close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ekonomi sampai akhir tahun diprediksi tumbuh 5%. Pertumbuhan ekonomi tertopang konsumsi masyarakat, namun kinerja ekspor disebut melempem akibat ekonomi global./ilustrasi pixabay
icon caption
Ekonomi sampai akhir tahun diprediksi tumbuh 5%. Pertumbuhan ekonomi tertopang konsumsi masyarakat, namun kinerja ekspor disebut melempem akibat ekonomi global./ilustrasi pixabay
Bisnis
Kamis, 10 Oktober 2019 08:43

Pertumbuhan ekonomi akhir tahun masih 5%, konsumsi jadi penolong

Ekonomi global memang sedang payah, lantas apakah ekonomi kita juga ikut payah?
swipe

Kondisi ekonomi global yang lesu ditandai perang tarif antara Amerika  Serikat dan China, telah berimbas pada perekonomian sejumlah negara. Termasuk Indonesia sebagai mitra dagang kedua negara. 

Dalam kondisi ekonomi global yang melambat, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 5% sampai akhir tahun. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, perang tarif telah menggerus perekonomian global, termasuk Indonesia. Meski begitu, pertumbuhan perekonomian Indonesia, disebut Darmin, tetap baik. 

Penolongnya adalah konsumsi di dalam negeri. Sementara kinerja ekspor impor disebut Darmin, tidak terlalu besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

"Pengaruh dari perdagangan global pasti ada. Tetapi tidak sebanyak Malaysia dan Thailand. Apalagi Singapura, pertumbuhannya sudah nol," kata Darmin di Jakarta pada Rabu (9/10).

Mengapa pertumbuhannya mandek? Darmin bilang, kondisi ini karena negara-negara tersebut amat bergantung pertumbuhan ekonominya pada ekspor. 

Walhasil, saat perekonomian global bergejolak akan berdampak langsung terhadap permintaan produk-produk dalam negerinya. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi melambat.

"Kita lebih banyak tergantung demand di dalam negeri dibandingkan ekspor. Jangan dicampur aduk, dunia sedang payah, lalu kemudian kita juga disebut payah," ucap Darmin.

Darmin bahkan menyebut, impor Indonesia mulai membaik dalam satu bulan terakhir. Kondisi ini terjadi setelah selama enam bulan mengalami pelemahan. 

Ini mengindikasikan, terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dan barang modal, untuk produksi sejumlah komoditas.

"Karena 90% impor kita itu, bahan baku dan barang modal. Bulan lalu, impor mulai membaik lagi. Tapi jangan lupa, kalau soal bahan baku itu tidak serta merta, begitu impornya turun, pertumbuhannya turun," ungkap Darmin.

Masih Baik 

Dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5%, apakah Indonesia berada dalam pertumbuhan ekonomi yang payah? 

Jawabannya tidak. Sebab berkaca pada data Badan Pusat Statistik sejak tahun 2015 sampai 2019 atau dalam masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pertumbuhan ekonomi berada dalam rentang 4,8% hingga 5,4% (lihat grafis). Dengan mencapai puncak pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 sebesar 5,4%. 

Artinya, apabila akhir tahun ini pertumbuhan ekonomi di 5% masih terbilang cukup baik. Walaupun memang mengalami penurunan tipis dari pencapaian tahun 2018 sebesar 5,07%. 

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam pun memprediksi, pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi berada di rentang 5%. Atau kira-kira antara 4,95% sampai 5,05%, tetapi tidak akan mencapai 5,1%. 

Piter setuju dengan Menko Darmin bahwa pertumbuhan ekonomi yang masih baik tertolong dengan konsumsi. Ia menyebut selama ini, kontributor utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi dan investasi. 

Keduanya berkontribusi terhadap lebih dari 80% pertumbuhan ekonomi. Ekspor, menurut Piter tidak memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Meski begitu, bukan berarti kondisi ekonomi global tidak berimbas bagi ekonomi dalam negeri. Perlambatan ekonomi global menyebabkan turunnya harga komoditas, sekaligus menurunkan tingkat konsumsi dan investasi di sektor-sektor yg terkait komoditas.

"Kalau pemerintah tidak melakukan kebijakan terobosan. Perekonomian kita melambat seperti sekarang ini, akibat melambatnya ekonomi global," tutur Piter kepada Alinea.id. 

Kondisi ekonomi global yang lesu ditandai perang tarif antara Amerika  Serikat dan China, telah berimbas pada perekonomian sejumlah negara. Termasuk Indonesia sebagai mitra dagang kedua negara. 

Dalam kondisi ekonomi global yang melambat, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 5% sampai akhir tahun. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, perang tarif telah menggerus perekonomian global, termasuk Indonesia. Meski begitu, pertumbuhan perekonomian Indonesia, disebut Darmin, tetap baik. 

Penolongnya adalah konsumsi di dalam negeri. Sementara kinerja ekspor impor disebut Darmin, tidak terlalu besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

"Pengaruh dari perdagangan global pasti ada. Tetapi tidak sebanyak Malaysia dan Thailand. Apalagi Singapura, pertumbuhannya sudah nol," kata Darmin di Jakarta pada Rabu (9/10).

Mengapa pertumbuhannya mandek? Darmin bilang, kondisi ini karena negara-negara tersebut amat bergantung pertumbuhan ekonominya pada ekspor. 

Walhasil, saat perekonomian global bergejolak akan berdampak langsung terhadap permintaan produk-produk dalam negerinya. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi melambat.

"Kita lebih banyak tergantung demand di dalam negeri dibandingkan ekspor. Jangan dicampur aduk, dunia sedang payah, lalu kemudian kita juga disebut payah," ucap Darmin.

Darmin bahkan menyebut, impor Indonesia mulai membaik dalam satu bulan terakhir. Kondisi ini terjadi setelah selama enam bulan mengalami pelemahan. 

Ini mengindikasikan, terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dan barang modal, untuk produksi sejumlah komoditas.

"Karena 90% impor kita itu, bahan baku dan barang modal. Bulan lalu, impor mulai membaik lagi. Tapi jangan lupa, kalau soal bahan baku itu tidak serta merta, begitu impornya turun, pertumbuhannya turun," ungkap Darmin.

Masih Baik 

Dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5%, apakah Indonesia berada dalam pertumbuhan ekonomi yang payah? 

Jawabannya tidak. Sebab berkaca pada data Badan Pusat Statistik sejak tahun 2015 sampai 2019 atau dalam masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pertumbuhan ekonomi berada dalam rentang 4,8% hingga 5,4% (lihat grafis). Dengan mencapai puncak pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 sebesar 5,4%. 

Artinya, apabila akhir tahun ini pertumbuhan ekonomi di 5% masih terbilang cukup baik. Walaupun memang mengalami penurunan tipis dari pencapaian tahun 2018 sebesar 5,07%. 

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam pun memprediksi, pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi berada di rentang 5%. Atau kira-kira antara 4,95% sampai 5,05%, tetapi tidak akan mencapai 5,1%. 

Piter setuju dengan Menko Darmin bahwa pertumbuhan ekonomi yang masih baik tertolong dengan konsumsi. Ia menyebut selama ini, kontributor utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi dan investasi. 

Keduanya berkontribusi terhadap lebih dari 80% pertumbuhan ekonomi. Ekspor, menurut Piter tidak memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Meski begitu, bukan berarti kondisi ekonomi global tidak berimbas bagi ekonomi dalam negeri. Perlambatan ekonomi global menyebabkan turunnya harga komoditas, sekaligus menurunkan tingkat konsumsi dan investasi di sektor-sektor yg terkait komoditas.

"Kalau pemerintah tidak melakukan kebijakan terobosan. Perekonomian kita melambat seperti sekarang ini, akibat melambatnya ekonomi global," tutur Piter kepada Alinea.id. 

Ekspor Keok 

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, pada sisa akhir tahun ini, kinerja ekonomi memang cukup berat.

Hal ini imbas dari pertumbuhan ekonomi sepanjang semester satu yang berat. 

Abra beralasan, pada sisa kuartal akhir ini, situasi politik dalam negeri penuh riak-riak yang mengganggu stabilitas politik dalam negeri. Belum lagi, penyusunan kabinet kerja Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang diprediksi bakal gaduh. 

Atas kondisi tersebut, Abra memprediksi investasi yang selama ini menjadi penopang ekonomi dalam negeri akan tertahan. Selain itu ekspor dalam negeri yang diprediksi melambat. 

Konsumsi memang masih menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tapi jika ditelisik pada kondisi saat ini, mampukah konsumsi akan terus penopang ekonomi? 

Seperti diketahui, tahun depan Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan dan tarif listrik. Keputusan tersebut tentu akan memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya konsumsi rumah tangga. 

Dengan kondisi investor menahan diri, konsumsi melambat dan kinerja ekspor yang lesu, maka pemerintah harus segera mencari cara untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. 

Hitungan Abra, ekonomi sampai akhir tahun hanya tumbuh 4,9%. Indikatornya, penjualan semen yang menurun, padahal semen salah satu indikator infrastruktur dan konstruksi.

"Otomotif turun. Jadi indikator sektor riil itu menjadi indikator nasional," tukas Abra. 

 

img
Fultri Sri Ratu Handayani
Reporter
img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan