close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sebagian besar pusat perbelanjaan menggunakan dompet elektronik sebagai metode untuk pembayaran. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Sebagian besar pusat perbelanjaan menggunakan dompet elektronik sebagai metode untuk pembayaran. Alinea.id/Oky Diaz.
Bisnis
Jumat, 06 September 2019 20:19

Dugaan monopoli OVO di lahan parkir

KPPU sedang menyelidiki tentang dugaan monopoli dompet elektronik OVO di gedung milik Lippo Group.
swipe

Pengendara mobil yang hendak keluar tempat parkir Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, harus menyiapkan dompet elektronik (e-wallet) untuk membayar biaya parkir. Salah seorang pengendara, Handoyo Gunawan, terlihat kikuk ketika hendak sampai mesin transaksi pembayaran parkir elektronik di ujung gerbang keluar parkir.

“Saya terpaksa harus mengeluarkan mobil dari jalur (antrean keluar mobil), untuk sekadar download dan isi saldo OVO dulu,” kata Handoyo saat ditemui Alinea.id di tempat parkir Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).

Di pusat perbelanjaan itu, sebenarnya ada dua mesin pembayaran parkir, satu untuk sistem pembayaran dengan OVO atau member card dan pembayaran nontunai selain OVO. Akan tetapi, Handoyo mengaku tak melihat tanda yang menunjukkan mesin mana yang bisa menerima pembayaran nontunai selain OVO.

"Tahu gitu kan dari tadi saya keluar dari (jalur menuju) mesin sebelahnya," katanya.

Pengemudi lainnya, Iwank Kurnia, mengeluhkan pula kesulitan menggunakan dompet elektronik untuk bayar biaya parkir. Dia mengatakan, kerap panik karena tempat parkir yang minim sinyal, dan terkadang lupa mengisi daya baterai telepon genggamnya.

"Saya pernah waktu itu, baterai HP benar-benar habis, jadi terpaksa mundur dulu dari antrean parkir. Terus numpang nge-charge sama penjaga titip helm di sini. Pas sudah nyala, sinyalnya juga susah banget," ujar Iwank di lokasi yang sama.

Iwank maupun Handoyo sepakat, sistem pembayaran seperti ini merepotkan dan membuang waktu. Iwank berharap, opsi pembayaran bisa dibuat tak terbatas.

"Kalau bisa ada juga untuk bayar tunainya di satu tempat, jadi enggak perlu jauh-jauh cari mesin parkir manual yang lain," ucap Iwank.

Namun, pengunjung lainnya, Melly Jenny malah merasa diuntungkan dengan sistem pembayaran parkir menggunakan dompet elektronik. Dia menggunakan dompet elektronik OVO, sama seperti yang disediakan pengelola parkir.

"Malah senang saya bayar pakai OVO. Praktis dan ada cashback atau point-nya," ujar Melly ditemui di lokasi yang sama.

Melly mengatakan, keuntungan cashback yang sering diterimanya bahkan mencapai 50% biaya normal parkir di pusat perbelanjaan tersebut. "Saya pernah bayar parkir itu Rp4.000, tiba-tiba pas dicek, cashback-nya sampai Rp2.000," katanya.

Dugaan monopoli

Pengunjung menempelkan dompet elektronik OVO ke mesin pembayaran parkir. Alinea.id/Soraya Novika.

Penggunaan dompet elektronik untuk transaksi, termasuk membayar biaya parkir, sudah dilakukan di beberapa tempat, seperti hotel dan pusat perbelanjaan. Transaksi ini perlahan menghapus sistem pembayaran konvensional, yang menggunakan uang tunai.

Akan tetapi, beberapa orang masih mengeluhkan sistem pembayaran parkir seperti itu. Selain itu, beberapa waktu lalu, ada dugaan monopoli dari salah satu dompet elektronik, yakni OVO di pusaran Lippo Group. Namun, pihak OVO memberi pembelaan.

Menurut Kepala Humas OVO Sinta Setyaningsih, antara OVO dan penyedia lahan parkir tak pernah ada perjanjian yang membatasi kerja sama dengan penyedia jasa layanan pembayaran lain. Sinta mengatakan, selama ini OVO sebagai platform pembayaran digital yang selalu mengedepankan ekosistem persaingan bisnis yang sehat, kolaboratif, inklusif, dan terbuka.

"Kami siap berdiskusi dengan pemangku kepentingan terkait setiap keluhan yang masuk," ucapnya saat dihubungi, Kamis (5/9).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencium adanya dugaan monopoli sistem pembayaran parkir ini. Sebab, sistem pembayaran di nyaris seluruh pusat perbelanjaan milik Lippo Group, mewajibkan pengunjung membayar parkir dengan dompet elektronik OVO.

Menurut komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih, OVO berpotensi melanggar aturan persaingan usaha yang sehat. Namun, menurutnya, KPPU baru pada tahap penelitian dan belum mampu menyimpulkan dugaan tersebut.

"Di tempat-tempat parkir gedung milik Lippo tampak hanya memberi keuntungan bagi OVO saja. Ada unsur pemaksaan, yaitu antara yang bayar cash dan OVO dibedakan. Jadi mau tidak mau, konsumen didorong untuk pakai OVO," ujar Guntur ketika dihubungi, Kamis (5/9).

Sejauh proses penyelidikan, menurutnya, pihak KPPU menyisir hingga 150 pusat perbelanjaan milik Lippo Group di seluruh Indonesia. Guntur mengatakan, masalah ini mengemuka berdasarkan laporan masyarakat yang mengaku keberatan dengan perubahan mendadak sistem pembayaran parkir di sejumlah pusat perbelanjaan itu.

Dari banyaknya aduan yang diterima, KPPU menduga, OVO melanggar kebijakan terkait usaha yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di sisi lain, komisioner KPPU Kodrat Wibowo mengungkapkan temuan lainnya dari penyelidikan tersebut. "Ada temuan kerja sama dengan non-OVO diperluas," ujar Kodrat saat dihubungi, Kamis (5/9).

Dia mengatakan, perluasan yang dimaksud adalah beberapa gedung milik Lippo mulai terbuka pada opsi nontunai lainnya. "Tapi itu tetap tidak menghentikan proses kajian atau penelitian dari Satgas KPPU," ucapnya.

Lebih lanjut, Kodrat menjelaskan, pada Senin (9/9) pihaknya akan menggelar rapat koordinasi yang memperdalam temuan tersebut, beserta langkah selanjutnya yang akan diambil KPPU.

Permainan bisnis biasa

Mesin pembayaran parkir elektronik di sebuah pusat perbelanjaan. Alinea.id/Soraya Novika.

Dihubungi terpisah, Ketua Indonesia Parking Association (IPA) Rio Octaviano menilai, yang dilakukan OVO bersama Lippo Group merupakan permainan bisnis biasa. Hal itu, kata dia, wajar terjadi di nyaris seluruh perusahaan besar.

"OVO ini kan sebagai anak perusahaan Lippo Group, tentu akan lebih diprioritaskan. Bahkan ada perusahaan yang lebih parah daripada itu," ujar Rio saat dihubungi, Kamis (5/9).

Akan tetapi, Rio tak sepakat dengan pembelaan OVO yang menyebut tak pernah terlibat langsung dalam perjanjian perparkiran di Lippo Group. Sebab, menurut dia, dalam bisnis gedung parkir selalu ada tiga pihak yang terlibat langsung, yakni manajemen parkir, dalam hal ini Lippo Group.

“Lalu operator parking seperti Sky Parking, dan teknologi dari operator parking itu sendiri, dalam hal ini OVO,” ucapnya. "Nah, dari sini kita bisa melihat adanya perjanjian kerja sama antarbisnis di antara ketiganya. Menurut saya memang ada kesepakatan itu.”

Namun, katanya, masalah ini takbisa disebut sebagai monopoli bisnis. Sebab, hal itu merupakan kesepakatan antara operator dan pemilik properti.

"Dan kita perlu cari tahu dulu, apakah mereka sudah mengetahui tentang aturan ini (UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat definisi Monopoli) atau tidak?" ucapnya.

Simpang siur terkait dugaan monopoli, menurut Rio, sudah didiskusikan bersama Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan. Dalam pertemuan pada Senin (2/9), dibahas kecenderungan adanya pelanggaran dari tindak monopoli itu.

Beberapa aturan diungkit, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 67 Tahun 2018 tentang Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang; dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa.

Salah satu hal yang disoroti terkait dengan pasal klausul baku, yakni Pasal 1 Nomor 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Di dalam aturan itu, terdapat tentang klausul baku, yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Klausul baku yang dilarang tertuang di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Bila melanggar klausul baku tersebut, pebisnis dapat dikenakan sanksi administratif terkait dengan
Pasal 34 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa, dan sanksi pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Terbuka untuk semua

Menanggapi polemik ini, pengamat ekonomi digital dari Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengimbau pemerintah untuk lebih tegas menerapkan sistem pembayaran berbasis quick responds (QR) code.

"Sebaiknya semua harus sudah berbasis QR code dan bisa dipakai semua pemain," ujar Heru saat dihubungi, Kamis (5/9).

Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) baru saja mengimplementasikan QR Code Indonesia Standard (QRIS), yang berstandar internasional. Dengan adanya standar pembayaran digital itu, seluruh penyedia jasa sistem pembayaran diwajibkan mengikuti aturan QRIS yang ada.

Standar ini ditujukan untuk mempermudah transaksi, meningkatkan inklusi keuangan, dan mengatasi monopoli bisnis. Namun, belum semua penyedia jasa sistem pembayaran menerapkan standar itu.

Ada keuntungan dan kekurangan memakai dompet elektronik dalam membayar biaya parkir. Alinea.id/Oky Diaz.

Oleh karenanya, BI memberikan tenggat kepada semua pemain untuk segera menerapkan aturan ini sebelum Januari 2020. Jika melebihi tenggat, BI akan menjatuhkan sanksi, seperti yang tertuang di dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21 Tahun 2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran.

Heru mengatakan, sebaiknya sistem pembayaran bisa terbuka untuk berbagai jenis layanan. "Yang namanya layanan publik, idealnya harus terbuka, termasuk pada layanan 'cash'," katanya.

Tanpa keterbukaan pilihan layanan dan longgarnya aturan, menurut Heru, akan menjadikan monopoli bisnis pembayaran digital menggurita.

"Sekarang, semua sudah menguasai masing-masing pelanggannya, seperti Gojek hanya bisa pakai Go-Pay, Grab dengan OVO, dan LinkAja akan dipakai di semua BUMN," tuturnya.

img
Soraya Novika
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan