Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Januari 2022 mencapai US$19,16 miliar, turun 14,29% dibanding Desember 2021 sebesar US$ 22,36 miliar. Namun jika dibandingkan dengan Januari 2021 ekspor naik 25,31%.
Penurunan ekspor Januari 2022 dibanding Desember 2021 disebabkan oleh menurunnya ekspor nonmigas 14,12% yaitu dari US$21,26 miliar menjadi US$18,26 miliar. Demikian juga ekspor migas turun 17,59% dari US$1,09 miliar menjadi US$0,9 miliar.
Turunnya ekspor migas disebabkan oleh menurunnya ekspor minyak mentah 71,17% menjadi US$33,4 juta dan gas 22,59% menjadi US$ 613,2 juta, sedangkan ekspor hasil minyak naik 37,2% menjadi US$254,6 juta.
Berdasarkan sektor, ekspor Januari 2022 dibandingkan Desember 2021 untuk produk industri pengolahan turun 7,91% yang disumbang oleh penurunan ekspor minyak kelapa sawit. Produk pertanian turun 5,79% disumbang oleh penurunan ekspor hasil hutan bukan kayu lainnya.
"Ekspor produk pertambangan dan lainnya turun 42,88% yang disebabkan oleh menurunnya ekspor batu bara," tulis BPS dikutip, Selasa (15/2).
Turunnya ekspor produk tidak lepas dari kebijakan pemerintah melarang ekspor batu bara pada tanggal 1-31 Januari 2022 lalu.
Kebijakan pelarangan ini diambil setelah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami kesulitan pasokan batu bara akibat pelaku industri banyak yang tidak memenuhi domestic market obligation (DMO).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Jamaludin mengatakan langkah ini dilakukan guna menjamin terpenuhinya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik.
Kurangnya pasokan ini diprediksi berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PT PLN (Persero), mulai dari masyarakat umum hingga industri, di wilayah Jawa, Madura, Bali, dan wilayah di luarnya.
"Jika larangan ekspor tidak diberlakukan, hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 MW akan padam. Ini berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional," ungkapnya dalam keterangan resminya, Sabtu (1/1)