E-commerce: Taipan bertaruh cuan di toko online
Pendiri Lippo Grup Mochtar Riady pada akhir 2019 buka-bukaan soal kegagalan bisnis niaga elektronik (e-commerce) miliknya. Ya, Mochtar yang memiliki kekayaan US$1,9 miliar setara Rp26,6 triliun itu mengakui gagal di bisnis toko online.
Konglomerat terkaya ke-12 di Indonesia versi majalah Forbes 2019 itu merangsek ke sektor e-commerce dengan mendirikan Mataharimall.com pada 2015. Tak tanggung-tanggung, Lippo menyuntik dana segar pada platform yang baru didirikan itu sebesar US$500 juta setara Rp7 triliun.
Tak lama berselang, MatahariMall mengantongi pendanaan tahap pertama US$200 juta setara Rp2,8 triliun dari CreditSuisse dan Bank of America Merrill Lynch. Rothschild ditunjuk sebagai financial advisor Grup Lippo, dalam transaksi tersebut.
Setahun kemudian, MatahariMall mengumumkan suntikan dana segar sebesar US$100 juta setara Rp1,4 triliun yang dipimpin oleh investor asal Jepang, Mitsui & Co dan pemodal baru serta pemodal yang sudah ada.
Secara keseluruhan, MatahariMall sudah mendapatkan pendanaan US$800 juta setara Rp11,2 triliun. Kurang dari empat tahun, MatahariMall resmi ditutup. Pada akhir November 2019, Lippo memutuskan untuk menggabungkan MatahariMall.com dengan MATAHARI.com milik PT Matahari Departement Store Tbk. (LPPF).
"Saya ingin sampaikan hati-hati, jangan e-commerce cerita tentang teknologi saja, sesungguhnya kembali teknologi dari digital ini hanya berupa instrumen menyampaikan berita," ujar Mochtar Riady dalam sebuah diskusi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta pada November 2019.
Konglomerat lain yang juga kepincut bisnis e-commerce adalah Hary Tanoesoedibjo. Pemilik Grup MNC dengan kekayaan US$1 miliar, setara Rp14 triliun, juga memiliki pengalaman yang nyaris serupa.
Orang terkaya ke-32 di Indonesia tersebut memiliki saham e-commerce Rakuten Belanja Online (RBO). MNC pernah bekerja sama dengan Rakuten, perusahaan e-commerce asal Jepang, untuk meluncurkan platform RBO pada 2011 silam. Rakuten memiliki 51% kepemilikan saham, sedangkan sisanya dikuasai oleh Grup MNC.
Akan tetapi, kongsi keduanya pecah pada 2013 karena memiliki “perbedaan prinsip bisnis”. MNC mengembangkan platform-nya sendiri, MNC Shop. Di sisi lain, Rakuten tetap bertahan hingga akhirnya hengkang dari Indonesia pada 2016.
Pengalaman buruk dua konglomerat, Mochtar Riady dan Hary Tanoesoedibjo, seolah tak membuat para konglomerat kapok berinvestasi di bidang e-commerce. Meskipun memang perusahaan e-commerce yang beroperasi di Indonesia di bawah bayang-bayang gulung tikar.
Simak data peta jumlah kunjungan e-commerce di Indonesia 2017-2019 dilansir iPrice di sini.
Meski hingga kini belum memberikan keuntungan dari sisi laba, para taipan masih berlomba-lomba menanamkan modal di perusahaan e-commerce lantaran besarnya potensi pasar yang ada di Indonesia.
Jumlah penduduk yang besar dan penetrasi internet yang relatif rendah dibandingkan negara-negara maju, membuat peluang di sektor ekonomi digital ini masih terbuka lebar.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksi, jumlah penduduk Indonesia pada 2020 mencapai 270 juta jiwa. Kemudian, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat tingkat penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 63,5% dari jumlah penduduk per Juni 2019.
Tak pelak, para konglomerat berlomba-lomba menginvestasikan dananya di berbagai perusahaan e-commerce, baik skala lokal maupun internasional.
Sejumlah e-commerce Indonesia yang disokong konglomerat memang mampu meraih kesuksesan dan tetap bertahan seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli, dan sebagainya. Beberapa perusahaan e-commerce asing pun juga berhasil masuk ke pasar Indonesia seperti Shopee, Zalora, Lazada, dan sebagainya.
Peneliti Center of Innovation and Digital Technology, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat, para investor perusahaan rintisan (start-up) digital selama ini lebih mengejar valuasi perusahaan dibandingkan laba.
“Intinya, investor belum melihat profit sebagai indikator berinvestasi di start-up digital. Start-up digital melihat jumlah pengunjung, jumlah transaksi, dan kompetitornya bagaimana,” ujarnya saat dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Jumat (28/2).
Huda memandang, gulung tikarnya sejumlah e-commerce disebabkan oleh ketatnya persaingan. Konsumen cenderung memilih platform yang menawarkan harga lebih murah.
Selain itu, kurangnya investasi ditengarai pula menjadi penyebab runtuhnya perusahaan e-commerce di Indonesia. “Bagaimana caranya mendapat investor? Transaksi dan subscriber. Subscriber paling banyak mana sih? Ya, unicorn-unicorn itu, Tokopedia dan Bukalapak. Kalau dari luar (Indonesia), Shopee,” ungkapnya.
Sebagai informasi, unicorn adalah istilah yang merujuk pada start-up dengan valuasi lebih dari US$1 miliar setara Rp14 triliun. Dua e-commerce yang menyandang status unicorn adalah Bukalapak dan Tokopedia.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Suhanto mengamini pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Mengutip data Bank Indonesia (BI), terjadi peningkatan transaksi e-commerce dari Rp140 triliun pada 2018 menjadi Rp156 triliun pada 2019.
“Pemerintah mendukung penuh pertumbuhan e-commerce di Indonesia, baik melalui penerbitan kebijakan maupun berbagai program yang ditujukan untuk mempromosikan dan meningkatkan e-commerce di Indonesia, seperti melalui dukungan dalam Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), promosi dan pengembangan pasar ke luar negeri, serta berbagai pelatihan dan pembinaan lainnya,” kata dia saat berbincang dengan Alinea.id pada Kamis (27/2).
Bakar duit
Ekonom Indef Nailul Huda melihat, strategi perusahaan e-commerce mulai mengalami pergeseran yang tadinya ‘membakar uang’ untuk menggaet konsumen dan pelapak menjadi fokus dalam menghasilkan keuntungan.
“Tahun 2020 kondisi global masih penuh ketidakpastian, ada wabah virus corona, perang dagang, dan sebagainya. Makanya investasi di bidang digital akan berkurang. Akan ada efisiensi dan upaya mengejar profit,” terangnya.
Menurutnya, perubahan strategi ini mulai terlihat pada Bukalapak dan Tokopedia.
CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, pihaknya menargetkan perusahaannya akan bertahan hingga lebih dari 100 tahun. “Target secara umum saya ingin transaksinya bertumbuh, pendapatannya bertumbuh, pelapaknya bertumbuh,” ujarnya di Jakarta pada Rabu (26/2). Namun, dirinya enggan merinci target persentase pertumbuhannya lebih detil.
Menurutnya, rahasia Bukalapak mampu bertahan selama satu dekade berdirinya adalah menjaga kepercayaan pelapak, pelanggan, karyawan, dan pemegang saham.
“Kami harus selalu tunjukkan progress yang positif. Selalu ada yang kami kerjakan membawa manfaat, transaksinya selalu bertumbuh, angka-angkannya selalu lebih baik dan terus membaik,” ujar CEO yang baru menjabat sejak Desember menggantikan pendirinya, Achmad Zaky.
Rachmat menjelaskan, Bukalapak memiliki dua produk utama yaitu market place sebagai tempat bertemunya pelapak dan konsumen serta Mitra Bukalapak.
Saat ini, market place masih mendominasi transaksi yang ada di perusahan tersebut. Adapun gawai (gadget), fesyen wanita, dan kebutuhan rumah tangga, merupakan tiga besar produk yang paling diminati.
Pada 2020, pengembangan Mitra Bukalapak menjadi salah satu fokus perusahaan. Salah satu upayanya adalah melalui pengembangan franchise banking untuk membantu pelaku usaha mitra dalam pembiayaan dan layanan perbankan.
“Sekarang, totalnya ada 3,3 juta warung dan agen. Sekarang kerja sama kita dengan Bank Mandiri adalah menjadi franchise agent, sehingga mampu memberi pelayanan lebih. Dengan semakin banyak pelayanan, mereka bisa dapat tambahan income (pendapatan),” terangnya. Sepanjang 2019, jumlah pinjaman yang disalurkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. bersama Bukalapak hampir mencapai Rp20 miliar.
Selain Bank Mandiri, Bukalapak juga telah bekerjasama dengan perusahaan teknologi finansial (tekfin) Akseleran, Investree, Koinworks, Modalku, dan Taralite untuk mengembangkan layanan pinjaman online. Bukalapak juga gencar membuka berbagai layanan keuangan digital lainnya seperti BukaReksa (reksa dana), BukaEmas (emas digital), dan BukaAsuransi.
Terpisah, External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya mengungkapkan, terdapat empat pilar produk dan layanan Tokopedia yaitu market place dan produk digital, fintech dan pembayaran, logistik dan fulfillment, dan Mitra Tokopedia.
"Masing-masing pilar terus mengalami peningkatan. Selain itu, kami memang sudah memiliki beberapa revenue streams di Tokopedia, salah satunya TopAds, Power Merchant, Official Store dan lainnya," katanya melalui surat elektronik.
Ekhel menjelaskan, perusahaannya akan terus berevolusi dalam 10 tahun ke depan untuk membantu setiap wirausaha, bisnis, dan jutaan profesi lainnya untuk menjadi perusahaan teknologi sekaligus berkontribusi pada perekonomian Indonesia melalui ekosistem Tokopedia.
"Indonesia selalu menjadi fokus utama Tokopedia, maka kami terus berkomitmen untuk menggerakkan perekonomian dalam negeri," ungkapnya.
Ekhel mengungkapkan, Tokopedia ditargetkan untuk meraih EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi/Earnings before interest, taxes, depreciation, and amortization) positif mulai tahun 2020. Oleh karena itu, pihaknya kini fokus terhadap pertumbuhan bisnis yang konsisten dan berkelanjutan.
Kemudian, manajemen Tokopedia juga berencana melantai di bursa saham. "Persiapan untuk melantai di bursa saham juga sudah dipetakan, rencanakan dan siapkan dari jauh hari," bebernya.
Persiapan tersebut meliputi perbaikan manajamen tata kelola, pembukuan yang positif. Termasuk penunjukkan mantan Menteri Keuangan dan Gubernur BI Agus D.W. Martowardjojo sebagai Komisaris Utama Tokopedia.
"Harapannya, setiap masyarakat Indonesia, termasuk para pengguna, penjual dan mitra Tokopedia, berkesempatan untuk turut memiliki Tokopedia," jelasnya.
Tak mau kalah dengan Bukalapak, Tokopedia juga menyediakan platform layanan keuangan digital, yakni Tokopedia Keuangan. Platform tersebut mencakup layanan reksa dana, emas, pinjaman online, kartu kredit dan asuransi.
Langkah Bukalapak dan Tokopedia yang melebarkan layanannya mendapat apresiasi dari Nailul Huda. Ia optimistis, kedua perusahaan tersebut mampu bersaing dengan perusahaan e-commerce asing seperti Shopee dan Lazada.
“Kita bandingkan dengan yang ada di China. Alibaba menyediakan barang murah, tapi dia menyediakan layanan produk pembayaran, kredit, dan di situ justru menguntungkan Alibaba. Selama ini, banyak yang belum mengembangkan ke sana,” tuturnya.
Gusur toko
Berdasarkan pantauan Alinea.id, Mangga Dua Mall yang berlokasi di Jakarta Utara terlihat sepi. Tak jarang, kios-kios di pusat perbelanjaan yang fokus menjual produk elektronik dan gadget tersebut kosong melompong menyisakan penjaga dan dagangannya. Beberapa kios terlihat tutup tanpa aktivitas. Lapangan parkir pun terlihat lengang.
Seorang pedagang aksesoris ponsel yang berinisial HW mengaku, sepinya mal tersebut lantaran daya minat masyarakat yang rendah dan maraknya penjualan melalui market place. “Kita lihat parkiran aja kosong terus,” ujarnya.
Sepinya pembeli dirasakan oleh banyak pedagang yang menyewa kios. “Dulu (pedagang) sebelah punya toko tiga. (Kemudian) Satu dijual, satu dikecilin, sekarang tinggal satu dibagi dua,” bebernya.
Ia menceritakan, dulu kiosnya mempekerjakan empat karyawan dan istrinya turut membantu melayani pembeli. “Dulu ramai banget lho. Dulu awalnya dijaga penjaga, kalau jalan harus nyikut orang tuh. Kalau enggak, nanti enggak bisa maju,” katanya seraya menceritakan pengalamannya sekitar tahun 2014-2015.
Thomas, pedagang lainnya mengaku, sepinya pengunjung diperparah oleh merebaknya coronavirus. Ia menyebut, sejak Januari terjadi penurunan penjualan lebih dari 50%.
“Kalau misalnya enggak bisa masuk barang, pasti terganggu. Di lain pihak, kalaupun masih tak terganggu, kita mesti memikirkan bisa enggak dijual? Antara menyetok atau enggak, kita dilema,” keluh pemilik kios ponsel tersebut.
Ia mengatakan, pihaknya hanya menyetok barang secukupnya. “Sekarang bukan zamannya lagi nimbun-nimbun barang,” tambahnya.
Suhanto dari Kemendag membenarkan bahwa perkembangan toko online memengaruhi perubahan pola beli masyarakat yang tadinya berbelanja di toko konvensional menjadi e-commerce.
“Mal sekarang ini sudah beralih fungsi menjadi tempat hang out (berkumpul) atau tempat wisata. Para tenant-tenant (penyewa) di mal harus bisa beradaptasi dengan perubahan ini,” ujarnya.
Suhanto menyarankan kepada tenant untuk melakukan inovasi agar menarik konsumen seperti membuka toko online, mempercantik layout gerai, meningkatkan kualitas produk dan layanan, mengikuti preferensi konsumen, mempertahankan loyalitas pelanggan, serta mendorong penggunaan uang elektronik.
Pemerintah mendorong adanya terjadi kesamaan tingkat bermain antara pelaku usaha online dan offline melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.80 Tahun 2019 serta mewajibkan pelaku usaha e-commerce untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk ritel offline, termasuk ketentuan perpajakan dan distribusi barang.
Di sisi lain, Nailul Huda berpendapat, kehadiran e-commerce tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pengunjung mal lantaran peran gandanya sebagai tempat belanja sekaligus rekreasi.
Mengutip data BPS, dia melihat adanya pergeseran konsumsi yang didominasi pangan dan sandang menuju menghabiskan waktu luang (leisure) seperti makan di restoran, menonton bioskop, dan travelling.
“Paling terancam departement store dan toko konvensionalnya. Itu yang memang akan terancam dari kehadiran toko online ini,” ujarnya.
Huda mencatat, pangsa pasar toko online saat ini masih 5% terhadap penjualan ritel nasional. “Dalam 10 tahun mendatang, porsi toko online bakal mencapai 30%,” pungkasnya.
Bersambung dari artikel "Perang e-commerce: Siapa tumbang, siapa menang?"