Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. akhirnya memberikan penjelaskan terkait dugaan simsalabim pendapatan tahun buku 2018.
Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal memberikan penjelasan kepada PT Bursa Efek Indonesia terkait perjanjian kerja sama (PKS) antara perseroan dengan PT Mahata Aero Teknologi. Secara keseluruhan, manajemen GIAA memberikan 10 poin penjelasan terhadap otoritas pasar modal.
Kerja sama yang dimaksud adalah penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan pengelolaan hiburan dalam pesawat, serta manajemen konten. Periode PKS berlangsung selama 15 tahun dengan kompensasi hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hak pengelolaan layanan senilai US$241,94 juta untuk pesawat Garuda, Citilink, dan Sriwijaya.
"Alokasi slot ditentukan berdasarkan aktual pendapatan iklan yang didapat," urainya dalam keterbukaan informasi di BEI, Senin (6/5).
Skema pembayaran dilakukan setelah penandatanganan kontrak. Mahata diwajibkan untuk membayar alokasi slot kepada Citilink sesuai dengan pesawat terhubung.
Dalam laporan keuangan emiten bersandi saham GIAA tahun buku 2018, transaksi tersebut dicatatkan sebagai piutang senilai US$233,14 juta. Perjanjian diteken pada 31 Oktober 2018 yang kemudian diamandemen pada 26 Desember 2018.
Mahata nantinya membayar biaya kompensasi pemasangan peralatanan layanan konektivitas untuk 50 pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG, dan 10 pesawat Boeing 777 senilai US$131,94 juta. Kemudian pembayaran kompensasi atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 18 pesawat A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG, 1 pesawat Boeing 737-800 MAX, dan 10 pesawat Boeing 777 senilai US$80 juta.
Ternyata, kerja sama itu menimbulkan tanda tanya dari dewan komisaris sekaligus perwakilan pemegang saham perseroan. Dua komisaris GIAA yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria bersikap tidak mau menandatangani laporan keuangan perseroan 2018. Keduanya yang mengempit kepemilikan 28,01% saham Garuda itu tidak menandatangani laporan keuangan tahun 2018.
Mahata yang baru berumur 11 bulan dinilai belum memiliki rekam jejak di dalam bisnis penerbangan. Manajemen Garuda menjelaskan bahwa Mahata merupakan perusahaan rintisan (start-up) yang telah memiliki kontrak kerja sama dengan Luthfansa System, Luthfansa Tecnic, dan Inmarsat.
Manajemen Garuda juga memandang Mahata didukung oleh induk perusahaan Global Mahata Group yang memiliki 10.000 karyawan dengan nilai total bisnis US$640,5 juta setara Rp8,96 triliun.
"Hanya Mahata yang menawarkan konsep zero revenue sharing," ujar Fuad Rizal. "Kerja sama dengan Mahata memiliki tujuan untuk memaksimalkan ancillary revenue dan meminimalisir biaya konektivitas dan juga biaya in-flight entertaninment," imbuhnya.
Pemasangan wifi on board gratis yang merupakan kerja sama dengan Mahata tersebut disebut dapat membantu Garuda mengoptimalkan pendapatan iklan. Hal ini berdasarkan total jumlah penumpang Garuda sebanyak 24 juta penumpang pada 2017.
Lebih lanjut dijelaskan, adanya perjanjian kerja sama ini tak membatasi Garuda Grup untuk mengubah atau menggantinya dengan pesawat lain. Dari total 225 armada pesawat yang dioperasikan Garuda Grup, hanya 203 unit pesawat yang diperjanjikan dalam kerja sama ini.
Sebagai informasi, maskapai penerbangan pelat merah Garuda Indonesia berhasil membalik kinerja menjadi laba dari rugi triliunan rupiah. Emiten BUMN bersandi saham GIAA itu akhirnya meraup laba senilai US$809.846 setara dengan Rp11,3 miliar (kurs Rp14.000 per dolar Amerika Serikat) sepanjang tahun 2018.
Padahal, pada tahun sebelumnya maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia itu menderita kerugian senilai US$216,5 juta setara Rp3,03 triliun.
Pada perdagangan Senin (6/5) dikutip dari Bloomberg, saham GIAA ditutup merosot 2,33% sebesar 10 poin ke level Rp420 per lembar. Kapitalisasi pasar saham GIAA mencapai Rp10,87 triliun dengan imbal hasil mencapai 53,28% dalam setahun terakhir.