Eksistensi developer syariah abal-abal coreng bisnis properti tanpa riba
Sebelas orang melakukan aksi unjuk rasa di depan gerbang Perumahan Azzaira Village, Kelurahan Bedahan, Sawangan, Depok. Mereka adalah korban penipuan properti syariah yang menuntut agar laporan penipuan dapat segera ditanggapi oleh Polres Metro Depok.
Mereka mengharapkan Yudi Hermawan, sang pengembang atau developer dari Perumahan Azzaira dapat segera tertangkap.
“Jadi, kami juga bisa segera memiliki rumah yang sudah dibayar lunas ini,” kata perwakilan korban Zia Jumara menggebu-gebu, kepada Alinea.id, Senin (18/4).
Laki-laki yang saban hari bekerja sebagai Marketing Kidzania ini mengisahkan, pertama kali ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dari proses pembelian rumahnya ialah sejak Februari 2021 lalu. Pada saat itu, pembangunan rumah yang sebelumnya lancar, mulai tersendat.
Mandor beserta tukang yang membangun Perumahan Azzaira Village 4 dikabarkan pindah ke proyek pembangunan lainnya yang ada di Kelurahan Rangkapanjaya dan Citayam, Pancoran Mas, Depok.
Padahal, Yudi Hermawan ini telah menjanjikan rumah milik Zia akan selesai dibangun pada Mei 2021 atau tiga bulan terhitung sejak Zia menandatangani perjanjian jual beli pada 22 Februari 2021. Sedangkan untuk bukti kepemilikan atau sertifikat hak milik (SHM) atas namanya akan diserahkan pada bulan September 2021.
“Sejak akhir tahun lalu sampai sekarang, baik di Azzaira Village 3, 4, atau 5. Total ada 5 perumahan yang dibangun YH. Itu semua pembangunannya berhenti. Jadi rumah ada yang baru 50%, 70% jadi, ada juga yang masih tanah aja,” imbuh laki-laki 36 tahun itu.
Alasan pemberhentian pembangunan itu, lanjut Zia, adalah karena mandor dan tukang juga mengaku tidak dibayar oleh pengembang.
Atas kejadian ini, Zia mengaku telah mengalami kerugian sebesar Rp295 juta. Di mana uang tersebut merupakan biaya yang dibayarkannya untuk pembelian bangunan tempat tinggal berukuran 45 m2, yang dibangun di atas lahan seluas 81 m2.
“Uang itu saya bayarkan secara cash keras dalam beberapa tahap. Pertama, pada 11 Februari 2021 sebesar Rp23 juta, kedua 13 Februari 2021 sebesar Rp70 juta, 14 Februari Rp5 juta, 16 Februari 2021 sebesar Rp45 juta, 19 Februari Rp50 juta dan terakhir pada 22 Februari Rp100 juta,” urainya.
Korban lain dari pengembang yang sama, Arie Fadilah tercatat mengalami kerugian sebesar Rp250 juta, atas pembelian rumah seluas 40 m2 yang dibangun di atas tanah berukuran 60 m2. Sama seperti Zia, laki-laki yang tinggal di Rangkapanjaya Baru ini juga melakukan pembayaran secara langsung, dalam beberapa tahap.
Pembayaran pertama, dilakukan pada 25 Januari 2021 sebesar Rp1 juta, selanjutnya pembayaran dilakukan pada 5 Februari senilai Rp50 juta dan terakhir pada 8 Februari 2021 sebesar Rp199 juta.
Setelah melakukan pelunasan pembayaran, pihaknya dijanjikan dapat menempati rumah yang sudah dibelinya itu selambat-lambatnya akhir Mei 2021 dan sudah bisa mendapatkan sertifikat rumah dan tanah pada September di tahun yang sama.
“Tapi sampai waktu yang sudah ditentukan, rumah enggak juga jadi dan YH tidak bisa dihubungi sampai sekarang, tidak diketahui juga keberadaannya,” keluhnya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (15/4).
Sementara itu, setelah melakukan penelisikan lebih jauh bersama korban lainnya, baik Arie maupun Zia baru mengetahui bahwa Yudi tidak hanya gagal menyelesaikan pembangunan perumahan saja, namun juga tanah tempat perumahan dibangun belum dibayar seluruhnya oleh pengembang. Pemilik tanah dari lima lokasi perumahan, lanjut Arie, hanya baru mendapatkan bayaran sekitar 25%-30% dari total bayaran yang dijanjikan.
“Terus juga dari proyek perumahan sebelumnya, yang Azzaira 1 dan 2, itu ternyata yang beli pada KPR (Kredit Pemilikan Rumah-red). Dan jangka waktu cicilannya juga lama. Sedangkan yang dari kami, dari Azzaira 3-5 ini cash keras,” jelasnya.
Padahal, jumlah unit rumah yang telah terjual di Azzaira 3 dan 5 ada sekitar 20-30 unit di tiap perumahan. Sehingga total kerugian yang harus ditanggung oleh korban dari masing-masing perumahan mencapai lebih dari Rp2 miliar.
Terlepas dari kerugian yang harus mereka tanggung, Arie dan Zia mengaku, mereka tertarik membeli hunian dari Yudi Hermawan lantaran si developer menawarkan rumah dengan harga miring dan juga calon konsumen nantinya dapat memesan rumah sesuai dengan desain yang mereka inginkan. Belum lagi, iming-iming sistem pembayaran syariah tanpa bank dan bebas riba membuat calon konsumen kian mantap.
“Jujur, saya membayar secara cash itu untuk dapat menghindari riba. Dan YH ini mereka menawarkan sistem itu, tanpa bank, tanpa riba. Terus, ketika datang ke rumahnya si Haji Yudi ini, di depannya terpasang tenda dan mereka habis mengadakan santunan ke anak yatim. Dari situ, tambah yakin,” kisah Zia.
Jalan syariah
Mengutip data Rumah.com, yang terdapat dalam Consumer Sentiment Study Half (H) I-2021, pada semester I-2021, ada sekitar 35% responden yang memilih untuk melakukan pembelian rumah melalui sistem syariah atau KPR syariah. Angka ini tidak berubah sejak semester II-2020. Sementara pembelian melalui KPR konvensional, tercatat mengalami penurunan dari 29% di semester II-2020 menjadi 22% di demester I-2021.
Tidak hanya itu, menurut data internal Asosiasi Developer Properti Syariah (ADPS), peminat properti syariah dengan skema pembayaran syariah tanpa bank telah mengalami perkembangan pesat sejak 2019 lalu. Hal ini terlihat dari jumlah hunian yang dibangun oleh developer anggota ADPS pada saat itu yang hanya berjumlah sekitar 500 proyek, pada tahun 2020 menjadi 700 proyek dan di 2021 ada 1.050 proyek di berbagai titik lokasi.
“Pertumbuhannya eksponensial, sekitar 40%-50% per tahun. Padahal kita tahu, dari 2020 sampai 2021 itu kan saat-saat pandemi, Di saat properti konvensional turun, kita justru bisa tumbuh positif, bahkan sampai dobel digit,” kata Ketua ADPS Arief Sungkar, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (20/4).
Pertumbuhan ini pun sejalan dengan tingginya minat masyarakat muslim yang berhijrah. Di saat yang sama, kondisi ekonomi yang sulit selama pandemi serta tingginya tingkat pekerja di sektor informal, membuat developer properti syariah menjadi pilihan satu-satunya bagi mereka yang ingin memiliki hunian.
“Apalagi, selama pandemi kan bank hanya meng-approved pinjaman KPR dari orang yang bekerja sebagai PNS (pegawai negeri sipil) atau karyawan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) saja,” katanya.
Belum lagi, pembayaran properti syariah bisa dilakukan secara bertahap, dengan jumlah dan waktu fleksibel. Bahkan, ada beberapa anggota ADPS yang menawarkan rumah tanpa uang muka (down payment/DP). Namun, syaratnya harus sesuai kesepatan atau akad saat proses jual-beli dilakukan pertama kali oleh developer dan calon konsumen.
Selain itu, developer properti syariah juga memiliki keunikan atau unique selling point (USP) tersendiri, dibandingkan developer properti biasa, yakni tanpa peran perbankan melalui KPR yang erat dengan riba. Tidak hanya itu, unique selling point lainnya adalah tanpa sita, tanpa denda, tanpa penalti jika terjadi keterlambatan pembayaran, tanpa asuransi, dan tanpa akad bermasalah.
Lebih lanjut Arief menjelaskan, alasan developer properti syariah banyak tidak menggunakan bank ialah karena dalam hukum bisnis properti Islam, hanya ada dua pihak yang melakukan transaksi, yakni pembeli dan perusahaan properti syariah.
“Tanpa bank, kami bisa bangun proyek yang amanah, ada sertifikasi, ada audit berkala,” imbuhnya.
Sebagai bentuk keamanan terhadap pembeli, pendiri dan juga pemilik developer rumah syariah Royal Orchid Syariah ini memastikan bahwa dalam pembangunan properti, pengembang akan selalu diawasi oleh Asosiasi. “Tujuannya biar mereka tetap amanah dalam membangun properti syariah,” tegas Arief.
Adapun pengembang proyek Azzaria Village, Yudi Hermawan yang saat ini masih buron tidak berada dalam naungan ADPS.
Sebaliknya, developer pun memiliki cara tersendiri dalam menyetujui orang yang akan membeli rumah. Sekalipun dia tidak memiliki jaminan apapun, baik Bank Indonesia (BI) checking atau SLIK OJK (Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan).
BI checking sendiri merupakan Informasi Debitur Individual (IDI) historis yang mencatat lancar atau macetnya pembayaran kredit (kolektibilitas). Adapun SLIK OJK merupakan sistem informasi yang pengelolaannya di bawah tanggung jawab OJK yang bertujuan untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pelayanan informasi keuangan. Salah satunya berupa penyediaan informasi debitur (iDeb) dan berfungsi sebagai pengganti BI checking.
Ihwal penipuan yang tak jarang mengatasnamakan developer properti syariah, Arief memastikan bahwa anggotanya tidak akan melakukan perbuatan tercela tersebut. Sebab, asosiasi memiliki kriteria dan syarat tersendiri bagi developer yang ingin bergabung dengan ADPS. Bahkan, setelah menjadi anggota, developer juga akan diawasi ketat oleh ADPS.
“Untuk anggota yang ketahuan memakai jasa perbankan saja, akan langsung kami keluarkan, apalagi yang sampai melakukan penipuan seperti itu,” tegas dia.
Selain itu, untuk menjadi developer syariah pun pengembang juga diharuskan untuk memenuhi persyaratan dasar, seperti kepemilikan lahan, selain juga pembiayaan.
“Lahan yang digunakan untuk membangun properti harus sudah milik pengembang sendiri. Karena menurut Rasulullah SAW, kan hanya bisa menjual sesuatu yang sudah milik kita. Jadi jelas, kalau lahan itu masih belum lunas, itu tidak boleh dijual,” jelas Arief.
Sementara itu, Founder dan CEO Developer Property Syariah (DPS) Rosyid Aziz Muhammad mengakui, pesatnya perkembangan bisnis properti syariah membuat banyak orang ikut terjun ke dalamnya. Meskipun pada praktiknya, ada saja developer yang hanya menggunakan label syariah sebagai topeng dan lebih parah lagi, menggunakannya sebagai taktik penipuan.
“Ini yang membuat bisnis properti syariah yang sekarang sedang berkembang, menjadi tercoreng namanya,” keluhnya, saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada merebaknya kasus developer properti syariah abal-abal. Pertama, mereka yang punya niat baik untuk taat kepada syariah Allah tapi minim ilmu dan pengalaman, baik di bidang bisnis properti maupun di bidang syariah. Dus, transaksi-transaksinya melanggar ketentuan syariah dan bisnisnya berantakan. Kedua, mereka pada dasarnya tidak punya niat untuk taat kepada syariah Allah, tapi melihat peluang pasar yang besar pada bisnis properti syariah.
Pada praktik-praktik transaksi, mereka sebenarnya tidak peduli apakah melanggar ketentuan syariah atau tidak. Istilah-istilah yang digunakan sudah Islami seperti murabahah, mudharabah, syirkah, dan sebagainya, tapi praktiknya tidak sesuai dengan tuntunan syariah.
Ketiga, mereka yang sejak awal sudah memiliki niat yang tidak terpuji, yakni memiliki modus penipuan dengan berkedok perumahan alias properti syariah. “Yang seperti ini yang harus dihindari oleh konsumen,” ujar Rosyid.
Edukasi adalah kunci
Terpisah, Ekonom dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia (UI) Banjaran Surya Indrastomo menjelaskan, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, dia menilai perlunya edukasi baik kepada calon konsumen, masyarakat umum, maupun developer properti. Khusus untuk calon konsumen dan masyarakat umum, upaya ini diperlukan agar mereka dapat mendeteksi, apakah developer tersebut benar-benar syariah atau hanya abal-abal.
Sementara untuk pengembang, edukasi dan pendampingan diperlukan agar para pebisnis properti tersebut dapat menjalankan bisnisnya dengan amanah dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. “Selain itu juga pricingnya harus diperhatikan, apakah dia akan menggunakan dana pribadi atau kerja sama dengan perusahaan penjaminan,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (19/4).
Hal ini karena skema pembiayaan dapat menentukan apakah nantinya pembangunan properti akan berjalan lancar atau tidak. “Gagal bangun bisa saja disebabkan tidak imbangnya volume penjualan, dengan uang yang harus di keluarkan untuk menyelesaikan proyek,” imbuh Banjaran.
Oleh karena itu, sebelum membeli hunian, calon konsumen harus mengecek reputasi dari developer. Di saat yang sama, konsumen juga tidak seharusnya hanya tergiur oleh iming-iming harga murah atau label syariah yang telah tersemat pada suatu developer. Belum lagi, calon konsumen juga harus waspada terhadap janji manis dan tidak rasional yang diberikan oleh pengembang, seperti rumah hanya akan jadi selama tiga hingga enam bulan, sedangkan tanah masih dalam awal pengerjaan, belum diurug, atau masih belum ada akses jalan serta drainase.
“Sebaiknya konsumen datang langsung ke lokasi untuk melihat progres proyek, apakah sudah ada kegiatan pembangunan atau masih lahan mentah. Terus tanyakan juga legalitas izin proyeknya dan kelengkapan surat tanah,” saran Konsultan Properti Syariah Ilham Sunaryo, saat dihubungi Alinea.id, Senin (18/4).
Sementara itu, untuk ikut mengembangkan properti syariah, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan, pihaknya dan ADPS tengah mendiskusikan formula yang tepat terkait pembelian subsidi kepada para pengembang syariah. Meski begitu, pihaknya belum bersedia menjelaskan lebih lanjut terkait subsidi seperti apa yang nantinya akan diberikan kepada pebisnis properti berbasis syariah ini.
“Tunggu saja pengumuman lebih lanjutnya nanti. Yang pasti, memang diperlukan terobosan agar pembiayaan perumahan syariah ini bisa menarik minat lebih banyak masyarakat,” tukas Herry, kepada Alinea.id, Sabtu (16/4).