close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Robert Pakpahan mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta/AntaraFoto
icon caption
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Robert Pakpahan mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta/AntaraFoto
Bisnis
Sabtu, 31 Maret 2018 15:00

Ditjen Pajak tunda pencantuman NIK di faktur pajak

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2017, seharusnya peraturan tersebut berlaku mulai 1 April 2018.
swipe

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menunda pemberlakukan kewajiban pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK), dalam faktur pajak (e-faktur) bagi pembeli orang pribadi yang tidak memiliki NPWP. 

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2017, seharusnya peraturan tersebut berlaku mulai 1 April 2018. Tetapi dengan pertimbangan perlunya kesiapan infrastruktur dan memperhatikan kesiapan Pengusaha Kena Pajak. Akhirnya, Ditjen Pajak memutuskan menundanya. Hal itu diatur Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2018 tanggal 29 Maret 2018, disebutkan penuntaan berlaku sampai dengan batas waktu yang akan ditetapkan kemudian. 

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyampaikan, pelaku usaha merasa kesulitan jika aturan tersebut diberlakukan. "Kita berbincang dengan pemilik pabrik, mereka mengalami kesulitan. Di down level dari pabrik mempunyai karakter yang berbeda. Daripada menimbulkan sesuatu, lebih baik kita petakan dulu kondisinya," ujar Robert, Sabtu (31/3). 

Selama ini, perusahaan yang sudah melakukan e-faktur terbiasa dengan kebijakan yang saat ini berlaku. Padahal seharusnya e-faktur disertakan dengan NPWP. Setidaknya NIKnya ditulis. Hal ini diperlukan untuk para pembeli yang akan mengkreditkan e-faktur tersebut. 

Kebijakan ini merupakan wujud nyata pemerintah, mendengarkan masukan masyarakat dan konsisten dalam menjaga situasi yang kondusif bagi dunia usaha. 

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan persoalannya memang terjadi pada pengusaha, dan kebijakan ini sendiri bersifat baik dan dibutuhkan. 

Dari fakta yang ditemuinya, banyak pembeli yang nakal, tidak mau ketahuan indentitasnya supaya tidak bisa diketahui usahanya. Selain itu, pemerintah sendiri memiliki sistem yang tidak praktis dengan meminta NIK dan NPWP kepada setiap pembeli. 

"Alangkah tidak praktisnya meminta NIK/NPWP ke tiap pembeli lalu mengiputnya. Tugas ekstensifikasi malah digeser jadi beban PKP (Perusahaan Kena Pajak Penjual). Jika PKP tersebut menjalankan aturan, maka yang terjadi justru pembeli pindah ke penjual yang belum minta NIK/NPWP. Akibatnya ada disinsentif bagi yang patuh," terang Yustinus , Sabtu (31/3) kepada Alinea.id melalui pesan singkatnya. 

Selain itu, dari sisi perekonomian, kebijakan dalam jangka pendek menimbulkan shortage (berkurang), lantaran orang takut konsumi yang pada akhirnya berpengaruh pada output perekonomian. 

Dengan demikian, tanpa persiapan dan kesiapan akan menjadi sulit. Karena itu, ada baiknya pemerintah melakukan integrasi NPWP dan NIK. Ada sistem electronic data capture yang memungkinkan input otomatis NIK/NPWP ke dalam administrasi PPN. Ekstensifikasi yang masif, memastikan seluruh pengusaha penjual memang sudah PKP dan tertib. Dengan begitu,  tidak ada ruang beralih ke black market. 
 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan