Potensi ekonomi syariah Indonesia digadang-gadang sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Namun data dan fakta terkini justru menunjukkan berbagai tantangan mendasar masih menghambat pengembangannya. Sektor ini stagnan dan belum mampu menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi.
Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nur Hidayah mengatakan pangsa pasar perbankan syariah Indonesia hanya mencapai 7,38%, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang mencapai 42%.
“Ketertinggalan ini menunjukkan perbankan syariah Indonesia belum mampu menarik minat masyarakat secara luas, apalagi bersaing di tingkat global,” ujarnya, belum lama ini.
Ia juga menyoroti lemahnya pemanfaatan sektor halal, seperti makanan, kosmetik, dan pariwisata, yang masih jauh dari potensi maksimalnya. “Pasar halal kita besar, tapi implementasi dan pengelolaannya lemah. Hal ini menjadi hambatan besar dalam menjadikan sektor syariah sebagai tulang punggung ekonomi,” tambahnya.
Padahal, peluang pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia sangat besar. Apalagi, Indonesia selama ini dikenal sebagai negara muslim yang terbesar dengan mayoritas atau 87,08% penduduknya beragama Islam. Jumlahnya sebanyak 245.973.915 jiwa pada paruh pertama tahun ini. Dus, kue yang dapat dicaplok sangat gurih.
Perlu inovasi
Diperlukan inovasi sebagai pengungkit industri syariah. Salah satu terobosan yang disebut dapat mendorong pertumbuhan perbankan syariah adalah pendirian bank emas (bullion bank). Namun, penasihat CSED Indef, Abdul Hakam Naja, menyebut Indonesia selama ini hanya berperan sebagai “tukang jahit” dalam ekosistem emas global.
“Emas kita diolah di luar negeri, seperti Singapura, yang telah menjadi pusat bullion bank di Asia sejak tahun 1993. Sementara, Indonesia hanya mendapatkan keuntungan minim berupa biaya pengolahan industri,” kata Hakam.
Ia juga menyoroti data produksi emas Indonesia pada 2023 masih jauh di bawah target. Padahal sebentar lagi Indonesia akan memiliki bullion bank.
“Produksi emas kita rendah, tetapi kita tetap menjadi salah satu penghasil emas terbesar. Sayangnya, nilai tambahnya tidak kita nikmati karena ekosistem emas belum terintegrasi dengan baik,” tegasnya.
Ia menilai keberadaan bank emas (bullion bank) bisa menjadi pendorong pertumbuhan perbankan syariah. "Ke depan, saya kira harus semakin banyak perbankan syariah memanfaatkan bank bullion, karena ini bisa terjadi pendorong pertumbuhan perbankan syariah dan pertumbuhan ekonomi karena betul-betul dari hulu ke hilir,” ucapnya.
Perlu diketahui, bank emas merupakan lembaga yang bisa melayani kegiatan usaha perbankan dengan instrumen logam mulia. Beberapa perusahaan yang telah menjalankan fungsi sebagai bullion bank adalah PT Pegadaian (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk.
Dengan adanya bank emas, ekosistem emas disebut akan terintegrasi dari hulu ke hilir untuk kebutuhan berbasis emas, mulai dari simpanan, titipan, pembiayaan, investasi, hingga perdagangan dan kegiatan lainnya.
“Kita melakukan hilirisasi untuk emas yang ada di kita, dan perbankan kemudian tidak hanya menjadikan ini sebagai simpanan saja, tapi sudah masuk ke neraca," lanjutnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina, Handi Risza Idris optimistis terhadap pertumbuhan industri syariah. Dia menekankan pentingnya inovasi dan industrialisasi dalam ekonomi syariah.
“Perlu industrialisasi dan pengembangan pusat pertumbuhan baru, tapi dengan ekosistem yang belum efisien, target ini sulit tercapai,” ungkapnya.
Pakar Keuangan Syariah, Murniati Mukhlisin juga menyoroti pentingnya peran sektor syariah dalam menjaga keseimbangan ekonomi. Namun, tanpa reformasi struktural dan kebijakan yang jelas, peran tersebut sulit terwujud.
Dengan target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan pemerintah, ekonomi syariah diyakini menjadi pilar utama. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kontribusinya masih jauh dari optimal. Ketergantungan pada regulasi yang lamban, lemahnya daya saing, dan rendahnya pemanfaatan potensi domestik menjadi tantangan utama yang harus diatasi.
“Jika langkah konkret tidak segera diambil, ekonomi syariah Indonesia mungkin hanya akan menjadi harapan yang tidak terealisasi, terjebak dalam narasi optimistis tanpa bukti nyata di lapangan,” jelasnya.