Estetika bambu yang bantu mitigasi perubahan iklim
Bambu (bambusoideae) menjadi komoditas yang sudah digunakan sebagai bahan konstruksi sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum barang-barang terbuat dari besi, baja, kaca, maupun plastik. Kini di tengah perkembangan teknologi dan bumi yang kian rusak akibat perubahan iklim, bambu ternyata juga memberi manfaat lain.
Menurut hasil penelitian Pakar Etnobiologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wawan Sujarwo, bambu merupakan tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan dari akar hingga ujung. Dari sisi ekologi, akar panjang yang menghujam tanah dan berserabut serta memiliki banyak rongga dinilai mampu menyerap air lebih banyak.
“Dari studi kami di Kebun Raya Bali, bambu usia lima tahun dengan tinggi batang rata-rata 15 meter dan diameter batang 10-15 centimeter, serumpun bambu yang terdiri dari 15-20 batang mampu menyimpan sekitar 360 m3 air. Batangnya dapat mengkonversi air sebanyak 391,224 m3 per rumpun,” jelas Wawan, kepada Alinea.id belum lama ini.
Dengan kondisi ini, bambu dapat memegang tekstur dan struktur tanah dengan sangat baik pada lahan miring sekalipun. Ini membuat tanah aman dari bahaya longsor dan dapat mengendalikan erosi. Tidak hanya itu, dengan kemampuan air tersebut, tak heran jika di dekat-dekat lahan atau hutan bambu sering ditemui mata air.
“Selain untuk restorasi DAS (daerah aliran sungai), bambu juga bisa ditanam di daerah-daerah yang debit aliran air sungainya sudah turun atau di daerah yang mengalami kekeringan. Dan bambu juga lebih mudah ditanam di lahan kritis,” ungkap Head of Program Yayasan Bambu Lestari (YBL) Nurul Firmansyah, saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (1/3).
Selain air, bambu juga memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon. Dari hasil penelitian YBL di Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, satu batang/lonjor bambu dapat menyimpan 107,24 kilo karbon dioksida (CO2) dalam satu hektar. Sedangkan dalam satu hamparan hutan bambu dengan jumlah 79 rumpun, mampu menyimpan cadangan CO2 sekitar 111,6 ton/ha. Sementara dalam satu kabupaten yang memiliki banyak cadangan bambu diperkirakan dapat menyimpan CO2 hingga 2,8 mega ton.
“Dengan asumsi bambu tetap tumbuh dan diproduksi secara berkelanjutan, jelas bisa menyerap emisi. Tapi untuk melihat berapa besar serapan emisinya, kita harus hitung lagi baseline-nya dalam jangka waktu tertentu dan luas lahan tertentu,” imbuh dia.
Karena dua kelebihan itu, bambu pun digadang-gadang efektif untuk mengurangi emisi karbon dioksida sekaligus sebagai sarana mitigasi dampak perubahan iklim. Pertimbangan lain, karena bambu memiliki masa tanam dan panen relatif lebih cepat dibandingkan tanaman-tanaman lainnya.
Bagaimana tidak, menurut Pakar Etnobiologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wawan Sujarwo, dalam sehari tanaman bernama lain buluh ini mampu tumbuh hingga 60-90 sentimeter, tergantung tingkat kesuburan tanah dan iklim di mana tanaman ini tumbuh. Dengan kemampuan ini, bambu pun sudah dapat dipanen pada umur 1-4 tahun.
“Kelebihan lain dia mudah ditanam dan tidak memiliki syarat tumbuh khusus,” katanya.
Indonesia cukup beruntung dan patut berbangga. Pasalnya, Indonesia berhasil menduduki peringkat ketiga dengan jenis bambu terbanyak di dunia, setelah China dan India. Tercatat ada sekitar 176 spesies bambu atau 10% dari keseluruhan jenis bambu dunia, yang berdasar catatan International Bamboo and Rattan Organization (INBAR) diketahui terdapat sebanyak 1.642 spesies bambu.
Tidak hanya itu, Indonesia juga merupakan rumah dari banyak jenis bambu tropis yang memiliki batang lebih tebal dari jenis bambu lain, serta akar menyebar. Dengan kondisi ini, Indonesia pun memiliki lebih banyak opsi untuk mengembangkan berbagai produk dari bambu.
Mengembangkan agroforestry
Pada diskusi panel Second Global Bamboo and Rattan Congress (BARC) 2022 yang dihelat INBAR, 8 November 2022 lalu secara daring, Direktur Program Global INBAR Jayaraman Durai memaparkan, selain memiliki manfaat ekologis, bambu juga dapat mendorong ekonomi hijau suatu negara atau bahkan dunia.
Caranya, dengan mengolah bambu menjadi berbagai macam produk, mulai dari bahan baku konstruksi pengganti kayu, untuk membuat briket sebagai pengganti bahan bakar diesel, membuat furniture dan dekorasi rumah (home décor), hingga perabotan rumah tangga dan peralatan makan.
“Aplikasi bambu menjadi berbagai macam produk juga menjadi salah satu cara kita untuk mencapai netral karbon,” ujar Durai.
Hal ini pun diamini Head of Program Yayasan Bambu Lestari (YBL) Nurul Firmansyah. Kata dia, kalau bambu dipanen dan diolah secara berkelanjutan, tidak hanya akan memberikan manfaat ekologis saja, melainkan juga menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat. Pengelolaan yang dimaksudnya ialah dengan cara mengembangkan agroforestry bambu berbasis rakyat.
Terkait agroforestry, pada 2019 lalu YBL telah menginisiasi Program 1.000 Desa Bambu. Di mana melalui program ini YBL berharap mampu merestorasi 8% lahan kritis di Indonesia, menyerap 16% emisi CO2 per tahun, menghasilkan pendapatan dari pengelolaan bambu hingga US$6-9 miliar per tahun, dan menciptakan peluang 1 juta lahan kerja.
“Kita sudah bekerja di 127 desa di seluruh indonesia, di 6 provinsi, Bali, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Paling banyak di NTT, itu 101 desa. Kita sudah melibatkan sekitar 3.203 masyarakat yang hampir 80% perempuan,” jelas Nurul.
Mama Bambu, pelopor pembibit bambu di NTT ialah masyarakat yang telah merasakan dampak langsung dari program agroforestry bambu ini. Dari sisi ekonomi, 520 ibu-ibu yang sudah menjadi pelopor sejak 2021 dari 7 kabupaten (Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, dan Sikka) ini setidaknya bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp10-11 juta per bulan dari hasil menjual bibit-bibit bambu.
“Kita pastiin mereka dapat langsung manfaat, terutama di insentif dan kita fasilitasi dengan bank NTT untuk bikin rekening” jelas dia.
Sementara itu, untuk mengembangkan Desa Bambu, YBL bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan juga sektor swasta atau dunia usaha. Hal ini penting untuk mendapatkan pendanaan, baik yang nantinya akan digunakan untuk pengembangan lahan hingga memberikan insentif kepada masyarakat yang aktif melakukan budidaya bambu.
Sedangkan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di desa-desa bambu, YBL memberikan pendampingan pada beragam hal, mulai dari pembibitan, menanam, hingga mengembangkan koperasi untuk usaha bambu. “Kita juga buat Sekolah Lapang. Di sini tidak hanya diajarkan soal bambu, tapi juga kita ajarkan tentang pemetaan desa, sampai ke advokasi,” jelasnya.
Dus, masyarakat di Desa Bambu dapat menanam hingga mengolah bambu menjadi bermacam-macam produk setengah jadi maupun produk jadi. Tentunya, dengan pengelolaan sumber daya bambu lestari dan pembuatan produk yang berkelanjutan.
“Jadi nilai tambah yang didapatkan bisa lebih tinggi, ketimbang mereka (masyarakat di Desa Bambu) hanya menjual bambu lonjoran saja,” lanjut Nurul.
Sementara itu, melalui sambungan telepon, kepada Alinea.id, salah satu pelopor Mama Bambu dari Manggarai Timur, Flores, NTT Maria Wuda bercerita, sebelum menjadi pembibit bambu di desa-desa bambu, para Mama Bambu hanya menjalani hari sebagai ibu-ibu biasa.
Tidak ada pekerjaan selain mengurus anak, dapur, cucian, dan memasak. Bagi mereka yang ingin mencari kerja pun susah, tidak ada lowongan kerja bagi mereka yang kebanyakan sudah berada di usia kepala tiga.
“Tapi sekarang kami sudah punya kerja, terkait dengan pembibitan bambu,” katanya, Selasa (28/2).
Saat pertama kali memulai, hanya ada 10 orang Mama Bambu di Manggarai Timur. Di mana mereka memulai pembibitan dalam jumlah kecil. Tak langsung berhasil, kesulitan mencari ‘bayi’ bambu di hutan hingga bibit bambu yang kerap mati ketika berusia di bawah 4 bulan kerap kali dialami.
“Setelah ada pencairan (insentif) tahap pertama, jumlah orang yang membibit bambu mulai tambah. Mereka mulai tahu ada manfaatnya (manfaat ekonomi), selain juga mulai tahu kalau nantinya juga bisa atasi kekeringan yang sedang terjadi di sini (Manggarai Timur),” imbuh perempuan dari Desa Rongga Koe, Wae Rana itu.
Kemudian, saat Program Bambu Lestari masuk ke Manggarai Timur Mei 2021, Maria sebagai salah seorang pelopor Mama Bambu dipercaya untuk mendampingi 50 Mama-mama Bambu lainnya. Saat bekerja, Maria dan Mama Bambu lainnya dibekali sebuah ponsel pintar, yang digunakannya untuk mengupdate data bibit yang sudah ditanam, berapa bibit yang mati, berapa bibit hidup, serta berapa banyak bibit yang diganti. Ponsel pintar ini merupakan fasilitas dari kerja sama antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan YBL sebagai penginisiasi Program Bambu Lestari di Desa Bambu.
Ihwal penghasilan, para Mama Bambu bisa mengantongi hingga Rp20 juta dari hasil penjualan ribuan bibit bambu yang mereka tanam. “Makanya, Mama-mama Bambu dari pembibitan bambu ini ada yang bisa beli mesin perontok padi, sekolahkan anak ke perguruan tinggi dan kebutuhan hidup. Ada juga yang bisa bangun rumah,” tuturnya.
Jalan masih panjang
Terlepas dari itu, untuk mengembangkan bambu sebagai sarana mitigasi dampak perubahan iklim dan mencapai target netral karbon, Indonesia nampaknya masih harus melalui jalan panjang. Meski memiliki jenis bambu terbanyak ketiga di dunia, namun dari segi pasokan dan pengolahan bambu sebagai barang jadi untuk dijual, Indonesia masih jauh tertinggal dari China. Bahkan, dua negara di Asia Tenggara, Filipina dan Vietnam jauh lebih unggul dalam memanfaatkan bambu sebagai produk olahan.
Direktur Eksekutif YBL Monica Tanuhandaru bilang, hal ini diakibatkan oleh pasokan bambu yang sudah mulai menipis. Menurut data, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadopsi data Food and Agriculture Organization (FAO), setidaknya ada 1 juta ha lahan bambu di tanah air. Sayangnya, data ini masih belum pasti karena sampai saat ini belum ada data persis berapa banyak batang bambu dan luasan lahan bambu di Indonesia.
Namun yang pasti, untuk mencukupi kebutuhan produksi produk bambu berkelanjutan sekaligus mencapai target netral karbon, jumlah bambu yang banyak ini harus diperbanyak lagi.
“Waktu pembangunan tol Semarang-Demak butuh bambu sebanyak 9 juta lonjor. Kita enggak ada. Kalau kita bicara IKM (Industri Kecil dan Menengah), untuk pembangunan gerainya di seluruh Pulau Jawa, perlu sekitar 600-700 ribu ha bambu timber, ini sebenarnya bisa kita lakukan karena lahan kritis banyak,” jelasnya dalam diskusi Peran Bambu untuk Mengatasi Krisis Iklim, Rabu (8/2).
Sebelum merestorasi lahan-lahan kritis tersebut dengan bambu, Indonesia membutuhkan sebuah Rencana Strategis Nasional terkait bambu. Di mana di dalamnya membahas luas lahan dan pasokan bambu nasional, penanaman dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, pihak-pihak yang terlibat, hingga peta jalan industri bambu berkelanjutan.
Di saat bersamaan, untuk mengembangkan industri bambu, penting pula menyiapkan jalur logistik yang baik dan juga pembangunan sentra produksi bambu berbasis kerakyatan di daerah-daerah yang memiliki banyak cadangan bambu. Tantangan lain yang juga harus dibenahi, ialah terkait persepsi masyarakat dalam penggunaan produk-produk dari bambu.
Monica mencontohkan, sampai saat ini banyak masyarakat yang masih enggan membangun rumah dengan bambu sebagai bahan baku konstruksinya. Alasannya, karena ketika memiliki rumah dari bambu dianggap sebagai masyarakat miskin atau berpendapatan rendah.
Tidak hanya itu, kebanyakan masyarakat juga enggan menerima bambu sebagai bantuan perumahan rakyat, lantaran dianggap memiliki harga murah. Dibandingkan dengan kayu jati yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembangunan rumah, bambu batangan memang cenderung lebih murah. Meski begitu, bambu berusia empat tahun yang sudah diolah menjadi laminasi pada dasarnya memiliki kekuatan yang tidak kalah dari jati.
“Sebagai aset, bambu dianggap tidak bisa dimonetisasi karena enggak bisa dijadikan agunan untuk pinjaman bank, divaluasinya sulit,” jelas Monica.
Padahal, dengan potensi pasar yang sangat besar terutama di dunia, bambu jelas bisa dijadikan sebagai sebuah industri yang menjanjikan bagi Indonesia. Perlu diketahui, pasar bambu dunia diperkirakan akan mencapai US$93 juta miliar pada 2025. Potensi ekonomi itu diperkirakan akan semakin besar, seiring dengan kian banyaknya perusahaan yang sudah berminat untuk memanfaatkan pengembangan lahan bambu sebagai bentuk penerapan kompensasi karbon (carbon offsetting).
Namun, untuk menangkap peluang tersebut, hulu, tengah dan hilir sektor perbambuan harus dibenahi terlebih dulu. Ketika integrasi ini sudah berjalan, baru lah bambu yang berkelanjutan dapat dimonetasikan.
“Dilihat dari valuasi hulu, tengah, hilir, di ekonomi kalau dalam waktu 6 tahun sudah mendekati Rp10 triliun,” bebernya.
Dari sisi pemerintah, nampaknya bambu sudah menjadi incaran untuk dijadikan sebagai salah satu sarana untuk memitigasi dampak perubahan iklim sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat urban. Kepada Alinea.id, Analis Kerja Sama Teknik Standarisasi, Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim KLHK Desy Ekawati bilang, saat ini pihaknya tengah menyusun dokumen standarisasi bambu nasional. Hal ini dilakukan agar perbambuan dapat terintegrasi.
“Supaya dokumen ini bisa menjadi acuan bersama, baik di tingkat pusat, daerah, kemudian kelompok masyarakat sipil, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan juga masyarakat yang utamanya merupakan penerima manfaat utama,” jelasnya belum lama ini.
Dengan adanya standarisasi ini, Desy berharap bambu akan efektif dijadikan sebagai sarana mitigasi dampak bencana-bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Di saat yang sama, rumput raksasa ini juga diharapkan efektif mendorong pencapaian target nol karbon tanah air. Di saat yang sama, kebangkitan industri bambu diharapkan bisa menggerakkan perekonomian masyarakat urban dan pada akhirnya mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.