Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami penguatan dalam beberapa waktu terakhir. Pada Rabu sore, (28/11) nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp14.524 per Dollar Amerika Serikat.
Ekonom Indef, Faisal Basri, menilai penguatan rupiah yang terjadi pada beberapa minggu belakangan murni bukan karena usaha pemerintah dalam memperbaiki fundamental ekonomi nasional. Melainkan semata karena utang yang terus dibuat pemerintah.
Buktinya, kata Faisal, utang pemerintah terus meningkat melalui derasnya aliran modal asing atau Foreign Direct Investmen (FDI) lewat surat berharga negara. Aliran modal asing tersebut kemudian digunakan salah satunya untuk rekonstruksi fisik di beberapa kota terdampak bencana alam seperti di Palu, Sulawesi Tengah.
“Tahun ini pemerintah antisipasi, utang lebih banyak. Palu itu rekonstruksinya pakai utang karena uangnya habis untuk infrastruktur. Jadi, fisik lebih berharga dari manusia. Rupiah membaik bukan karena darah keringat kita, tapi utang,” kata Faisal di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (28/11).
Menurut Faisal, aliran modal asing yang masuk tersebut memang bias menguatkan Rupiah, namun hanya dalam jangka pendek. Selama defisit transakai berjalan tidak dibenahi secara struktural, maka potensi pelemahan rupiah masih terus terbuka.
“Rupiah menguat merupakan fenomena jangka pendek. Tahun depan jangka menengah 99% Rupiah akan melemah. Kalau bicara jangka panjang, hubungan Rupiah dengan defisit transaksi berjalan itu erat sekali. Sepanjang defisit maka Rupiah akan melemah. Tinggal persoalannya melemahnya berapa banyak,” kata Faisal.
Karena itu, Faisal menegaskan, persoalan defisit transaksi berjalan harus benar-benar dibenahi untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Persoalan defisit bukan hanya pada persoalan perdagangan barang dan jasa, melain akibat rapatriasi modal asing yang ditarik investor ke negaranya sendiri.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, melihat nilai tukar saat ini masih terlalu murah. Rupiah, kata dia, masih mempunyai ruang untuk terus menguat. Hal ini disebabkan, adanya dana asing masuk ke dalam negeri (capital inflow) yang berasal dari kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ke level 6% belum lama ini.
"Masih ada ruang (untuk menguat). Tapi kan kami juga tidak berhabis-habisan untuk memperkuat sekuat-kuatnya langsung. Yang penting sudah ada capital inflow,” kata Darmin.
Di saat itulah, lanjut dia, pemerintah dan BI akan memanfaatkan momentum tersebut untuk menguatkan rupiah. Dampak lanjutannya, defisit transaksi berjalan diharapkan dapat tertutup oleh surplus transaksi modal dan finansial.
“Yang harus kita lakukan adalah mengeluarkan kebijakan untuk membuat konfiden,” ujar Darmin.