Penaikkan suku bunga Bank Indonesia menjadi 6% di luar prediksi pelaku pasar diperkirakan memiliki dampak yang beragam.
Keputusan BI ini meleset dari perkirakaan ekonom yang menyatakan bahwa suku bunga acuan BI 7-days reverse repo rate (BI 7DRRR) akan ditahan tetap berada di level 5,75%.
"Keputusan BI untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin hari ini menuju level 6% memang di luar ekspektasi pasar," ujar Pendiri dan Direktur Jagartha Advisor FX Iwan saat dihubungi Alinea.id, Kamis (14/11).
Menurut Iwan, langkah BI tersebut diambil setelah adanya rilis data neraca perdagangan yang menunjukkan defisit cukup besar senilai US$1,02 miliar pada Oktober 2018. Pekan lalu, data neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) juga semakin lebar.
"Oleh karena itu memang diperlukan langkah konkret oleh BI untuk menjaga nilai tukar dan juga ekspektasi perkembangan kondisi global. Masih terdapat potensi the Fed untuk menaikkan suku bunga di bulan Desember," jelasnya.
Kesimpulannya, sentimen positif dan apresiasi atas langkah proaaktif BI untuk menjaga stabilitas. "Iya, ini langkah tepat, saat ini menunjukkan BI sudah ahead the market dalam mengantisipasi perkembangan kondisi domestik dan global," terangnya.
Senada, Direktur Riset dan Investasi Kiwoom Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus menilai keputusan BI menaikkan BI 7-DRRR sebesar 25 bps menjadi 6% adalah langkah tepat. Namun, sejujurnya hal inilah yang seharusnya dilakukan oleh BI dari bulan lalu ketika rupiah berada di atas Rp15.000 per dollar AS.
"Pasalanya, akibat pengumuman BI7DRR, rupiah kita saat ini sedang bergerak menuju penguatan menjadi Rp14.675 per dollar AS dari sebelumnya dibuka Rp14.753 per dollar AS. Apabila BI mau menggunakan strategi a head curve dan pre emtive serta front loading, BI harus selangkah di depan," ujar Nico.
Dia memberikan alasan, selama ini BI hanya bereaksi atas apa yang terjadi lalu memutuskan, bukan bertindak terlebih dahulu. "Menurut kami hal ini sesuatu yang baik karena BI tengah bersiap menghadapi kenaikkan tingkat suku bunga The Fed pada bulan Desember nanti," katanya.
Nico mempertanyakan alasan keputusan penaikkan suku bunga ini di tengah rupiah menguat ke bawah Rp15.000 per dollar AS. "Tentu hal ini menjadi pertanyaan semua pihak. Namun kembali lagi, kita harus percaya langkah-langkah yang dilakukan oleh BI," terangnya.
Terpisah, Analis Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi mengatakan, hanya tiga dari 31 ekonom memprediksi kenaikan suku bunga BI 7-DRRR.
"BI melihat rendahnya inflasi akan berlanjut hingga akhir 2018 sekitar 3,2%. BI juga berupaya memproyeksikan neraca pembayaran akan berada di level 2,5% dari PDB di tahun 2019 dengan dua harapan PDB naik atau rupiah naik," papar Lanjar.
Pada kesempatan berbeda, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga mengomentari soal kenaikan BI7DRR akan beraneka ragam dampaknya.
"Jika bunga naik terus maka sektor riil akan terkontraksi dan pertumbuhannya terhambat. Selain itu, ekspektasi pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5%-5,1% hingga 2019," ujar Bhima.
Adapun pengusaha akan cenderung hati-hati untuk meminjam uang ke bank. Di sisi yang lain kenaikan bunga menyebabkan risiko kredit macetnya meningkat, meskipun efek ke sektor riil baru terlihat 3-5 bulan ke depan.
"Era bunga mahal juga bakal menekan dari sisi likuiditas bank. LDR bank cukup tinggi pada kisaran 94% dan nantinya bank akan segera adjust bunga simpanannya tapi konsekuensi besarnya cost of fund tekan marjin," jelasnya.
Namun demikian, tanpa kenaikan bunga BI bulan November yang mendahului pengumuman kenaikan Fed rate Desember nanti (pre emptives) maka modal asing di Indonesia bisa keluar.
"Ibarat maju mundur kena. Jadi saran saya ditengah bunga yang makin tinggi, BI dan pemerintah harus koordinasi jaga daya beli, jaga kepercayaan investor dan pelaku usaha lokal. Beri banyak insentif fiskal," pungkasnya.