Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri, menjelaskan, beberapa penyebab banyaknya pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terutama di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak serta Bea dan Cukai gemar pamer harta. Padahal kepemilikan harga tersebut dicurigai tak wajar.
Alasan pertama, menurut Faisal, selama ini jabatan-jabatan di Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea dan Cukai (DBC), selalu hanya tersedia bagi tamatan Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN dan sulit ditembus oleh pihak luar, meskipun memiliki integritas dan kemampuan yang sesuai. Hal ini pun yang makin mendorong tingginya nilai 'Esprit de Corps' atau jiwa korsa di kalangan mereka.
"Nah ini. Jadi, Esprit de Corpsnya sudah mulai dari mahasiswa. Terbukti kan, bahwa bukan hanya pejabatnya yang terlibat langsung, tetapi juga isti-istrinya. Itu circle STAN," ujar Faisal dalam Diskusi Publik Indef "Taat Bayar Pajak di Era Fenomena Pejabat Pamer Harta", yang ditulis Rabu (29/3).
Tugas Menteri Keuangan (Menkeu) dalam merotasi jabatan di eselon I dan II, hanya menukar dari pos satu ke pos lainnya jika masa jabatan telah usai. Padahal seharusnya, Menkeu bisa melakukan lelang jabatan eselon I dan II yang bisa diisi oleh nonaparat sipil negara (ASN), swasta, maupun dari kementerian/lembaga lainnya. Sedangkan sampai saat ini, lelang jabatan yang diisi oleh non-ASN adalah hanya Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
"Di Kemenkeu yang lewat lelang jabatan itu cuma di BKF. Kebetulan memang ketuanya non-ASN dan non-Kemenkeu, ya karena memang barangkali sama sekali tidak ada lagi," ucapnya.
Rotasi jabatan yang dilakukan selama ini kata Faisal memang dibolehkan oleh undang-undang. Namun, menurutnya justru menunjukkan kegagalan dalam regenerasi pejabat.
"Dibolehkan oleh UU, tetapi kita gagal melakukan penyegaran regenerasi, karena rotasinya di situ-situ saja. Jadi secara sadar atau tidak, Menkeu tidak menghendaki adanya penyegaran. Jadi hanya diisi oleh orang-orang yang loyal. Profesionalisme nomor dua, jadi yang penting loyal. Nah, itu yang dipertahankan dengan jabatan yang diputar-putar," tutur Faisal.
Alasan kedua, Faisal menegaskan, DJP merupakan instansi yang sulit disentuh pihak manapun. Bahkan menurutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tidak bisa mengaudit DJP. Jika bisa pun, memerlukan izin Menkeu dengan proses yang lama.
"DJP ini tidak tersentuh oleh siapapun kecuali oleh Tuhan. Jadi sepak terjangnya tidak bisa diaudit," ungkap Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menceritakan, DJP pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi yang diketuai Jimly Asshiddiqie pada era pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menerobos ketentuan yang melindungi DJP, sehingga bisa diaudit oleh BPK. Namun tetap saja, hasilnya DJP tetap sulit diaudit BPK.
"Di era Pak SBY, Menkeu nya Sri Mulyani, Dirjen pajaknya Pak Darmin Nasution dan keduanya mantan Kepala LPEM FE UI, yang mensomasi adalah Prof Anwar Nasution, Ketua BPK juga dari LPEM FE UI. Saya juga mantan kepala LPEM FE UI dan ada di pihak yang menuntut agar Ditjen Pajak tidak kebal dari audit," tutur Faisal menceritakan.
"Kami kalah total. Ketua MK Jimly Asshiddiqie, sedemikian luar biasanya perjuangan mereka menutup rapat-rapat Ditjen Pajak sehingga mereka tidak bisa diaudit. Tidak bisa diketahui melencengnya dari ketentuan, semuanya gelap Ditjen Pajak itu. Bahkan menterinya saat itu juga turun gunung izin sidang kabinet ke presiden untuk mengawal agar Ditjen Pajak tetap kebal," kata dia.