Dilema emiten saham konsumer di tengah kenaikan harga pangan
Harga komoditas pangan memang telah mengalami kenaikan sejak pertengahan tahun lalu, sebagai akibat dari pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Selain dorongan permintaan masyarakat, kenaikan harga juga terimbas konflik Rusia-Ukraina sejak Februari lalu.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai baik Rusia maupun Ukraina adalah produsen gandum terbesar dunia. Dengan sumbangan gandum dari kedua negara ini hampir sepertiga dari pasokan gandum global.
“Selain itu, Rusia juga merupakan produsen pupuk terbesar dunia,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (1/6).
Dengan tensi politik yang masih tinggi antara kedua negara ini, Bhima menilai jika harga pangan masih belum akan turun dalam waktu dekat. Sebaliknya, harga komoditas-komoditas pangan dan pertanian masih dapat terus meningkat. Ini seiring dengan beberapa negara dunia yang mulai membatasi ekspor pangan dan produk pertanian mereka.
Hingga kini, setidaknya ada kurang lebih 10 negara yang telah menyetop ekspor produk pangan dan pupuk mereka, demi bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Ukraina, Rusia, Turki, Argentina, Mesir, India, dan Malaysia menghentikan ekspor produk pangan mulai dari gandum hingga gula. Sementara Rusia, Cina, Vietnam, serta Kirgistan menyetok pasokan pupuknya untuk dunia.
“Padahal, dengan mulai meredanya pandemi, permintaan akan produk pertanian dan pangan ini sudah mulai normal lagi. Inilah yang kemudian juga menyebabkan harga pangan dunia masih akan terus naik sampai beberapa waktu ke depan,” imbuh Bhima.
Dua sisi koin
Sebenarnya, bagi Indonesia kenaikan harga pangan dunia layaknya dua mata koin. Di satu sisi, tren kenaikan ini menyebabkan harga-harga pangan dan produk pertanian hingga pupuk di dalam negeri juga mengalami disrupsi.
Di sisi lain, sebagai salah satu negara penghasil sumber daya alam (SDA), kenaikan harga komoditas dapat meningkatkan ekspor nasional. Hal ini pada akhirnya mampu mengerek investasi, khususnya di sektor pertanian dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini terlihat juga dari penyaluran kredit di sektor pertanian yang mengalami kenaikan,” tuturnya.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), pada April lalu, Kredit Investasi (KI) tumbuh hingga 7,2% secara tahunan (year on year/yoy), dari bulan sebelumnya yang hanya sebesar 5,0%. Pertumbuhan ini terutama terjadi pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang terakselerasi 5,3%, dari yang sebelumnya 3,6% pada Maret 2022.
Namun demikian, naiknya investasi di sektor pertanian tersebut tidak menjalar pada kinerja emiten-emiten yang menggantungkan produksinya pada komoditas pangan dan pertanian ini, seperti salah satunya adalah saham sektor barang konsumer primer (consumer non-cyclical).
Ketika indeks harga pangan dunia terkerek hingga 33,6% yoy bahkan mencapai rekor tertingginya sepanjang sejarah, harga saham yang berada dalam sektor konsumer primer justru ramai-ramai berguguran.
Hal ini terlihat dari rata-rata harga saham bulanan dari beberapa emiten consumer goods non-cyclical. Seperti harga saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) yang diperdagangan di harga Rp7.350 per lembar saham, dari yang sebelumnya Rp8.500. Kemudian, harga rata-rata bulanan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) ialah Rp5.950 per lembar saham, padahal pada Februari dapat mencapai Rp6.200 per lembar saham.
Pun begitu dengan harga saham PT Uniliver Indonesia Tbk. (UNVR) yang mengalami penurunan harga dari rata-rata di bulan Februari sebesar Rp3.680 per lembar saham menjadi Rp3.660. PT Indosari Nippon Corpindo Tbk. (ROTI) yang merupakan produsen Sari Roti pun mengalami kemerosotan harga saham dari yang sebelumnya Rp1.650 menjadi Rp1.450 di rata-rata akhir perdagangan Maret.
Sementara produsen rokok Sampoerna, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP) pun mengalami nasib serupa. Harga jual saham HMSP pada Maret hanya senilai Rp925 per lembar saham dari Rp965 di bulan sebelumnya.
Pada April lalu, saham PT Mayora Indah Tbk. (MYOR) yang memproduksi beragam makanan ringan dan minuman, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) yang memproduksi pakan ternak dan unggas, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang merupakan produsen CPO juga turut serta dalam tren penurunan harga saham.
Pengamat Saham Reza Priyambada menjelaskan, penurunan harga saham emiten-emiten di sektor kebutuhan primer akan sangat mungkin terjadi. Apalagi, dalam berproduksi perusahaan-perusahaan tersebut masih banyak bergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri.
“Hal inilah yang mendorong saham-saham konsumer tersebut. Kalau harga komoditas tinggi dan mempengaruhi daya beli masyarakat, cost of production (biaya produksi-red) juga akan naik,” katanya kepada Alinea.id, Jumat (3/6).
Kencangkan efisiensi
Karenanya, banyak produsen barang kebutuhan sehari-hari melakukan berbagai upaya untuk menekan dampak lonjakan harga komoditas pangan tersebut. Seperti Unilever Indonesia misalnya, yang menaikkan target penghematan (saving) di semua pengeluaran sebagai langkah mitigasi dampak naiknya harga komoditas pertanian dan energi dunia.
Direktur Consumer Operation PT Unilever Indonesia Tbk Enny Hartati Sampurno mengatakan, jika pada tahun-tahun sebelumnya perusahaan menetapkan target penghematan di kisaran 4%-5% dari pengeluaran, tahun ini target tersebut dinaikkan menjadi 7%-9%.
"Kami juga gencar melakukan internal saving dari semua lini cost,” ungkapnya, kepada Alinea.id belum lama ini.
Di saat yang sama, Unilever juga melakukan pengaturan bahan baku (material setting) dengan tujuan untuk efisiensi produksi dan mengganti penggunaan beberapa bahan baku dengan bahan baku alternatif. Enny bilang, upaya-upaya tersebut merupakan jalan lain agar perseroan tidak membebankan kenaikan harga kepada konsumen.
Beda lagi dengan langkah yang ditempuh Indofood CBP Sukses Makmur. Demi menghadapi dinamika kondisi perekonomian dan geopolitik yang tak pasti, sejak awal tahun produsen mi instan ini masih mempertahankan upayanya untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan volume penjualan, keuntungan dan juga posisi keuangan yang sehat.
Direktur Utama dan Chief Executive Officer ICBP Anthoni Salim mengklaim cara ini efektif untuk tetap meraup untung di tengah sulitnya kondisi ekonomi dunia. Meskipun, laba perusahaan juga mengalami penurunan.
“Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan sehubungan dengan naiknya harga-harga bahan baku sebagai imbas dari situasi ekonomi global, ICBP mengawali tahun 2022 dengan kinerja yang positif,” jelasnya kepada Alinea.id, Selasa (31/5).
Berdasarkan laporan keuangan kuartalannya, laba ICBP tercatat turun 7% menjadi Rp3,53 triliun dari Rp3,82 triliun di tahun sebelumnya. Kinerja tersebut membuat marjin laba usaha tergerus menjadi 20,6% dibandingkan dengan 25,3% di kuartal-I 2021.
“Tapi angka ini masih sehat,” imbuhnya.
Terapkan GCG
Pengamat Saham Reza Priyambada menilai di tengah gejolak harga komoditas pangan ini, satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah dengan menjaga kinerja perusahaan dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Dus, kepercayaan konsumen terhadap perusahaan akan tetap ada dan tidak hilang, meskipun fluktuasi harga saham bisa saja terus terjadi.
“Dan yang paling penting lagi adalah sebisa mungkin perusahaan tidak menaikkan harga produk mereka. Masyarakat kita sangat sensitif dengan harga,” kata dia.
Hal ini pun diamini oleh Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute dan Keuangan Digital Imansyah. Menurutnya, selain dapat mengakibatkan konsumen beralih ke barang lain yang serupa dengan harga jauh lebih terjangkau, kenaikan harga juga dikhawatirkan dapat menyebabkan inflasi kian merangkak naik.
“Angka inflasi yang berlebihan akan menimbulkan sentimen negatif bagi investor saham,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (3/6).
Terlepas dari hal tersebut, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, jika menilik kinerja beberapa emiten konsumer primer seperti ICBP, INDF, UNVR, MYOR, dan JAPF pada kuartal-I 2022 kinerja saham perusahaan-perusahaan tersebut masih berpotensi untuk terus mengalami kenaikan sampai beberapa waktu ke depan.
Sebab, perusahaan-perusahaan penyedia kebutuhan sehari-hari dan pupuk tersebut masih kompak mencatatkan laba di tiga bulan pertama 2022.
Seperti ICBP yang masih laba Rp3,53 triuliun dan INDF Rp2,36 triliun, naik 36% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp1,73 triliun. Pada periode yang sama, UNVR juga mampu mengembangkan laba bersih perseroan hingga 19% menjadi Rp2 triliun.
Sementara itu, meski mengalami penyusutan, MYOR masih dapat membukukan laba tahun berjalan yang diatribusikan pada entitas induk sebesar Rp306 miliar atau turun 62,81% dari periode sama di tahun sebelumnya yang mencapai Rp822,87 miliar. Hal yang sama juga dialami emiten unggas dan pakan ternak JAPF yang mengalami penurunan laba bersih 29,7% secara tahunan menjadi Rp604 miliar.
“Ditambah dengan semakin kuatnya perekonomian nasional dan mulai tumbuhnya daya beli masyarakat, seiring Covid-19 yang semakin terkendala, kinerja keuangan perusahaan-perusahaan tersebut bisa semakin bagus. Ini jelas akan berpengaruh pada harga sahamnya,” kata Nafan, kepada Alinea.id, Kamis (2/6).
Sementara untuk kinerja INDF sudah sesuai ekspektasi, yang mana peningkatan laba itu didorong oleh cerahnya kinerja ICBP. “Selain itu, kinerja INDF juga ditopang oleh tingginya harga komoditas CPO, yang mendukung peningkatan kinerja INDF melalui anak usaha di sektor CPO,” imbuhnya.
Rekomendasi untuk investor
Dengan kondisi ini, Analis Saham dari Kanaka Hita Solvera Andika Cipta Labora memperkirakan, hingga akhir 2022, kinerja ICBP dan INDF dapat tumbuh 5%-10% lagi. Hal ini didorong pula oleh semakin membaiknya daya beli masyarakat pascapagebluk. Dengan membaiknya daya beli tersebut, penjualan ICBP dan INDF praktis dapat terkerek.
“Tapi, harga gandum yang masih terus naik ini dapat menipiskan margin keuntungan ICBP yang pada akhirnya akan berpengaruh juga ke INDF,” jelasnya kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Karena itu, Andhika lantas memberikan rekomendasi ICBP buy on weakness dengan support di Rp7.750 dan target penguatan di Rp9.500. Untuk INDF, pihaknya merekomendasikan buy on weakness dengan support Rp6.000, dengan target penguatan di Rp7.000.
Di sisi lain, tambah dia, investor juga dapat mencermati saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan rekomendasi buy pada level Rp4.700 sampai Rp4.730, dengan target penguatan di Rp4.900 atau Rp5.000 dan stop loss di bawah Rp4.650 atau Rp4.500.
Terpisah, Analis BRI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto mengatakan, sebagai perusahaan yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor gandum, harga gandum yang masih terus melanjutkan tren penguatan akan berdampak buruk pada laba Mayora Indah Tbk. Bagaimana tidak, dalam risetnya, Natalia memperkirakan jika gandum berkontribusi sebesar 16% terhadap beban pokok penjualan atau cost of good sales (COGS) produsen Kopiko ini.
“Harga gandum yang lebih tinggi akan berdampak negatif pada laba MYOR dan memberikan tekanan pada harga sahamnya,” kata dia, Senin (23/5).
Oleh karena itu, pihaknya merekomendasikan beli saham MYOR dengan target harga Rp2.000. Selain itu, dia juga merekomendasikan beli saham emiten konsumer lainnya dari sub sektor obat dan jamu yakni PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dengan target harga Rp1.900 dan saham PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) dengan target harga Rp1.100 per saham.
Sementara Analis dari Erdikha Elit Sekuritas Hendri Widiantoro, merekomendasikan investor untuk membeli saham JPFA dengan rekomendasi buy on weakness di harga Rp1.375 hingga Rp1.460.
“Meskipun secara jangka pendek, pergerakan JPFA lebih ke arah fase sideways, ini terlihat dari indikator bollinger band yang kian menyempit,” kata Hendri, kepada Alinea.id, Jumat (3/6).