disetujui oleh menteri atau gubernur terkait.
Pada saat yang sama, power wheeling juga dapat meningkatkan permintaan energi terbarukan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam hal ini IPP untuk menyediakan energi terbarukan. Pada akhirnya, skema ini dapat mengakselerasi peningkatan energi terbarukan, serta mengurangi beban investasi PLN untuk pembangkitan energi terbarukan.
Dari sisi masyarakat, pemanfaatan jaringan bersama tenaga listrik ini akan memberikan akses yang lebih mudah untuk mendapatkan pasokan energi terbarukan dengan harga yang kompetitif. “Hal ini dapat mendorong minat pengembangan sumber daya energi terbarukan yang ada, dan tidak perlu bergantung pada permintaan dari PLN sebagai off-taker selama ini,” katanya, dalam keterangannya kepada Alinea.id, belum lama ini.
Terlepas dari itu, Fabby melihat, skema power wheeling ini sebagai konsekuensi dari sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan PLN yang mempunyai hak monopoli dalam penguasaan jaringan transmisi. Pasalnya, setelah skema power wheeling ini diterapkan, jaringan transmisi listrik milik PLN itu dapat dimanfaatkan secara bersama serta memungkinkan IPP energi terbarukan menjual listrik secara langsung kepada konsumen.
Terpisah, Manager Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menjelaskan, peraturan terkait skema power wheeling sebenarnya sudah ada dan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM 1/2015 dan dimutakhirkan dalam Peraturan Menteri ESDM 11/2021. Sehingga tidak tepat jika penerapan skema power wheeling menyalahi konstitusi. Apalagi, usaha jual beli tenaga listrik masih dalam kendali pemerintah, via PLN.
“Tarif power wheeling juga masih perlu disetujui oleh Menteri. Jadi pemerintah Indonesia masih dapat mengelola transaksi power wheeling ini sendiri sesuai konstitusi,” jelasnya, kepada Alinea.id, Rabu (25/1).
Karenanya, jika mengingat realisasi bauran energi nasional yang jauh dari target, yakni 23% di 2025, penerapan power wheeling jelas sangat penting. Sebab, dengan skema ini memungkinkan banyak pihak untuk ikut berpartisipasi dan berinvestasi ke energi terbarukan, sehingga membantu pencapaian bauran.
Selain pemenuhan target bauran energi, kebutuhan listrik yang bersih dari energi terbarukan juga semakin meningkat dan perlu segera dipenuhi. Apalagi, saat ini semakin banyak perusahaan yang sudah masuk dalam kelompok RE100 (Renewable Energy 100%), yang memiliki komitmen untuk memanfaatkan listrik sepenuhnya dari energi terbarukan.
“Seringkali perusahaan ini kesulitan untuk memenuhi listrik energi terbarukan dari sekitar mereka. Sehingga power wheeling dapat menjadi opsi pemenuhan target RE100,” imbuh Deon.
Sebaliknya, jika power wheeling tidak diterapkan, akan sulit bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk memenuhi target. Pada kondisi ini, jelas akan berpengaruh pada keputusan investasi di masa depan. Terlebih, target konsumen dari power wheeling ini biasanya adalah konsumen dengan permintaan pemenuhan listrik dari energi bersih dalam jumlah besar.
“Biasanya yang memanfaatkan ini adalah industri dan bisnis dengan konsumsi energi yang signifikan. Masyarakat sendiri lebih tepat memanfaatkan EBT dari skema pembangkitan sendiri seperti PLTS atap,” ungkap dia.