Faisal Basri: Maaf, Pak Jokowi berulang kali sampaikan fakta menyesatkan
Ekonom senior Faisal Basri kembali terlibat debat dengan Presiden Joko Widodo. Debat terjadi bukan dalam forum diskusi atau seminar. Tapi Faisal membantah klaim Presiden Jokowi bahwa hilirisasi nikel memberikan keuntungan yang amat besar bagi Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi menjelaskan saat ekspor nikel mentah Indonesia hanya mendapatkan Rp17 triliun. Setelah masuk ke industri atau hilirisasi nilainya melonjak jadi Rp510 triliun. Negara mendapatkan pajak besar dari hilirisasi.
"Bayangkan kalau kita ambil pajak dari Rp17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?" tanya Jokowi kepada media saat di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (10/8) kemarin.
Menurut Faisal Basri, angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Jika berdasarkan data 2014, tulis Faisal dalam faisalbasri.com, Jumat (11/8), nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta kali nilai tukar rupiah saat itu: Rp11,865 per US$.
Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, tulis Faisal, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara Rp413,9 triliun.
Memang ada perbedaan data antara Faisal dengan Presiden. Tapi Faisal mengakui ada lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat. Ini sangat fantastis.
Faisal lantas mempertanyakan: Apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia?
Menurut Faisal, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100% dimiliki oleh China. Karena Indonesia menganut rezim devisa bebas, tulis dia, maka adalah hak perusahaan China membawa semua hasil ekspor ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
"Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lain. Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," tulis Faisal.
Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, urai Faisal, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday 20 tahun atau lebih. Karena itu, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel.
Bagi Faisal, perusahan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Semula, Kementerian Keuangan yang memberikan fasilitas luar biasa ini. Belakangan, fasilitas itu dilimpahkan kepada BKPM.
Perusahaan smelter China, tulis Faisal, juga tidak membayar royalti. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua pengusaha nasional. Kala masih boleh mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
Hilirisasi untuk China
Faisal sepenuhnya setuju industrialisasi. Akan tetapi, ia menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel seperti sekarang. Karena hilirisasi nikel saat ini amat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta hampir seluruhnya dinikmati China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.
Faisal lantas membeberkan fakta-fakta dan data. Menurut dia, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1% tahun 2014 menjadi hanya 18,3% pada 2022. Ini terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel, menurut Faisal, juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Memang ada produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, dan sendok. Tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Menurut Faisal, yang dikatakan Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72. Hampir separuh ekspor HS 72 dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate.
Hampir semua produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan seluruhnya diekspor ke China. Ironisnya, tulis Faisal, di China produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. "Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia," tulis Faisal.
Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products. Sejauh ini, tulis ekonom INDEF itu, tak satu pun pabrik smelter di Sulawesi memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. "Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China," tulis Faisal.
Indonesia kebagian 10%
Menurut kalkulasi Faisal, Indonesia hanya menikmati 10% dari nilai tambah hilirisasi nikel. Sisanya yang 90% justru dinikmati China. Untuk mendukung kesimpulan itu, Faisal membeberkan hitung-hitungan dia.
Menurut Faisal, nilai tambah smelter itu sama dengan produk smelter dikurangi bijih nikel. Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa.
"Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air," tulis dia.
Selain itu, karena hampir 100% modal berasal dari perbankan China, pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Lalu, tulis Faisal, banyak di antara tenaga kerja asal China itu bukan tenaga ahli. Ada juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.
"Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja 100 dolar AS per pekerja per bulan," tulis Faisal.
Faisal membeberkan ketimpangan gaji di perusahaan smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta kepada pekerja asal China. Sebaliknya, rerata pekerja Indonesia digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum.
"Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan. Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," simpul Faisal.
Menurut Faisal, nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.
Berdasarkan harga rerata bulan April 2021, penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yang sudah relatif sangat rendah itu. "Betapa istimewa posisi perusahaan smelter China," tulis Faisal.
"Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," Faisal mengakhiri sanggahannya.