Bank Indonesia diminta harus berani berterus terang menjelaskan data ekonomi Indonesia. Sekaligus memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan bagi pemerintah.
"Misalnya, soal pelemahan rupiah, jujur saja bukan hanya karena tekanan eksternal. Tetapi ada juga faktor domestik yang membuat rupiah melemah," kata Rizal Ramli yang juga Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi XI DPR seperti dilansir Antara, Senin (26/3).
Melemahnya nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga Maret 2018, dikhawatirkan bukan hanya disebabkan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat dan rencana ekspansi fiskal Presiden Donald Trump. Tetapi juga kondisi ekonomi domestik. Misalkan saja, banyaknya aliran modal jangka pendek di pasar keuangan. Juga neraca transaksi berjalan yang terus menyisakan lubang defisit.
Untuk perbaikan kebijakan di pasar keuangan, ada baiknya Gubernur baru BI mampu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan serta Otoritas Jasa Keuangan. Agar mampu mengurangi dana asing di pasar keuangan (hot money) dan menggantikannya dengan dana asing berjangka panjang.
Oleh karena itu, kurang tepat jika BI kerap membandingkan rasio utang pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (Debt to GDP Ratio) Indonesia dengan Amerika Serikat. Perbandingan itu dinilainya tidak proposional dan dapat memberikan pemahaman keliru.
"Debt to GDP Indonesia yang sebesar 29% tidak bisa dibandingkan dengan AS. AS adalah satu-satunya negara di dunia yang dapat memproduksi dollar AS dan menjualnya ke negara lain. Sementara Indonesia apakah bisa melakukan itu dengan rupiahnya?" ujar dia.
Sementara Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, menjelaskan pemerintah akan terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Juga harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price-ICP) untuk meningkatkan kualitas realisasi APBN 2018.
Pengaruh pergerakan kurs dan harga ICP minyak tersebut akan disampaikan sepenuhnya pada penyampaian laporan semester I pada Juli 2018. "Pelemahan rupiah kan belum tahu berapa lama. Bisa seminggu atau bulanan. Kita menghitung APBN kan setahun 12 bulan. Bulan pertama, bulan kedua masih agak stabil. Kita tidak tahu bulan keempat, lima dan seterusnya" ujarnya di Kementerian Keuangan, Senin (26/3).
Pergerakan rupiah berada pada kisaran Rp 13.700, sedikit di atas asumsi dalam APBN 2018 sebesar Rp 13.400 per dollar. Meskipun masih mengalami depresiasi, tetapi sebenarnya bisa membawa dampak positif ke APBN. Misalkan saja, dari sisi penerimaan migas yang menggunakan valas.
Sementara asumsi harga Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2018 sebesar US$ 48, juga berbanding jauh dengan harga minyak mentah dunia yang kini berada di kisaran US$ 61 per barel. Harga tersebut berpengaruh positif terhadap penerimaan negara.
Penyampaian laporan semester I pada Juli 2018 ini, sangat penting untuk proyeksi pergerakan maupun kinerja APBN di semester II terhadap gejolak fiskal. Oleh sebab itu, pemerintah terus memantau predisksi harga, kurs, dan kebijakan dalam satu paket. Sekaligus memastikan seperti apa dampaknya terhadap fiskal Indonesia.