Pemerintah China pada 1 Juni 2020, telah memutuskan secara sepihak dan mendadak untuk menutup pintu impor porang dari Indonesia. Ini menyebabkan pelaku eksportir porang Indonesia harus kehilangan pasar ekspor terbesar mereka, yaitu China yang diketahui menyerap 80% pasar serpih atau chips porang Indonesia.
“Jadi waktu di banned atau ditutup pintu ekspornya ke China selama dua tahun, banyak material yang tidak diserap. Padahal euforia tentang porang saat itu di Indonesia sudah banyak orang ramai-ramai menanam porang. Alasannya karena mengira tanaman ini menjanjikan dan memberikan keuntungan besar,” kata Direktur PT Sanindo Porang Berkah, Dhian Rahadian dalam diskusi daring oleh Alinea.id bertajuk “Strategi Menembus Pasar Ekspor Porang Ke China” pada Rabu (28/9).
Pemerintah China sendiri tak memberikan alasan jelas menutup impor porang asal Indonesia tersebut.
Menindaklanjuti hal ini, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) dan pemerintah China melalui The General Administration of Customs of The People’s Republic of China (GACC), bersepakat untuk menjalani protokol tentang persyaratan inspeksi dan karantina untuk ekspor serpih porang kering dari Indonesia ke China. Protokol ini pun disepakati Kementan dan Administrasi Umum Bea Cukai Republik Rakyat Tiongkok pada 28 November 2021.
Dhian menceritakan, saat perusahaannya tak bisa mengirim porang ke China, pihaknya dibantu oleh Kementan untuk mengikuti protokol inspeksi dan karantina ekspor porang ke China. Sejumlah standardisasi dilakukan oleh PT Sanindo Porang Berkah untuk bisa kembali mengirim porang ke China usai kebijakan ekspor porang dibuka.
“Registrawi awal kami dibantu Kementan untuk percepatan registrasi dan bisa buka pintu ekspor ke China. Ada standarisasi yang kami lakukan, pertama registrasi rumah kemas (packing house) oleh Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) dan kami lolos audit,” jelas Dhian.
Standardisasi yang selanjutnya dilakukan adalah registrasi Instalasi Karantina Tumbuhan (IKT) oleh Badan Karantina Pertanian (Barantan) yang kemudian lolos audit dan memperoleh sertifikat SK IKT. Dhian menuturkan, usai lolos audit dan memperoleh sertifikat dari OKKPD dan IKT, kedua sertifikat ini kemudian dikirimkan ke GACC untuk diaudit langsung oleh China. Pengiriman dua sertifikat ini untuk mendaftar pada GACC yang kemudian akan diperoleh ID jika telah lolos audit oleh China.
“Ada juga syarat lain dari GACC yaitu kebun harus tersertifikasi Good Agricultural Practice (GAP) yang isinya terdapat panduan cara menanam, standarisasi pemupukan, kandungan pupuk, dan sebagainya,” tambah Dhian.
Verifikasi kebun untuk GAP sendiri disampaikan Dhian, dilakukan oleh dinas pertanian tingkat kabupaten yang kemudian dilanjutkan ke provinsi. Pada verifikasi kebun, menurutnya juga antara luas kebun yang tersertifikasi harus sesuai perbandingannya dengan porang yang dihasilkan, dan jumlah tersebut harus sama dengan data yang dikirim ke GACC.
“Besaran lahan yang kita proses juga harus sama dengan jumlah porang yang kita ekspor. Jadi misal lahan sekian harus bisa menghasilkan porang sekian ton, nah data ini yang dikirim ke GACC harus sesuai dengan praktiknya, jadi traceability nya jelas untuk mengetahui kalau ada kendala pada porang,” ungkap Dhian.
Lebih lanjut, perbedaan yang dirasakan Dhian selaku eksportir porang saat sebelum dan sesudah penutupan ekspor porang ke China adalah, sebelumnya China mau menerima segala jenis sistem pengeringan porang, yaitu baik chips porang yang dijemur dengan sinar matahari maupun porang yang diproduksi dari oven (oven dry chip). Namun usai adanya protokol dari GACC tersebut, porang yang diterima China hanya yang diproduksi dari oven saja.