Eksistensi kartu kredit di tengah menjamurnya paylater
Niaga-el atau dikenal e-commerce tumbuh kian pesat di tanah air. Menjamurnya pasar digital ini membuat keberadaan kartu kredit kian terancam. Bagaimana tidak, pertumbuhan transaksi di platform daring itu diikuti pula oleh kenaikan pembayaran masyarakat melalui sistem pembayaran bayar nanti atau paylater.
Apalagi, saat ini hampir semua e-commerce memiliki paylater-nya sendiri. Sebut saja Shopee dengan SPayLater, Tokopedia dengan Tokopedia Paylater, Blibli dengan Blibli Paylater, dan masih banyak lagi. Selain e-commerce, layanan paylater disediakan pula oleh perusahaan-perusahaan teknologi finansial (tekfin) atau fintech (financial technology) penyedia kredit -seperti Kredivo, Homecredit-, hingga superApp, seperti Gojek dan Grab.
Dengan demikian, tak heran jika transaksi layanan beli sekarang bayar nanti terus meningkat dari hari ke hari. Berdasarkan hasil riset Kredivo, 98% merchant di Indonesia sudah terhubung dengan layanan pembayaran digital. Lalu, separuh di antara mereka sudah mulai menerima opsi pembayaran via pembiayaan digital secara langsung, termasuk paylater, dari platform point of sales (POS) atau kasir digital yang mereka gunakan.
Survei Kredivo juga mencatat 90% pengguna e-commerce sudah memiliki awareness soal paylater. Sementara 27% dari responden sudah aktif menggunakan paylater, dan separuh di antara mereka mengaku bakal meningkatkan penggunaan paylater di masa mendatang.
Berbanding terbalik dengan paylater, kinerja bisnis kartu kredit semakin melemah tiap tahunnya. Menurut Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), hingga Selasa (7/12) lalu transaksi dengan kartu kredit tercatat sebanyak 223.629.156 kali, turun jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 268.209.725 kali. Sementara nilai dari transaksi kartu kredit hingga pekan pertama Desember tercatat sebesar Rp189.551.984, lebih rendah dari tahun 2020 yang senilai Rp231.553.111.
Hal ini seiring dengan penurunan jumlah penerbitan kartu kredit. Di mana pada periode yang sama jumlah kartu kredit hanya sebanyak 16.940.040 buah, kembali turun dari tahun sebelumnya yang sebanyak 16.9940.040 buah.
Kondisi ini pun lantas diamini oleh Direktur Eksekutif AKKI Steve Marta. Dia bilang, kontraksi bisnis kartu kredit sebenarnya telah dimulai sejak bertahun-tahun lalu. Namun, penurunan paling besar terjadi di awal pandemi Covid-19, yang mana pada saat itu pertumbuhan kartu kredit anjok hingga lebih dari 50%.
Padahal, di tahun 2019, kinerja bisnis kartu kredit bisa dibilang menjadi yang paling tinggi sejak 2017. Saat itu, jumlah dan nilai transaksi kartu kredit masing-masing mencapai 340.248.590 kali dan Rp332.644.750. Adapun untuk jumlah kartu yang diterbitkan tercatat ada sebanyak 17.487.057 buah.
Steve menyatakan di tahun-tahun sebelumnya penggunaan kartu kredit turun karena semakin ketatnya persaingan bisnis di antara para penerbit kartu kredit dan mulai marak pembayaran digital, termasuk paylater. Namun, saat pandemi menerjang, pertumbuhan kartu kredit makin seret.
"Di Tahun 2020, saat ada Covid, itu anjlok sampai lebih dari 50% karena daya beli masyarakatnya juga menurun,” beber Steve, saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (30/12).
Rendahnya daya beli masyarakat di sepanjang tahun lalu tercermin dari tingkat konsumsi rumah tangga yang berada di level 2,63%. Padahal, di tahun 2019 konsumsi rumah tangga ada di level 5,04%.
Seperti yang telah diketahui, pagebluk yang terjadi sejak awal Maret 2020 telah melemahkan sendi-sendi ekonomi nasional. Kondisi ekonomi yang sulit, lanjut Steve, lantas membuat masyarakat kelas menengah atas yang merupakan penyumbang konsumsi rumah tangga terbesar sekaligus mayoritas pengguna kartu kredit di Indonesia menahan belanja mereka dan mengalihkannya ke pos-pos lain, seperti tabungan dan investasi.
“Pada akhirnya, banyak dari mereka yang menyimpan dulu kartu kreditnya, tidak melakukan transaksi. Intinya, mereka enggak belanja dulu,” imbuh dia.
Namun, seiring dengan dilonggarkannya kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sejak paruh kedua 2021, kinerja bisnis kartu kredit telah berhasil menemukan jalannya kembali. Steve bilang, saat ini transaksi kartu kredit sudah mencapai 80% dari transaksi saat sebelum pandemi.
Dia yakin, angka itu akan terus bertambah di tahun 2022. Dengan syarat angka kasus positif virus Sars-CoV-2 tetap terkendali dan ekonomi nasional bisa terus tumbuh.
Perbaikan kinerja kartu kredit terjadi salah satunya pada PT Bank CIMB Niaga Tbk. Sampai Oktober kemarin, bisnis kartu kredit CIMB Niaga tercatat tumbuh minus 6% secara tahunan (year-on-year/yoy). Capaian tersebut lebih baik dibandingkan realisasi di bulan sebelumnya yang minus 6,5%.
Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan menjelaskan, pertumbuhan bisnis kartu kredit didorong oleh peningkatan transaksi niaga-el selama pandemi. Pun dengan pesanan dari agen perjalanan atau travel agent. Pihaknya juga baru saja meluncurkan kartu kredit digital Octo Card.
"Dengan kartu kredit digital ini kami harap bisa mengakuisisi nasabah baru. Karena dengan produk ini, nasabah bisa langsung bisa transaksi online, tanpa perlu pakai kartu fisik," ujar Lani, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Perbaikan kinerja bisnis kartu kredit terjadi pula pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Meski tak mengungkapkan berapa persis angka pertumbuhannya, Direktur Jaringan & Retail Banking Bank Mandiri Aquarius Rudianto yakin, pertumbuhan kartu kredit bank pelat merah itu dapat mencapai 12% yoy sampai akhir tahun. Pencapaian ini juga tak lepas dari peningkatan transaksi e-commerce hingga 13% yang diperkuat melalui kerjasama co-brand dengan top e-commerce partner.
Selanjutnya, pertumbuhan kartu kredit diprediksi akan terus berlangsung hingga tahun depan. Didorong transaksi e-commerce serta travel agent yang akan kembali menjadi salah satu motor peningkatan sales volume kartu kredit Bank Mandiri. Ditambah lagi dengan kekuatan Bank Mandiri yang memiliki jaringan luas dan nasabah wholesale dan retail akan mengakselerasi penetrasi nasabah baru kartu kredit.
“Selain itu menjawab perubahan perilaku nasabah di masa pandemi, Bank Mandiri mengembangkan digital ekosistem dalam bisnis kartu kredit melalui digital akusisi di super app Livin dan website mandirikartukredit.com dan contactless transaction,” jelas Aquarius, kepada Alinea.id, melalui pesan singkat, Kamis (30/12).
Sementara itu, jika penurunan kinerja bisnis kartu kredit sempat terjadi pada CIMB Niaga dan Bank Mandiri, lain halnya dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengklaim, kinerja kartu kredit bank utama penyalur kredit untuk pelaku UMKM ini terus tumbuh dari tahun ke tahun.
Bahkan menurutnya, pagebluk menjadi salah satu akselerasi kinerja kartu kredit BRI. Hal ini dikarenakan terjadinya shifting kebiasaan masyarakat menjadi belanja online. Dengan kondisi ini, hingga kuartal-III 2021, portofolio kartu kredit BRI tercatat mencapai Rp4,2 triliun, atau tumbuh 26,6% yoy. Apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi, yakni pada periode Desember 2019, pertumbuhannya tercatat sebesar 55%.
“Kami optimis transaksi kartu kredit di e-commerce masih akan tumbuh besar di tahun-tahun selanjutnya. Pandemi Covid 19 telah mendorong perubahan masyarakat menuju gaya hidup yang lebih digital,” ujarnya yakin kepada Alinea.id, Jumat (31/12).
Untuk mengembangkan bisnis kartu kredit, BRI terus melakukan inovasi, diantaranya dengan pengembangan akuisisi kartu kredit berbasis digital melalui mekanisme digital signature. Di saat yang sama, bank pelat merah ini juga menargetkan bisnis Kartu Kredit BRI akan terus tumbuh secara sehat dengan beberapa strategi, diantaranya meningkatkan kerja sama co-brand untuk melayani berbagai segmen serta meningkatkan penetrasi yang lebih agresif sebagai produk digital lending.
Selain itu, BRI memiliki pengalaman sebagai Bank pertama di Indonesia yang menerbitkan kartu kredit co-branding dengan layanan API yang terintegrasi dengan Platform Partner Co-Branding.
“Kami menyadari betapa besar potensi bisnis skema kerjasama open banking ini sehingga ke depannya BRI akan tetap membuka peluang kerjasama dengan e-commerce lainnya,” lanjut Aestika.
Akan tetap eksis
Terlepas dari kinerja bisnis kartu kredit yang berbeda dari tiap penerbit kartu kredit, Direktur Eksekutif AKKI Steve Marta yakin bahwa kartu kredit tidak akan pernah hilang dari peredaran, meski semakin lesu tiap tahunnya. Sebab, akan selalu ada pasar tersendiri dari kartu kredit, sama halnya dengan layanan paylater.
Apalagi, keduanya sama-sama merupakan salah satu alat pembayaran, hanya saja memiliki sistem yang berbeda. Di mana pembayaraan dengan kartu kredit bisa dilakukan real time atau dengan cicilan dan paylater yang hanya bisa dengan cicilan saja.
“Jadi mereka ini nanti akan punya pasarnya sendiri, karena meskipun serupa, tapi sebenernya enggak sama,” tutur Steve.
Pertumbuhan bisnis kartu kredit dari tahun ke tahun
Periode |
Jumlah Kartu |
Jumlah Transaksi |
Nilai Transaksi |
2017 |
17.244.127 |
319.291.747 |
Rp288.912.875 |
2018 |
17.275.128 |
330.145.675 |
Rp305.201.319 |
2019 |
17.487.057 |
340.248.590 |
Rp332.644.750 |
2020 |
16.940.040 |
268.209.725 |
Rp231.553.111 |
2021 |
16.545.925 |
223.629.156 |
Rp189.551.984 |
Namun demikian, untuk meningkatkan penetrasi pengguna kartu kredit, saat ini banyak bank-bank penerbit yang lantas menerbitkan kartu kredit digital. Sama halnya dengan kartu kredit konvensional, kartu kredit digital hanya tidak memiliki kartu fisik saja. Selain itu, dokumen-dokumen untuk membuat produk perbankan ini disediakan dalam bentuk digital, termasuk tandatangan.
Steve bilang, fungsi lain dari kartu kredit digital adalah sekaligus juga untuk memberikan edukasi pada pengguna kartu kredit baru, atau kepada masyarakat yang saat ini masih menggunakan paylater. Sebab, bagaimanapun dibanding paylater, kartu kredit dinilai lebih aman.
“Karena kalau kartu kredit kan dikeluarkan oleh bank, sementara paylater sama fintech atau perusahaan teknologi lain. Kita semua tahu, kalau aturan dari pemerintah, dari BI, OJK itu kalau bank lebih rigit. Berbeda dengan fintech yang sampai saat ini belum begitu jelas aturannya,” jelas dia.
Aturan yang rigit itu, ke depannya diharapkan bisa menjaga agar tidak terjadi kredit macet (non-performing loan/NPL) di bank-bank penerbit kartu kredit. Karenanya, meski perbankan gencar mendorong pertumbuhan kartu kredit, namun tidak akan dilakukan dengan ugal-ugalan. Melainkan bakal disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan perbankan untuk memberikan kredit kepada masyarakat.
Sementara itu, untuk menjaga pertumbuhan kartu kredit Bank Indonesia (BI) telah melakukan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan memperpanjang masa berlaku batas minimum pembayaran kartu kredit hingga tahun depan sebesar 5% dari total tagihan, sampai akhir Juni 2022.
Di saat yang sama, nasabah juga mendapatkan keringanan berupa penurunan nilai denda sebesar 1% dari outstanding atau maksimal Rp100.000. Sama dengan masa berlaku batas minimum, keringanan ini juga telah diperpanjang hingga akhir semester-I 2022.
"Kebijakan tersebut tentunya, akan selalu dievaluasi dengan melihat kondisi ekonomi masyarakat dan kondisi keuangan," kata Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, dalam keterangannya pada Alinea.id, beberapa waktu lalu.