Bank Indonesia (BI) meyakini rupiah yang berada di kisaran Rp15.100 per dollar AS, merupakan pengaruh dari faktor eksternal serta aliran modal yang keluar dari pasar keuangan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, menjelaskan, terjadi aliran yang keluar di pasar keuangan. Serta adanya kenaikan Treasury Bond Amerika Serikat yang cukup tinggi.
"Beberapa hari terakhir ini, risiko risk off meningkat. US treasury bond cukup tinggi menjadi 3,23% untuk 10 tahun," jelas Perry di kantornya, Jum'at (10/5).
Hal itu sekaligus sebagai antisipasi dari hasil survei Michigan yang menyebutkan pertumbuhan lapangan kerja di AS lebih besar dari yang diperkirakan. Oleh karena itu, investor global lebih memilih berinvestasi di sana.
Selain itu, ketegangan perang dagang antara AS dan China masih berlangsung, juga sejumlah faktor geopolitik, baik itu di Eropa atau di negara lain.
"Faktor-faktor itu yang memang mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah," ujar Perry di kantornya, Jumat (5/10).
Perry memastikan, BI akan terus berada di pasar, tidak hanya memantau. Tetapi juga melakukan langkah-langkah stabilisasi yang diperlukan sesuai dengan mekanisme pasar.
Hal itu guna menjaga agar supply dan demand bergerak secara baik di pasar valas.
Selain itu, BI akan berkomunikasi dengan para pelaku usaha dan perbankan, serta sektor riil. Termasuk juga dengan eksportir dan importir.
BI juga akan mempercepat persiapan teknis berlakunya Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Saat ini BI sedang menyusun persiapan secara operasionalnya.
"Secara ketentuan sudah berlaku, tetapi teknis operasionalnya perlu ada persiapan," paparnya.
Perry menargetkan DNDF bisa berjalan dalam dua minggu ke depan. DNDF sendiri merupakan instrumen valas derivatif yang diperdagangkan over the counter atau dengan tingkat harga yang telah ditentukan dalam kontrak.
Tidak kalah pentingnya adalah, berkoordinasi dengan pemerintah dalam mengendalikan defisit transaksi berjalan.
"Koordinasi dengan bapak Menko Perekonomian Darmin Nasution, ibu Menkeu Sri Mulyani, dan Ketua OJK Wimboh Santoso, juga terus diperkuat dengan langkah lanjutan dalam penurunan defisit. Tentu saja pada waktunya akan dikomunikasikan," tukasnya.
Senada dengan itu, Menteri Koordinator Bidang Perkeonomian Darmin Nasution mengungkapkan, depresiasi rupiah yang terjadi pada minggu-minggu ini merupakan dampak menguatnya ekonomi di AS.
Ketidakstabilan global tidak bisa dihindari dan bahkan diperkirakan akan terus berlanjut hingga pada kuartal I-2019.
"Masih akan jalan, karena perang dagang bukan semakin mereda, tapi semakin variatif. Makin dikembangkan macam-macam cara. Jadi semakin ruyem, semakin ruwet, sehingga kalau kita lihat mid term election pada November selesai, apa Trump masih begitu, kita belum tahu," ujar Darmin usai melakukan pertemuan dengan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jumat (5/10)
Oleh sebab itu, pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah untuk jangka menengah, tidak lagi sekedar jangka pendek.
"Apa saja itu, tunggu saja akan kami jelaskan," pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengimbau, di tengah ekonomi AS dan global ekonomi yang kuat, dunia usaha sebaiknya bisa mendorong pertumbuhan ekspor.
"Saya harapkan dunia usaha bisa merespons, dan akan mendukung sepenuhnya daya kompetisi Indonesia," harap Sri Mulyani.
Selain itu, pihaknya bersama OJK dan Bank Indonesia akan melihat semua aspek perekonomian, apakah mampu mengelola perubahan dinamika yang terjadi. Baik itu dari sisi nilai tukar, capital flow, dan kemudian dari masing-masing neraca di lembaga keuangan, di Korporasi. Pemerintah sendiri, akan menjaga APBN dan dari sisi moneter dan sektor rill lainnya.
"Dengan demikian, pemerintah akan terus menjaga fleksibilitas dan bersikap untuk terus mau berubah dan mau terus memperbaiki formula kebijakan. Kalau kondisi global terus bergerak, kami harus juga merespons dan bahkan memperkuat perekonomian kita," papar Sri Mulyani.