Masalah hukum yang menjerat Bank Indonesia (BI) akibat dugaan pelanggaran integritas di lingkungan internalnya, berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan kredibilitas kebijakan moneter.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto mengatakan isu ini dapat merusak kepercayaan pelaku pasar terhadap bank sentral.
“Meskipun kasus dugaan korupsi tersebut tidak berkaitan langsung dengan kebijakan moneter, jika tidak ditangani dengan transparan, maka kredibilitas BI sebagai pengelola kebijakan moneter akan terancam,” ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (7/12).
BI diduga menyalahgunakan dana corporate social responsibility (CSR). Alih-alih digunakan untuk membangun fasilitas sosial atau publik, anggaran tersebut justru dipakai untuk kepentingan pribadi.
Kasus ini melibatkan sejumlah anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diduga menerima aliran dana CSR BI untuk kepentingan politik di daerah pemilihan (dapil). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menggeledah kantor BI dan memeriksa beberapa anggota Komisi XI DPR.
Mengancam independensi
Eko menyebut penyelewengan ini dikhawatirkan akan mengganggu independensi BI sebagai lembaga moneter, yang dapat berimplikasi langsung pada pengambilan kebijakan moneter di Indonesia. Pasalnya, reputasi BI sebagai lembaga moneter yang kredibel sangat penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi.
“Sejauh ini, stabilitas moneter masih terjaga karena proses hukum yang berlangsung belum berdampak langsung pada pasar. Namun, jika kasus ini berkembang menjadi skandal besar tanpa penyelesaian yang jelas, risiko terhadap stabilitas ekonomi akan meningkat,” tambahnya.
Oleh karena itu, kata Eko, BI sebagai lembaga publik harus transparan dan menghormati proses hukum yang berjalan. Transparansi sangat penting untuk menjaga reputasi BI di mata publik dan pelaku pasar.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menegaskan BI merupakan lembaga independen yang wajib bebas dari intervensi politik. Pasal 7 UU No. 23 Tahun 1999 mengatur tugas utama BI adalah menjaga kestabilan nilai rupiah melalui kebijakan moneter, pengaturan sistem pembayaran, dan pengawasan bank.
Namun, penggunaan dana BI untuk CSR yang ditujukan kepada anggota DPR disebut melampaui kewenangan BI dan melanggar undang-undang. Bahkan dinilai mengancam independensi BI.
“Pemberian dana CSR BI kepada anggota Komisi XI DPR masuk kategori suap dan politisasi lembaga moneter. Ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam independensi BI dalam menetapkan kebijakan moneter,” ujar Anthony kepada Alinea.id, Senin (6/12).
Ia menambahkan fungsi pengawasan DPR terhadap BI menjadi bias akibat adanya konflik kepentingan. Apalagi, pemberian dana CSR hanya untuk anggota Komisi XI DPR.
Menurutnya, keterlibatan lembaga moneter dalam kasus korupsi akan berdampak terhadap kebijakan moneter. Pengambilan kebijakan moneter berisiko menjadi tidak profesional dan rentan terhadap tekanan politik. Beberapa dampak potensial yang dapat terjadi, seperti adanya bias dalam kebijakan pasar obligasi.
Salah satu bentuk kebijakan moneter yang bisa terpengaruh adalah kebijakan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dan praktik debt switching alias penukaran surat utang lama dengan yang baru.
"Praktik ini seharusnya hanya dilakukan melalui lelang terbuka. Namun, jika BI kehilangan integritas akibat intervensi politik, kebijakan seperti ini bisa disalahgunakan untuk mendukung kepentingan tertentu tanpa mekanisme pasar yang transparan," tuturnya.
Catatan Alinea.id, kasus korupsi pada lembaga moneter yang terjadi di negara lain dapat berdampak pada stabilitas ekonomi, inflasi, dan nilai tukar. Salah satunya kasus di Argentina di 2001. Saat itu, krisis keuangan Argentina diperparah oleh dugaan korupsi di bank sentral yang menyebabkan kebijakan moneter menjadi bias. Akibatnya, inflasi melonjak, nilai tukar mata uang Argentina yaitu peso terhadap dolar Amerika Serikat (AS) jatuh, dan kepercayaan terhadap bank sentral runtuh.
Kemudian di Nigeria pada 2014 saat Gubernur Bank Sentral Nigeria, Lamido Sanusi, diberhentikan setelah mengungkap dugaan korupsi terkait pengelolaan pendapatan minyak negara. Penyelidikan tersebut menyebabkan ketidakpastian di pasar keuangan dan mengganggu kebijakan moneter, terutama dalam menjaga stabilitas nilai tukar naira.
Di Malaysia, pada 2015 lalu dihebohkan dengan skandal 1MDB yang melibatkan Bank Negara Malaysia hingga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap sistem keuangan negara. Meski tidak berdampak langsung pada kebijakan moneter, kasus ini membuat pelaku pasar menarik investasi dan menyebabkan depresiasi ringgit.