close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Impor beras 2018 merupakan tertinggi kedua sejak 2000 dengan total impor 2,25 juta ton (US$ 1,003 juta). Impor tertinggi terjadi pada 2011 dengan total impor 2,75 juta ton (US$ 1,5 juta). / Antara Foto
icon caption
Impor beras 2018 merupakan tertinggi kedua sejak 2000 dengan total impor 2,25 juta ton (US$ 1,003 juta). Impor tertinggi terjadi pada 2011 dengan total impor 2,75 juta ton (US$ 1,5 juta). / Antara Foto
Bisnis
Kamis, 14 Februari 2019 21:54

Ekonom catat 3 tugas sektor pangan bagi presiden terpilih

Debat kedua paslon calon presiden dengan tema pangan, energi, Sumber Daya Alam (SDA), lingkungan, serta infrastruktur pada Minggu (17/2).
swipe

Menjelang debat kedua paslon calon presiden dengan tema pangan, energi, Sumber Daya Alam (SDA), lingkungan, serta infrastruktur, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai ada sejumlah persoalan besar yang perlu diselesaikan oleh presiden terpilih periode 2019-2024.

Pertama, soal sengkarutnya data pangan hingga saat ini. Keberadaan data pangan ini penting karena digunakan sebagai panduan dalam merancang kebijakan pangan yang efektif dan tepat sasaran, baik berkaitan dengan produksi, distribusi, hingga kebijakan perdagangan.

"Menata data pangan komoditas pangan, baik beras maupun nonberas. Diperlukan neraca per komoditas utama seperti jagung, kedelai, telur, daging ayam, dan sapi serta produk hortikultura yang menjadi penyumbang inflasi. Neraca ini tidak hanya per komoditas, tapi juga mencakup per wilayah," kata Rusli dalam diskusi bertajuk Pemanasan Debat Capres Kedua: Tawaran Indef untuk Agenda Strategis Pembangunan SDA dan Infrastruktur di ITS Tower, Jakarta, Kamis (14/2).

Kedua, soal manajemen produksi dan logistik komoditas pangan perlu diperbaiki. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada semester I-2018 surplus 5 juta ton. 

Rinciannya produksi 19,6 juta ton dan konsumsi 14,7 juta ton. Pada semester II, produksi beras defisit 2,1 juta ton dengan rincian produksi 12,8 juta ton dan konsumsi 14,9 juta ton.

"Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah manajemen produksi dan logistik komoditas, baik antarwaktu maupun antardaerah," imbuhnya.

Dengan demikian, kata dia, perlu adanya rekonstruksi manajemen produksi dan logistik pangan. Hal ini diwujudkan dalam satu koordinasi dan sistem antara Kementerian Pertanian sebagai penanggung jawab sisi produksi, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai penanggung jawab pencadangan beras nasional, dan Kementerian Perdagangan sebagai penanggung jawab perdagangan pangan.

Ketiga, soal tingginya angka impor komoditas pangan, khususnya beras. Sejak tahun 2000 tren impor beras meningkat. 

Impor beras 2018 merupakan tertinggi kedua sejak 2000 dengan total impor 2,25 juta ton (US$ 1,003 juta). Impor tertinggi terjadi pada 2011 dengan total impor 2,75 juta ton (US$ 1,5 juta).

Menurutnya, impor pangan sudah seharusnya menjadi perhatian khusus di Indonesia karena berkontribusi membuat neraca perdagangan masih defisit.

"Impor dapat dikurangi jika tata kelola di produsen diperbaiki, termasuk mengurangi rantai tata niaga pangan," katanya.

Rusli menyarankan agar pemerintah menggenjot produksi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor komoditas. Salah satunya mempertahankan lahan abadi pertanian di Jawa maupun di luar Jawa. 

"Apabila impor diperlukan dalam menjaga harga, maka harus memperhatikan siklus panen. Impor perlu disetop ketika defisit neraca besar," pungkasnya.

img
Eka Setiyaningsih
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan