Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritisi pidato Presiden Jokowi mengenai pertumbuhan investasi di Indonesia.
Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritisi pidato Presiden Jokowi mengenai pertumbuhan investasi di Indonesia.
Menurut dia, saat ini investasi di Indonesia sudah sangat besar, bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN.
"Sadarilah Bapak Presiden bahwa investasi di Indonesia sudah cukup deras. Investasi meningkat tiap tahunnya, cuma dikalahkan China, dibandingkan seluruh negara ASEAN, investasi kita derajat investasinya paling tinggi," ucapnya saat ditemui usai Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Selasa (16/7).
Ia mengatakan nilai investasi di Indonesia dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2018 mencapai 32,3%. Sedangkan, Malaysia dan Vietnam yang perekonomiannya juga dianggap tumbuh baik, hanya berada pada kisaran 20%.
"Yang disampaikan oleh Presiden itu seperti orang yang sedang kampanye, padahal dia sudah jadi Presiden," katanya.
Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan akan mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan kerja. Dia juga mengatakan akan menghajar semua yang dianggap dapat menghambat jalannya investasi.
"Akan saya kejar, akan saya kontrol akan saya cek dan akan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan-hambatan investasi karena ini adalah kunci pembuka lapangan kerja seluas-luasnya," kata Jokowi dalam pidato pertamanya pascaterpilih sebagai Presiden periode 2019-2024.
Hanya saja menurut Faisal, nilai investasi di Indonesia sudah sangat besar. Ia berpendapat ada kekeliruan dalam pernyataan presiden mengenai jumlah data Investasi di Indonesia.
Faisal mengingatkan, investasi yang kelewat besar juga tidak baik dan dapat berdampak buruk terhadap perekonomian.
"Kalau investasi terlalu besar, (bisa) colaps kita. Kenapa? Karena kalau terlalu besar untuk investasi kan butuh mesin, peralatan, bahan baku yang hampir semua impor. Rupiah kita jeblok nanti," ujarnya.
Ia melanjutkan, jika investasi terlalu kencang, rupiah akan melemah dan akan berdampak kepada inflasi.
"Jadi enggak bisa sembarangan, dan kenyataan investasi sudah besar. Jadi tolong pembantu presiden kalau presidennya keliru, diingatkan," imbaunya.
Ia juga mengkritisi mengenai besaran investasi yang tidak berbanding lurus dengan penerimaan negara. Dari jumlah investasi yang besar, katanya, penerimaan negara kecil. Dan sumbangan untuk PDB juga kecil.
"Artinya tidak efisien kan, kenapa tidak efisien? Karena banyak proyek main tunjuk, tidak ada tender, tujuan tender kan untuk memperoleh harga terendah," ujarnya.
Ia juga mengatakan banyak proyek yang dibangun secara ugal-ugalan. Dia mencontohkan jalur khusus Busway Tendean-Ciledug. Untuk pembangunan sebesar itu, ucapnya, tidak sesuai dengan manfaatnya.
"Itu bangunnya susah setengah mati, mengurangi kapasitas jalan. Tapi yg menikmati bus 5 menit sekali dan penumpangnya sedikit sekali, enggak pernah penuh, jadi penerimaannya kecil sekali," tuturnya.
Ia pun mengatakan besaran investasi tidak selalu berbanding lurus dengan pembukaan lapangan kerja. Untuk investasi di bidang infrastruktur misalnya, katanya, tenaga manusia sudah tergantikan mesin.
Ia memisalkan, dulu membangun jalan raya membutuhkan banyak tenaga manusia. Ada yang bertugas untuk mengaduk aspal dan juga menyiramkan aspal ke jalan.
"Jadi infrastruktur memang tidak bisa diandalkan untuk menyerap lapangan kerja, karena beton-betonnya saja dicetak oleh mesin," tandasnya.