

Disunat dan dioplos: Kenapa MinyaKita dipermainkan produsen?

Pemerintah mulai menarik produk-produk MinyaKita kemasan 1 liter "bermasalah" dari peredaran. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan langkah itu diambil setelah Satgas Pangan Polri menemukan produk Minyakita yang dikurangi takarannya, dijual lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah, dan dioplos.
"Produk (MinyaKita) yang di lapangan itu sudah kita mulai tarik supaya produk yang tidak sesuai standar itu tidak lagi beredar," kata Budi kepada wartawan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, Senin (10/3).
Dugaan rekayasa terhadap isi MinyaKita mulanya terendus saat Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menggelar inspeksi mendadak (sidak) ketersediaan sembilan bahan pokok di Pasar Jaya Lenteng Agung, Jakarta Selatan, beberapa hari sebelumnya.
Ditemani Satgas Pangan, Amran menemukan MinyaKita kemasan 1 liter yang isinya hanya kisaran 750 sampai 800 milimeter (ml). Dari hasil penyelidikan, polisi menemukan produk MinyaKita yang isinya disunat di sejumlah lokasi lainnya. Selain itu, ada pula produk MinyaKita yang isinya tak murni minyak goreng.
Saat ini, Minyakita diproduksi oleh tiga badan usaha yakni PT Artha Eka Global Asia (Aega), koperasi KTN, dan PT TI. Menurut Mendag, PT Aega diduga mengurangi takaran Minyakita. Pabrik perusahaan itu ada di Karawang, Jawa Barat.
"Tim Satgas Polri dan Kemendag sedang berada di Karawang untuk menindaklanjuti temuan ini. Kami masih menunggu laporan dari tim di lapangan," kata Budi.
Pertama kali diperkenalkan pada 6 Juli 2022, MinyaKita merupakan produk minyak curah kemasan yang diinisiasi Zulkifli Hasan, Mendag sebelum Budi. Sasaran utama produk tersebut adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah serta pelaku usaha mikro.
Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai kasus manipulasi takaran MinyaKita dan praktik penjualan di atas harga eceran tertinggi (HET) adalah ironi di tengah upaya pemerintah menghadirkan minyak goreng murah bagi rakyat.
"Situasi ini mencederai hak masyarakat atas pangan yang terjangkau. Praktik curang ini tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah kenaikan harga crude palm oil (CPO), bahan baku minyak goreng, yang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan oknum yang cari untung sendiri," kata Achmad kepada Alinea.id, Senin (11/3).
Achmad mengatakan ketika harga CPO melampaui angka keekonomian, produsen Minyakita menghadapai dilema, yakni antara mengikuti ketentuan HET atau menyesuaikan harga demi keberlangsungan produksi.
"Sayangnya, sebagian memilih jalan pintas dengan mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET. Ini bukti bahwa regulasi harga yang tak adaptif dengan realitas pasar membuka ruang bagi praktik nakal," kata Achmad.
Faktor lainnya yang mendorong produsen merekayasa ialah produk ialah rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien. Achmad menilai produsen minyak goreng harus melewati banyak tangan hingga sampai ke konsumen, mulai dari distributor besar, distributor kecil hingga pengecer.
"Praktik ini semakin memburuk dengan lemahnya tindakan hukum. Fakta bahwa ada produsen MinyaKita yang beroperasi tanpa izin edar atau SNI adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah. Jika ditelisik, persoalan MinyaKita adalah cermin dari tata kelola pangan nasional yang rapuh," jelas dia.
Alih-alih didistribusikan langsung ke pasar rakyat atau koperasi konsumen oleh pemerintah, menurut Achmad, MinyaKita banyak dikendalikan oleh tangan-tangan swasta yang tidak seluruhnya berpihak kepada rakyat. Walhasil, pemerintah gagal memastikan bahwa MinyaKita sampai kepada sasaran yang tepat.
Terlebih, kebijakan penetapan HET yang kaku dan tidak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan biaya produksi. Akibatnya, muncul fenomena "menyelamatkan bisnis" dengan mengorbankan konsumen. "Padahal tanggung jawab sosial seharusnya menjadi prioritas dalam penyediaan pangan pokok bersubsidi," imbuhnya.
Dalam skandal MinyaKita, menurut Achmad, pemerintah tidak cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku. Perombakan besar- besaran dalam tata kelola produksi dan distribusi minyak goreng rakyat juga harus dilakukan.
"Pertama, pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam terhadap HET MinyaKita. Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan agar realistis. Namun, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada konsumen atau pelaku usaha mikro agar mereka tetap memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen," tuturnya.
Kedua, pemerintah harus memotong rantai distribusi panjang yang membuka celah bagi praktik curang. Menurut Achmad, MinyaKita harus didistribusikan melalui saluran resmi dan dikontrol negara, seperti Bulog, koperasi atau pasar rakyat yang diawasi langsung pemerintah. Selain itu, sistem distribusi harus berbasis teknologi dengan digitalisasi logistik dan pelacakan stok secara rutin.
"Ketiga, negara harus melakukan penegakan hukum tanpa kompromi. Produsen atau distributor yang terbukti mengurangi takaran atau menjual di atas HET harus dicabut izinnya, disita asetnya, dan diumumkan kepada publik," kata Achmad.
Achmad menilai penegak hukum, khususnya Satgas Pangan, perlu diberikan kewenangan lebih luas dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan ketat di seluruh distribusi MinyaKita. Selain itu, perlu penguatan kapasitas produksi MinyaKita yang berbasis koperasi atau usaha mikro lokal agar distribusi tidak dimonopoli segelintir perusahaan besar.
"Pemerintah harus membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data. Masyarakat harus dapat dengan mudah melaporkan praktik kecurangan di pasar dan mendapatkan respons cepat. Transparansi harga dan volume MinyaKita di pasar harus menjadi informasi publik yang bisa diakses semua orang. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang bisa memperkuat pengawasan negara," kata Achmad.

Koreksi kebijakan
Senada, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, menduga manipulasi takaran MinyaKita terjadi karena biaya pokok produksi sudah melampaui HET. Harga CPO, dalam negeri selama 6 bulan terakhir sekitar Rp15.000-16.000 per kg.
Dengan angka konversi CPO ke minyak goreng kisaran 68,28% dan 1 liter setara 0,8 kg, maka untuk memproduksi MinyaKita seharga Rp15.700/liter, harga CPO maksimal Rp13.400/kg.
"Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi," kata Khudori kepada Alinea.id, Minggu (9/3).
Dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp13.500/liter, maka produsen sudah pasti merugi. "Pengusaha mana yang kuat jika terus merugi? Usaha mana yang sustain bila harus jual di bawah harga produksi," imbuh dia.
Menurut Khudori, Minyakita--dulunya bernama Minyak Goreng Rakyat--diproduksi dengan menggunakan bahan baku yang dikenai skema domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Namun, kelemahan skema DMO adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng.
"Ketika harga CPO naik, otomatis harga MinyaKita juga naik. Sebaliknya, ketika harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tidak otomatis turun. Jika pun terjadi penurunan, biasanya amat lambat. Selain itu, beleid ini juga potensial menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara," ujar dia.
Merujuk data Kementerian Perdagangan, realisasi DMO CPO selalu melebihi kebutuhan, yakni 250 kiloliter per bulan. Saat ini DMO hanya untuk produksi MinyaKita, sedangkan minyak goreng curah tidak lagi menggunakan DMO CPO. Dalam situasi seperti ini, semestinya MinyaKita melimpah.
"Masalahnya, tatkala harga minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan premium naik seiring kenaikan harga CPO, amat mungkin terjadi migrasi konsumen. Seiring penurunan daya beli, mereka yang semula mengonsumsi minyak curah dan minyak goreng kemasan bisa beralih ke MinyaKita. Jika ini benar, migrasi konsumen ini juga bisa berkontribusi kepada kenaikan harga MinyaKita," jelas dia.
Ihwal harga di atas HET, menurut Khudori, itu terjadi karena produsen menahan distribusi dan juga rantai distribusi yang panjang. Versi pemerintah, distribusi MinyaKita dari produsen ke distributor I (D1) dijual seharga Rp13.500/liter, sedangkan D1 ke D2 seharga Rp14.000/liter, D2 ke pengecer Rp14.500/liter.
"Dan pengecer ke konsumen Rp15.700/liter. Jadi, tidak ada D3 dan D4. Agar distribusi tidak panjang, sebaiknya libatkan BUMN (BULOG dan ID Food) dalam distribusi. Dengan demikian, kontrol pemerintah lebih mudah," ujar dia.
Khudori mengatakan jika tidak ada koreksi kebijakan dari tata kelola MinyaKita, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, produsen menjual MinyakKita sesuai HET, namun dengan kualitas yang buruk. Kedua, produsen tetap memproduksi MinyakKita sesuai kualitas, tetapi menjual di atas HET.
"Ke depan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga. Kalau hendak mensubsidi MinyaKita untuk kelompok miskin/rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai. Uang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli yang lain. Cara ini tidak mendistorsi harga, selain juga lebih tepat sasaran," jelasnya.


Berita Terkait
Kenapa produsen 'sunat' isi MinyaKita? Kemasan 1 liter berisi 750 mililiter
Jokowi masih punya PR tangani masalah pangan
Kejagung panggil Airlangga Hartarto soal kasus mafia minyak goreng
Jual bundling MinyaKita, izin usaha akan dicabut!

